Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah tahun kemenangan bagi Kim Clijsters. Petenis asal Belgia itu terpilih sebagai pemain terbaik pilihan Perkumpulan Penulis Tenis Internasional (ITWA), awal Desember lalu. Ia menyisihkan nomine pemain terbaik lainnya: Mary Pierce dari Prancis, Lindsay Davenport (Amerika Serikat), Francesca Schiavone (Italia), dan Maria Sharapova (Rusia). Organisasi itu juga menobatkannya menjadi duta besar tenis. Ini pertama kalinya seorang petenis wanita memperoleh dua penghargaan sekaligus.
Perempuan 22 tahun itu memang luar biasa. Setelah dirundung cedera sepanjang tahun lalu, tiba-tiba ia bangkit dan langsung menyabet sembilan gelar dan menduduki peringkat kedua dunia. ”Clijsters tak hanya kembali, tapi menunjukkan dirinya paling konsisten di antara pemain elite lainnya,” ujar Matthew Cronin, Wakil Presiden ITWA.
Penghargaan itu membuat Clijsters bungah. Kebahagiaan yang ia rasakan mirip ketika ia berhasil menjuarai Amerika Terbuka, September lalu. Saat itu Clijsters merayakannya di sebuah panggung terbuka di Vrijthof, Belgia. Sebagai ucapan terima kasih kepada para pendukungnya, ia bernyanyi bersama kekasih barunya, Bryan Lynch.
Clijsters pantas bersyukur karena itulah kemenangannya yang pertama di ajang grand slam. Lewat pertandingan yang memukau, ia menaklukkan Mary Pierce dengan skor 6-3, 6-1. Clijsters bermain dalam tempo cepat dan pertahanan rapat. Kendati dalam posisi sulit, ia selalu dapat mengembalikan bola lawan dengan baik.
Pukulannya tak selalu keras, terkadang ia cukup mengarahkan bola ke tengah garis pangkal lawan. Aksi itu membuat Pierce beberapa kali terkecoh. Tepukan riuh penonton pun membahana di Stadion Arthur Ashe, Flushing Meadows, New York, Amerika Serikat. ”Dia gadis yang hebat, dia sang juara,” Pierce mengakui kekalahannya.
Sebagai pemenang, Clijsters mendapat piala dan uang tunai US$ 2,2 juta atau sekitar Rp 2,1 miliar. Lebih dari itu, ia merasa puas dan senang karena bisa merebut gelar juara salah satu seri grand slam. Sebelumnya, ia telah empat kali menjadi finalis: Prancis Terbuka 2001 dan 2003, serta Amerika Terbuka dan Australia Terbuka awal tahun ini. ”Saya hanya membuktikan kepada diri sendiri, saya bisa,” katanya.
Menjuarai sembilan turnamen dalam tahun ini membuat Clijsters melesat dalam pengumpulan nilai selama musim tur WTA (Women Tennis Association). Dengan poin 4.665, ia mengungguli pemain nomor satu dunia Lindsay Davenport dari Amerika, yang memperoleh 4.606 poin. Clijsters pun memenangi Porsche Race tahun 2005 pada kejuaraan SonyEricsson WTA Tour dan berhak membawa pulang mobil Porsche Cayenne S keluaran terbaru.
Kemenangan seperti itu tak bisa dirasakannya tahun lalu. Pada Januari 2004, Clijsters masih mampu melangkah ke babak final Australia Terbuka. Tapi dua bulan kemudian ia mulai merasakan sakit di pergelangan tangan kiri sehingga terpaksa menarik diri dari pertandingan di Indian Wells. Ia mencoba bangkit mengikuti turnamen di Berlin pada Mei. Namun, cederanya justru makin boyak.
Ternyata urat daging tumitnya sobek dan di tangannya tumbuh kista. Setelah menjalani operasi pertengahan Juni tahun lalu, tiga bulan kemudian Clijsters mencoba mengikuti sebuah turnamen di Hasselt, Belgia. Tapi lagi-lagi ia harus meninggalkan arena karena cederanya kambuh, kendati kali ini tak sampai dioperasi.
Di tengah deraan cedera, nona manis itu harus menelan pil pahit yang lain. Pada Oktober tahun lalu, jalinan kasih yang telah dibinanya selama empat tahun dengan petenis Australia, Lleyton Hewitt, terkoyak. Tali pertunangan yang telah diumumkan akhir 2003 itu pun putus. ”Mungkin itu hal terbaik yang terjadi pada saya,” Clijsters menghibur diri.
Cedera yang berulang kambuh sempat membuatnya bosan dan frustrasi. Tapi ia tahu mesti tetap berjuang untuk karier tenis dan kesehatannya. Beruntung keluarga, teman, dan pelatih mendukungnya sehingga ia berhasil melalui cobaan itu. ”Ini merupakan hasil kerja tim,” ujarnya.
Februari tahun ini Clijsters kembali ke lapangan dengan fisik yang lebih bugar. Ia memulai mengasah ketajaman pukulan di turnamen Antwerp, Belgia. Tapi langkahnya terhenti di babak perempat final. Sebulan kemudian, ia mengikuti kejuaraan Indian Wells dan berhasil menjadi juara. Bulan berikutnya ia bertanding di kejuaraan Miami dan kembali muncul sebagai nomor satu.
Setelah itu, langkah Clijsters tak terhentikan. Ia memenangi kejuaraan Eastbourne, lalu berturut-turut hingga Oktober menjadi juara di turnamen Stanford, Los Angeles, Toronto, Amerika Terbuka, Luxemburg, dan Hasselt.
Kemenangan demi kemenangan berpengaruh pada peringkat Clijsters. Saat mulai bermain kembali tahun ini, ia cuma menempati peringkat 134. Pada akhir tahun, posisinya sudah melesat ke posisi kedua dunia. ”Sulit mempercayai semua yang telah saya lakukan tahun ini,” katanya.
Saat ini Clijsters sudah mengumpulkan 4.829 poin. Hanya terpaut tipis dengan Lindsay Davenport asal Amerika, yang menempati posisi teratas dengan nilai 4.910. Namun, ia memimpin dalam pengumpulan hadiah uang dengan total US$ 3,9 juta, diikuti Amelie Mauresmo dari Prancis yang memperoleh US$ 2,8 juta. Sedangkan Davenport di tempat ketiga dengan US$ 2,3 juta.
Keberhasilan Clijsters terasa lebih istimewa karena ia mampu mengalahkan beberapa pemain papan atas dunia. Di turnamen Miami, ia mengalahkan Elena Dementiva, pemain nomor lima dunia asal Rusia, di babak perempat final. Kemudian di semifinal ia mengandaskan peringkat kedua Amelie Mauresmo asal Prancis. Puncaknya, di final ia menggulingkan Maria Sharapova, peringkat ketiga asal Rusia.
Sebelum didera cedera, prestasi Clijsters sebetulnya cukup mengkilap. Dua tahun lalu ia pernah menjadi pemain nomor satu dunia setelah menyabet gelar juara di sembilan turnamen. Ia juga menorehkan catatan emas sebagai pemain pertama dalam sejarah WTA yang memperoleh penghasilan lebih dari US$ 4 juta.
Petenis bernama lengkap Kim Antonie Lode Clijsters ini merupakan anak pasangan Leo Clijsters dan Els Vandecaetsbeek. Ia lahir di Bilzen, Belgia, dan tumbuh dalam keluarga dengan tradisi olahraga yang kental. Ayahnya pernah menjadi pemain terbaik sepak bola Belgia. Sedangkan ibunya mantan pesenam artistik.
Clijsters sudah mengayunkan raket tenis sejak usia lima tahun. Ayahnya membangun lapangan tenis di belakang rumah mereka di daerah Bree, Belgia. Di sanalah ia berlatih siang dan malam bersama Elke, sang adik. Saat berusia enam tahun, ia mulai ikut kompetisi tenis di Tennisdel, dekat Kota Genk.
Saat berusia 11 tahun ia berhasil memenangi Kejuaraan Nasional Yunior Belgia. Ayunan raket Clijsters mulai menarik perhatian publik secara lebih luas ketika berhasil menjuarai turnamen Wimbledon Yunior tahun 1998. Setahun kemudian ia mengikuti WTA Tour dan menang dalam turnamen pertamanya di Luxemburg.
Selama menekuni tenis, Clijsters telah beberapa kali berganti pelatih. Bart van Kerckhovan adalah pelatihnya pada 1992-1996. Kemudian ia mendapat sentuhan tangan Carl Maes. ”Ia berlian yang masih polos,” kata Maes ketika itu. Dialah yang memoles keterampilan Clijsters dengan mengajarkan pengetahuan dan teknik terbaik.
Toh, kerja sama dengan Carl Maes cuma bertahan enam tahun. Tiga tahun lalu ia mengganti Maes dengan Marc Dehous. Namun, sejak 15 September tahun ini, Clijsters tak lagi menggunakan tenaga pelatih. Ia merasa sudah cukup dewasa dan tahu apa yang harus dilakukan. ”Sekarang saya tahu diri dan permainan tenis saya lebih baik dari siapa pun,” katanya.
Setelah mereguk sukses menjuarai 30 turnamen, Clijsters yang masih belia sudah bersiap-siap pensiun. Ia mengaku cuma punya waktu dua tahun lagi beraksi di ajang tenis profesional. Cukup sudah ketegangan yang dirasakannya. ”Saya ingin kembali ke kehidupan normal,” ujar Clijsters.
Lis Yuliawati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo