MULAI 1 Pebruari ini, Australia memperkenalkan tarip murah untuk
penerbangan Sydney-London pulang pergi. Tarip ini hanya boleh
dinikmati penumpang Qantas, pembawa bendera Australia, dan
British Airways, maskapai penerbangan Inggeris. Tarip
penerbangan murah itu sebenarnya sudah merupakan hal biasa. Dan
perkembangannya nampaknya tak bisa dicegah lagi. Banyak
perusahaan, antara lain UTA dan TWA sudah lama mempraktekkannya.
Tapi urusan tarip murahnya Qantas, yang berambisi meraup para
penumpang dari Australia langsung ke Inggeris dengan hanya
singgah sebentar di Bombay, ternyata jadi ramai juga.
Apa sebabnya? Soalnya para penumpang dengan tiket murah Qantas
itu tak diperkenankan untuk singgah di Singapura atau di ibukota
Asean lainnya. Kalaupun ada penumpang yang ingin singgah, akan
dikenakan "bea singgah " yang taripnya 5 kali tarip murah itu.
Bisa dimengerti kalau Singapura yang paling keras berteriak di
antara Asean. Tiap tahun rata-rata 100 ribu turis singgah di
Singapura dalam perjalanannya dari Australia ke Eropa. Dari
jumlah itu, 70% tinggal di Singapura antara 4 sampai 5 hari, dan
30% sisanya menginap antara 1 sampai 2 hari. Mereka dikabarkan
menghabiskan US$ 35 juta setahunnya untuk berbelanja di
Singapura. Ini belum terhitung ongkos hotel. Ibukota Asean
lainnya tak menikmati rejeki seperti itu.
Tapi yang lebih bikin jengkel Asean adalah pengumuman pemerintah
Australia seperti ini: Penerbangan Asean tak boleh ikut program
tarip murah Australia-Eropa. Lalu katanya pula, rute antara satu
negara dan Australia hanya boleh dilayani perusahaan penerbangan
negara bersangkutan. Artinya, Singapore Airlines (SIA tak boleh
lagi melayani rute Hongkong-Sydney, misalnya, karena rute
tersebut hanya untuk Cathay Pacific dan Qantas. Atau MAS punya
Malaysia hanya boleh melayani jalur Kuala Lumpur-Sydney. Tapi
tak boleh lagi mengangkut penumpang dari Jakarta ke Sydney dan
sebaliknya, karena rute tersebut disediakan untuk Garuda dan
Qantas.
Usul Australia yang begitu katanya merupakan hasil studi selama
11 bulan oleh Komisi Penerbangan Sipil Australia. Studi tersebut
menunjukkan jalur penerbangan antara Australia dan negara
sekitarnya terdapat kapasitas lebih yang tak terisi. Maka
pengaturan yang diusulkan Australia itu dianggap akan bisa
mengurangi kapasitas nganggur ini, hingga perusahaan penerbangan
Asean bisa bekerja lebih efisien, dan karenanya bisa menurunkan
tarip. Ini dianggap akan bisa menutup kerugian yang diderita
penerbangan Asean akibat tak diperbolehkan singgahnya penumpang
tarip murah pesawat Qantas itu.
Alhasil, ulah Qantas itu tak urung membuat para menteri ekonomi
Asean berkumpul di Kuala Lumpur pertengahan Desember lalu.
Hasilnya: Ascan prinsipnya tak keberatan usul tarip murah, tapi
sangat prihatin terhadap larangan sinah di ibukota Asean.
Sekalipun reaksi Asean sebagai ke lompok cukup moderat, bisa
dimengert bila Menlu Singapura Rajaratnam menamakan tindakan
Australia sebagai "tipu daya yang pintar" untuk memperoleh
monopoli penerbangan Sebagai ba lasan, barang-barang Australia
di Singapura diancam untuk diboikot.
Apa yang akan terjadi seandainya Australia berkeras kepala
melanjutkan kehendaknya? Beberapa alternatif terbuka bagi Asean
dan yang memang sudah dibicarakan, seperti melarang pesawat
terbang Australia mendarat di daerahnya. Tapi nampaknya
alternatif ini agak ekstrim, hingga pikiran Asean kini beralih
ke hal yang praktis seperti yang diusulkan Y.M. Pillai, Presdir
SIA "Kita akan melawan tindakan Australia dengan memotong harga
yang lebih murah lagi." Tindakan ini mungkin tak sulit bagi SIA
yang berkembang cepat itu, tapi mungkin tak disukai penerbangan
Asean lainnya. Maka usul "perang tarip" itu, kalau dijalankan,
bisa merusak kesatuan Asean.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini