Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Kelaparan, Kurang Pangan

Pemerintah daerah membantah. Pola hidup dan problem transportasi dituding sebagai penyebab.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA ini bermula dari berita di Radio Republik Indonesia Wamena, awal Desember. Yayasan Kusumat, lembaga swadaya masyarakat setempat, mengabarkan sudah ada 55 orang meninggal dan 112 lainnya sedang sakit akibat rawan pangan yang melanda beberapa distrik di Kabupaten Yahukimo, Papua, dalam beberapa bulan terakhir.

Berita dari ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu segera berkibar, terutama setelah berbagai media di Jakarta memberitakannya. Maka, atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Sabtu 10 Desember terbanglah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, ke Papua. Ia ditemani Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo.

Tapi Aburizal justru mengobarkan polemik baru. Setelah mendatangi Korupun—satu di antara desa-desa yang diduga dilanda kelaparan—dan bertemu masyarakat setempat di Dekai, ibu kota Yahukimo, Aburizal membantah ada kelaparan di sana.

Para pejabat Papua, yang sebelumnya membenarkan temuan Yayasan Kusumat, akhirnya berbalik arah. Mereka kini malah menuduh media mengada-ada. ”Seakan banyak orang yang mati tergeletak karena kelaparan, padahal tidak demikian,” kata Gubernur Provinsi Papua, J.P. Solossa, kepada Tempo.

Bupati Yahukimo, Ones Pahabol, lain pula ceritanya. Pada awalnya ia membenarkan ada 55 orang meninggal akibat kelaparan. Kini dia malah curiga, ada yang ingin mengacau situasi menjelang pemilihan Gubernur Papua yang kian dekat.

Dua hari setelah pernyataan Aburizal, tim dokter dari Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, yang diterjunkan di Yahukimo sejak sepekan sebelumnya, pulang. ”Gejala kelaparan tidak ada, hanya kelangkaan pangan karena panen yang gagal,” ujar Dokter Yudi Renal, anggota tim, yang selama sepekan berada di Desa Holuwon, salah satu titik rawan.

Kalau bukan kelaparan, lalu apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kurang pangan. Itu yang dikatakan oleh para pejabat. Sebabnya, menurut Bupati Ones, pada saat seharusnya menanam ubi—makanan pokok masyarakat pegunungan itu—warga malah sibuk memanen buah kelapa hutan. ”Perhatian mereka tertuju ke situ dan lupa menanam umbi-umbian,” katanya.

Penyebab lain, kata Ones, panen musim ini gagal karena cuaca buruk. Kabut yang turun sepanjang hari menyebabkan banyak tanaman mati. Belum lagi longsornya lahan-lahan kebun penduduk yang semuanya terletak di lereng bukit.

Tempo lalu berkunjung ke Desa Soba, Distrik Kuriman, Rabu pekan lalu. Tom Sama, guru sekaligus pendeta setempat, membenarkan pernyataan bupatinya soal gagal panen. ”Itu terjadi pada Agustus lalu,” katanya. Banyak umbi-umbian mereka yang membusuk.

Tapi, ”kurang pangan” itu, dalam pandangan Tom, bukan tanpa akibat. Sejak November lalu ia mulai kehilangan satu per satu kerabat sedesanya. Dia menyebut nama: Wuluwa Sobolim, Aboake Itlai, Sakage Sobolim, Herodes Sobolim, Kerapel Sobolim, dan Walagasom Bahabol. ”Mereka meninggal,” ia terpekur.

Tom juga sering menemukan murid-muridnya di SD Inpres Soba pusing-pusing di sekolah. ”Mereka tidak makan pagi,” ujarnya. Baiknya, meski dikatakan tidak ada kelaparan, bantuan makanan tetap diberikan. Menurut rencana, penyaluran bahan pangan untuk Yahukimo akan berlangsung selama enam bulan.

Memang, medan yang sulit menyebabkan upaya mengirim bantuan tak selalu berjalan mulus. Daerah-daerah di pegunungan itu hanya bisa dicapai dengan pesawat terbang kecil atau helikopter.

Karena itu, Satuan Koordinasi Pelaksanaan (Satkorlak) Penanggulangan Bencana Yahukimo kini bergantung pada helikopter pinjaman dari TNI-AD, TNI-AU Kodam XVII Trikora, dan PT Freeport Indonesia. Juga pesawat yang disewa dari penerbangan lokal di Wamena. Tapi cuaca buruk kerap menyebabkan penerbangan tertunda.

Toh, Wakil Ketua Satkorlak, Letkol Inf. Sarjono, optimistis program pengiriman pangan akan berjalan lancar. ”Sampai Jumat lalu, bantuan sudah disalurkan ke 14 desa yang diperkirakan kekurangan pangan,” ujarnya.

Philipus Parera, Cunding Levi (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus