Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan Komisaris Jenderal Suyitno Landung sebagai tersangka kasus penyuapan memiliki arti penting bagi pembersihan Kepolisian RI (Polri) selanjutnya. Pertama, ini menunjukkan kesungguhan Kepala Polri Jenderal Sutanto menjalankan perintah undang-undang tanpa memandang solidaritas sesama perwira tinggi yang keliru tempat. Kedua, Polri tidak lagi bisa memberikan toleransi bagi pengerahan dana yang tidak sah untuk kebutuhan operasionalnya.
Dari permulaan proses pembongkaran kasus pembobolan BNI, banyak yang sudah mencium bahwa ada keterlibatan polisi. Bukan terlibat dalam permainan kredit, tapi dalam cara penanganan kasusnya. Terasa ada beberapa kejanggalan—yang tak mudah menggambarkan, apalagi membuktikannya—dalam cara penyidikan, penetapan tersangka, penahanan, sehingga menimbulkan kecurigaan ada sesuatu yang tak beres di situ.
Kesulitan membersihkan yang kotor di Polri bisa terlihat dari kronologi peristiwa yang mendahului ditetapkannya mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), Komisaris Jenderal Suyitno Landung, sebagai tersangka. Mula-mula, peristiwa pembobolan Bank BNI terbongkar ketika Kepala Polri dijabat oleh Jenderal Da’i Bachtiar. Tersangka otak pembobolan itu, Adrian Waworuntu—sekarang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup—mendapat perlakuan istimewa, baik dalam proses penangkapan maupun penahanannya.
Yang kemudian disalahkan memberi keistimewaan itu adalah Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, waktu itu Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim, bawahan Suyitno Landung. Brigjen Ismoko tidak diusut karena melakukan tindak pidana, tapi karena menyalahi prosedur. Oleh Komisi Kode Etik dan Profesi Polri, dia dijatuhi sanksi tak layak menjalankan profesi sebagai penyidik selama satu tahun. Itu saja. Kepala Polri waktu itu, Januari 2005, masih Jenderal Da’i Bachtiar.
Pada Juli 2005 Kepala Polri diganti dengan Jenderal Sutanto, yang di muka Komisi Hukum DPR menjamin bahwa dugaan suap dalam kasus BNI akan dituntaskan. Pada September 2005 bawahan Brigjen Ismoko, Komisaris Besar Irman Santoso, ditahan sebagai tersangka penyuapan, dan dia mengaku meneruskan uang suap ke atasannya. Maka sebulan kemudian Brigjen Ismoko diperiksa dan ditahan, bukan dalam soal kode etik, tapi sebagai tersangka tindak pidana suap.
Sampai ke manakah gerangan pembersihan akan dilakukan belumlah bisa dipastikan. Yang pasti, itu tidak mudah kalau mau sampai tuntas. Sekarang pemimpin Polri sudah berganti, dan Jenderal Sutanto dikenal punya kesungguhan yang besar. Dengan tekad dan kesungguhan itu, soal hambatan psikologis menindak sejawat sendiri yang bersalah mungkin bisa diatasi. Namun kasus yang ditangani ini bukan sekadar terbatas pada masalah penyelewengan beberapa perwira tinggi Polri. Masalah yang lebih mendasar ialah adanya penggunaan sumber dana inkonvensional—ekstrabujeter, di luar anggaran resmi—yang sekian lama dalam praktek sehari-hari dilumrahkan sehingga dianggap ”wajar”.
Jika Jenderal Sutanto konsisten, bersamaan dengan tindakan terhadap Suyitno Landung dan bawahannya, praktek menggali dana dan menggunakan fasilitas secara tidak sah oleh Polri harus dihentikan, di titik ini dan saat ini juga, besar maupun kecil. Tak ada lagi pembenaran dengan mengatakan ”sumbangan partisipasi masyarakat” ketika menerima dana atau bantuan lain bagi keperluan operasional. Suyitno Landung sendiri ketika dituduh menerima suap berupa mobil Nissan X-Trail mengelak dengan alasan bahwa itu diperoleh dari seorang simpatisan untuk kebutuhan dinas polisi.
Kalau tanpa ”sumbangan”, polisi tak mungkin beroperasi efektif, karena anggaran yang tersedia selalu jauh lebih kecil dari minimum. Jika alasan ini dipakai, Suyitno Landung bisa dibebaskan, dan pengumpulan dana taktis lain pun dibenarkan. Di mana batasnya? Lebih jauh lagi, dana berasal dari ”pasal 303”—pasal tentang perjudian gelap dalam KUHP—lalu dianggap sumber pemasukan yang sah bagi Polri. Akibatnya adalah chaos atau kekacauan hukum, apabila kita membiarkan ukuran benar dan salah, sah dan tidak sah, menjadi relatif sifatnya.
Garis undang-undang tegas, tajam, dan persis batasnya. Jika suap dilunakkan jadi sumbangan, selain pasti melanggar undang-undang, demoralisasi penegak hukum akan terjadi. Polisi penerima bantuan semacam itu akan terkooptasi oleh kepentingan pemberi sumbangan. Kepentingan itu sering tidak legal sifatnya, sehingga akhirnya polisi diperalat untuk melindungi yang tidak benar.
Sekalipun berat, tak ada pilihan bagi Jenderal Sutanto untuk berjalan sesuai dengan kitab undang-undang, kata demi kata. Penuntasan kasus penyuapan Suyitno Landung dkk adalah batu ujiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo