TIM Indonesia sekali ini mengecewakan. Prestasinya dalam
turnamen tinju, Piala Presiden II, 29 Januari s/d 5 Pebruari,
sangat merosot dari tahun 1976.
Dari 7 petinjunya yang tampil di ronde final, diperoleh cuma 1
medali emas -- itu pun lantaran kedua finalis kelas bantam,
Charles Tomas dan Charles Yerisetouw, berlaga sekandang. Dalam
turnamen 1976, jumlah finalis Indonesia yang juga 7 menghasilkan
4 medai emas, tanpa melalui partai domestik "Dulu, kita punya
waktu untuk persiapan selama 4 bulan," kata pelatih Zul Karyono
Arifin. "Sekarang, cuma 1 bulan. " Adakah alasan lain Herry
Komar, wartawan TEMPO melaporkan:
MELOROTNYA prestasi tim Indonesia agaknya juga lantaran materi
petinju kali ini kurang berbobot dibandingkan dulu. Para
pemegang medal emas Piala Presiden I, Syamsul Anwar (welter
ringan), Frans von Bronchkors (welter), dan Wiem Gommies
(menengah) -- ketiganya tak terdaftar dalan regu terakhir ini.
Dalih mereka macam-macam. Syamsul, misalnya, menolak dengan
alasar persiapan yang suntuk. Di Asian Games Bangkok, Desember
1978 ia kalah KO. Untuk memulihkan kepercayaan pada diri
sendiri, ia sedikitnya membutuhkan tempo 3 bulan. Frans menampik
karena katanya, "Biarlah yang muda-muda maju." Sedang Wiem,
pemegang medal emas AG VIII, sepulangnya dari Bangkok ingin
membereskan urusan keluarga dulu.
Latihan Teratur
Seandainya, 3 nama ini ikut, tim Indonesia belum tentu dengan
sendirinya tertolong. Di kelas welter ringan, Syamsul, rasanya
tidak mudah untuk meng ungguli finalis Brian Tink (Australia)
atau Viktor Kotovshikov (Uni Soviet). Wiem, juga akan repot
melayani Vladimir Shin (Uni Soviet), pemegang medali emas Piala
Presiden II.
Barangkali Frans? Lawannya yang tangguh cuma Pyotor Galkin (Uni
Soviet) yang memukul KO finalis Koko Pangaribuan. "Kalau saya
naik ring belum tentu kalah lawan dia," komentar Frans, yang
turut melatih regu Indonesia.
Tim Uni Soviet memang unggul. Enam dari 7 finalisnya merebut
medali emas. Dalam segala hal - tehnik, taktik, mental,
stamina -- mereka terpuji. Permainan Prokhorov, misalnya, hampir
tak ada cela. Bidikan pukulannya begin tepat, hingga lawannya
tak jarang menyentuh kanvas. Untuk menyalahkan finalis Mustapha
Keddari dari Perancis, ia cuma membutuhkan waktu 19 detik rekor
KO tercepat dalam turnamen ini.
Sistim latihan tinju di Uni Soviet mungkin bisa membuat orang
Indonesia iri hati. Pelatih Zul yang menyaksikannya di sana
tahun lalu bercerita:
"Pagi hari, mereka diberi teori. Sorenya, itu langsung
dipraktekkan. Mereka pun dibantu oleh peralatan hebat. Misalnya,
mereka dihadapkan dengan boneka elektronik yang bisa berlagak
seperti petinju. Boneka inilah yang harus dihajar. Apakah
pukulan mengenai sasaran, ini dicek lewat lampu yang menyala."
Kelebihan lain dari mereka adalah soal kelincahan kaki, berkat
latihan. "Mereka juga tahu bagaimana bermain bola basket atau
sepakbola," kata manajer Roris Lagutin. Dan "ini membuat mereka
lincah di ring." Lagutin menambahkan, latihan serba teratur ini
juga dimungkinkan lantaran mereka tidak memikirkan soal dana.
Di luar tim Uni Soviet, penampilan regu Korea Selatan dan
Australia cukup baik. Tim Korea Selatan datang dengan 2 petinju
-- Kim Kwang Suk dan Lim Beung Djin, dan keduanya meraih medali
emas, Australia mendapat 1 medali emas dari 2 petinjunya.
Bandingkan dengan Indonesia yang menurunkan 3 tim dengan 26
petinju, cuma merenggut 1 medali emas dan predikat Petiju
Terbaik (lihat: Yang Kalah Itu Terbaik).
Lepas dari penampilan masing-masing, penyelenggaraan Piala
Presiden II pantas dipuji. Baik dari segi pertandingan,
perwasitan, maupun pelayanan kepada peserta. Juga dari segi
komersil. "Jika dulu kita rugi sampai 4 juta, kali ini minimal
tidak menombok," kata Sekretaris Penyelenggara, Amir
Syarifuddin. Biaya penyelenggaraannya sekitar Rp 40 juta --
hampir sama dengan pengeluaran 1976. "Sebagai turnamen
internasional, Piala Presiden II, cukup berhasil," komentar
Anwar Chowdry, Sekjen Associatton Internationale de Boxe
Arhateur (AIBA).
Kejuaraan kali ini juga diikuti oleh Aljazair, Perancis,
Singapura, Malaysia Jepang dan Muangthai. Peserta dulu yang
tidak hadir' adalah Amerika Serikat, Pilipina, Pakistan, Mesir,
dan Irak. Pagaimana dengan turnamen berikutnya? "Kalau diundang
lagi, kami akan datan," janji Lagutin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini