TANDA (*) di kertas penilaian hakim tinju Ould Abu Omar dari
Aljazair telah menyulut emosi di Istora Senayan, Jakarta.
Penonton ramai melemparkan roti, kue, kantong plastik berisi
minuman, dan ada juga sandal, ke arah ring.
Mengapa? 5 Pebruari itu adalah malam final turnamen tinju Piala
Presiden 11. Juara nasional Indonesia, Herry Maitimu melawan
Shamil Sabirov dari Uni Soviet dalam kelas layang. Mereka
bermain imbang di setiap ronde. Hingga kelima hakim tinju makin
sulit untuk sepakat. Hakim Pieter Gedoan (Indonesia) dan Kim
Hwang Un (Korea Selatan) memilih Maitimu sebagai pemenang. Boris
Tshvirashvili (Uni Soviet) dan Roland Duhamel (Perancis)
menjagoi Sabirov. Sementara Abu Omar menurunkan angka seri
(59-59) untuk keduanya.
Penilaian begitu tentu saja, membingungkan panitia untuk
mengumumkan siapa sang juara. Wasit Cherqui Nuredine terpaksa
menghubungi Abu Omar sekali lagi. Karena dalam dunia tinju
amatir tidak dikenal istilah seri. Abu Omar lalu memberikan
tanda (*) untuk Sabirov. Ia dianggap unggul. "Keduanya samasama
baik," kata Abu Omar. "Cuma menurut penilaian saya, Sabirov
lebih agresif."
Pelatih tim Indonesia, Zul Karyono Arifin, berpendapat bahwa
seharusnya Maitimu menjadi juara. "Karena ia memasukkan pukulan
yang memberikan angka lebih banyak. Saya tak habis fikir " Zul
tidak mengatakan bahwa wasit dan hakim dari Asia, Herry
pasti menang."
Maitimu tampak berusaha meredakan emosi. "Tenang, tenang," kata
petinju ini yang1ahir di Ambon 21 tahun lalu. Tahun 1976,
Maitimu adalah Petinju Terbaik dalam Kejuaraan Nasional. Dalam 2
tahun dia-7 kali terpilih mewakili Indonesia, terakhir ke Asian
Games VIII di Bangkok. "Tak pernah menang," katanya. "Saya baru
sampai tingkat medali perak."
Dalam turnamen Piala Presiden II, Maitimu masih belum dapat
medali emas. Namun ia terpilih sebagai Petinju Terbaik atas
penilaian John Castle (Australia), Anwar Chowdry (Pakistan),
Malikuswari Mochtar (Indonesia), dan Kim Hwang Un (Korea
Selatan). "Kaget juga saya mendengar keputusan itu," kata
Maitimu. "Mustinya, kan pemegang medali emas yang terpilih."
Tim tinju Uni Soviet, juara umum yang meraih 6, dari 11 medali
emas yang diperebutkan, juga terkesima mendengar keputusan dewan
penilai tersebut. "Kami punya 2 calon untuk menyandang gelar
tersebut," kata manajer Boris Lagutin. "Yaitu Yuri Prokhorov dan
Vladimir Shin," masing-masing meraih medali emas untuk kelas
ringan dan kelas menengah.
Kecewakah Lagutin? Ia mengelak untuk memberi jawaban pasti.
"Dalam ke}uaraan tinju Eropa, tahun 1959, juga pernah kejadian
seorang pemegang medali perak terpilih s'ebagai Petinju
Terbaik," katanya. Ia tidak menyebutkan siapa nama petinju
tersebut.
Anggota dewan penilai, Chowdry, juga Sekjen Association
Internationale de Boxe Amateur (AIBA mengatakan pemilihan ini
tak punya latar belakang apa-apa. "Ia (Maitimu) pantas untuk
menyandang gelar tersebut," kata Chowdry. "Anda lihat, bukankah
ia bermain cantik sekalipun gagal meraih medali emas?" Ini
adalah untuk kedua kalinya petinju Indonesia terpilih sebagai
Terbaik. Dalam turnamen Piala Presiden 1976, tempat tersebut
diduduki oleh Syamsul Anwar, pemegang medali emas kelas welter
ringan.
Maitimu -- tinggi 154 cm dan berat 48 kg -- punya harapan di
dunia tinju. Ada minat menjadi profesional? "Belum ada minat,"
katanya. Padahal ia masih menganggur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini