Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Agar Penghambat Hukum Masuk Bui

Persidangan Pollycarpus mengesankan penyidikan kasus pembunuhan Munir tak tuntas.DPR perlu mengajukan hak angket.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyidikan terhadap kejahatan yang melibatkan orang-orang kuat dalam lembaga pemerintahan sering menemui hambatan besar. Itu sebabnya dalam hukum tata negara para wakil rakyat diberi kewenangan menggunakan hak angket. Ini adalah cara bagi para wakil rakyat untuk bertiwikrama menjadi penuntut umum bila para jaksa dianggap melempen dalam memberkas kasus yang melibatkan pejabat tinggi di jajaran birokrasi.

Kewenangan ini mungkin sudah saatnya dipergunakan untuk membongkar tuntas kasus pembunuhan Munir. Soalnya, hingga kini yang masuk ke pengadilan hanya seorang Pollycarpus Budipriyanto, kendati penyelidikan tim pencari fakta yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemukan indikasi kuat keterlibatan para pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) dalam kejahatan ini. Kalaupun pembunuhan itu sendiri dilakukan dalam kapasitas pribadi, setidaknya kesan keterlibatan institusi BIN dalam menghambat penyidikan kasus ini terasa kental.

Celakanya, sikap tidak kooperatif sejumlah pejabat BIN ini tak memicu reaksi yang seharusnya dari pihak penyidik. Padahal di negara normal para penyidik akan menyiapkan jaring pelanggaran pidana menghambat proses hukum terhadap para pejabat yang diduga akan melakukan kegiatan menutup jejak sebuah skandal. Bahkan dalam berbagai skandal politik acap kali para pejabat mendekam di bui lebih lama bukan karena keterlibatannya dalam kasus utama, melainkan karena terbukti terlibat dalam kegiatan menghapus jejak kejahatan. Dalam kasus Munir, para penegak hukum seharusnya juga melakukan jurus ini untuk memaksa para pejabat yang diperiksa buka suara.

Kesempatan untuk melakukan hal ini sebenarnya masih terbuka. Jaksa, misalnya, masih dapat meminta paksa sejumlah pejabat yang diperlukan keterangannya untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah. Kesaksian itu, bila terkesan tak masuk akal, dapat diselidiki lebih dalam. Bila kesaksian tersebut ternyata palsu, pejabat itu dapat langsung ditahan karena melanggar Pasal 242 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimum tujuh tahun penjara. Para hakim juga mempunyai hak memanggil paksa saksi yang diperlukan. Tapi sayangnya kewenangan ini belum juga dimanfaatkan.

Memang harus diakui ada kelengkapan hukum lain yang diperlukan tapi belum ada di Indonesia. Sanksi pidana bagi tindakan menghambat proses hukum (obstruction of justice) belum diatur di negeri ini, dan jelas harus segera dibuat undang-undangnya. Para wakil rakyat mudah-mudahan dapat menyetujui tambahan pasal ini dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang baru.

Sementara itu, bila para penegak hukum tak juga terlihat makin trengginas dalam upaya mengungkap kasus pembunuhan Munir, sebaiknya DPR segera menggunakan hak angketnya. Selain demi menegakkan keadilan, juga untuk memastikan aparat birokrat akan semakin takut terlibat dalam upaya penghilangan jejak tindakan pidana rekan sekerja mereka. Dengan demikian kita dapat berharap bahwa tindakan jahanam seperti yang menimpa Munir tak akan lagi dilakukan oleh aparat negara ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus