Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIRAMPUNGKAN dalam waktu cepat dan tanpa ribut-ribut di Banda Aceh, Rancangan Undang-Undang Nanggroe Aceh itu malah memicu heboh di tempat lain. Hampir semua pihak di ibu kota provinsi paling barat Republik ini mendukung, tapi sebelas kabupaten di wilayah Timur malah menuntut pembentukan provinsi baru bagi wilayah mereka. Padahal, ”Ini undang-undang bagi perdamaian,” ujar Teuku Kamaruzzaman, wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang duduk di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Jumat pekan lalu, di Jakarta.
Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang sudah selesai disusun oleh DPRD Nanggroe Aceh Darussalam itu memang dibuat sebagai bagian dari kesepakatan damai antara GAM dan pemerintah RI di Helsinki, Agustus lalu. Digabung dari berbagai usulan draf, antara lain Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Universitas Malikul Saleh, elemen masyarakat sipil Aceh, plus Pemerintah Daerah Aceh, rancangan bersama itu kini sudah berada di meja Menteri Dalam Negeri.
”Sekarang pembahasan masuk tahap antardepartemen,” ujar Azhari Basyar, ketua panitia khusus dari DPRD Nanggroe Aceh Darussalam. Tersusun dari 38 bab dan 209 pasal, rancangan itu sudah melewati pematangan di kalangan masyarakat politik Aceh. Dua pekan lalu, misalnya, anggota DPRD Aceh dan anggota DPR RI asal Aceh serta wakil Aceh di Dewan Perwakilan Daerah bertemu di Hotel Salak, Bogor.
Semuanya terdengar satu suara. ”Kita satu hati dengan rancangan ini,” ujar Azhari Basyar, yang turut hadir di pertemuan Bogor itu. Rancangan undang-undang itu berisi perihal tata pemerintahan di Aceh setelah perdamaian terwujud. Tapi jalan rancangan penting itu ternyata masih panjang. Setelah lewat di meja Menteri Dalam Negeri, pemerintah akan melayangkan usul itu ke DPR RI, Januari mendatang. Setelah itu, DPR membentuk panitia khusus untuk menggodoknya menjadi rancangan yang siap disahkan parlemen. Kalau semua beres, paling lambat pada Maret atau April nanti Aceh sudah punya undang-undang baru.
Maklum, yang diatur memang persoalan penting. Misalnya masalah partai lokal, pemilihan kepala daerah, dan juga status wali nanggroe. Kalau disimak, butir yang mengatur isu itu tampak melampaui apa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Aceh.
Misalnya, undang-undang ini kelak memberikan izin bagi warga Aceh mendirikan partai lokal. Lalu, pemilihan kepala daerah di Aceh juga membolehkan majunya calon independen. Syarat calon gubernur, berusia minimal 30 tahun, beragama Islam, dan warga negara RI. Artinya, bekas anggota GAM yang mendapat amnesti pun bisa ikut bertarung, baik di level provinsi maupun kabupaten.
Isu lain adalah wali nanggroe. Jabatan ini disepakati sebagai simbol budaya bagi warga Aceh. Posisi itu berlaku selama lima tahun. Tokohnya bisa dipilih dari wakil adat, ulama, dan tokoh adat dari provinsi atau kabupaten di Aceh. GAM menginginkan wali nanggroe itu dijabat seumur hidup oleh pemimpin mereka, Teungku Hasan di Tiro, yang kini masih bermukim di Swedia. Setelah itu, baru dipilih berdasarkan aturan baru. Keinginan ini diduga akan memicu perdebatan.
Selain itu, potensi konflik lainnya muncul dari luar meja perdebatan. Awal bulan lalu sekitar 11 kabupaten memaklumkan diri keluar dari Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka adalah bupati dan pimpinan DPRD Kabupaten dari ”Provinsi Aceh Leuser Antara” dan ”Provinsi Aceh Barat Selatan”. Yang dituntut, pembentukan dua ”provinsi” itu diakomodasi dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Di Departemen Dalam Negeri, isu pembagian wilayah itu sempat dibahas juga. Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Sodjuangon Situmorang mengatakan masih menimbang masukan antardepartemen. ”Pemekaran akan dibahas, dengan catatan harus sesuai prosedur,” ujar Situmorang pekan lalu. Dia berencana mengundang panitia khusus DPRD Aceh agar tahu suasana batin orang Aceh.
Tapi, entah mengapa, pertemuan yang dijadwalkan pada Kamis pekan lalu itu batal. ”Kami kecewa sekali,” ujar Azhari Basyar, ketua panitia khusus DPRD Aceh. Apalagi, dia sudah hadir di Jakarta bersama wakil GAM. Pembatalan itu pun berlangsung sepihak. Azhari berharap, konsultasi bisa dijadwalkan kembali secepatnya.
Soal pembentukan provinsi baru, kata Azhari, tak masuk dalam rancangan versi pemerintah daerah. ”Itu tak sejalan dengan semangat nota kesepahaman,” ujarnya. Dalam nota kesepahaman yang disepakati di Helsinki, diatur perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956, yang mencakup batas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini.
Itu sebabnya Gubernur Aceh Azwar Abu Bakar mengatakan isu pembagian wilayah muncul dalam waktu yang tak tepat. ”Kita jaga semangat perdamaian dulu,” ujar Azwar, dua pekan lalu. Soal pemisahan wilayah, kata dia, bisa dibicarakan lagi nanti.
Sikap GAM juga sama. Undang-undang ini, kata Teuku Kamaruzzaman, adalah hukum baru bagi pemerintahan Aceh. Dia berharap hukum baru itu menjadi lex specialis, berlaku khusus buat Aceh, untuk mengakhiri konflik selamanya. ”Di masa depan, jangan sampai generasi baru Aceh terpaksa angkat senjata lagi untuk menuntut keadilan,” ujarnya.
Nezar Patria, Deffan Purnama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo