Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Petinju Mereka Tak Pikir Dana

Dalam turnamen tinju piala presiden II, prestasi tim Indonesia merosot, karena materi petinju yang kurang berbobot. Sistim latihan tinju di Uni Soviet serba teratur & ditunjang peralatan yang hebat. (or)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM Indonesia sekali ini mengecewakan. Prestasinya dalam turnamen tinju, Piala Presiden II, 29 Januari s/d 5 Pebruari, sangat merosot dari tahun 1976. Dari 7 petinjunya yang tampil di ronde final, diperoleh cuma 1 medali emas -- itu pun lantaran kedua finalis kelas bantam, Charles Tomas dan Charles Yerisetouw, berlaga sekandang. Dalam turnamen 1976, jumlah finalis Indonesia yang juga 7 menghasilkan 4 medai emas, tanpa melalui partai domestik "Dulu, kita punya waktu untuk persiapan selama 4 bulan," kata pelatih Zul Karyono Arifin. "Sekarang, cuma 1 bulan. " Adakah alasan lain Herry Komar, wartawan TEMPO melaporkan: MELOROTNYA prestasi tim Indonesia agaknya juga lantaran materi petinju kali ini kurang berbobot dibandingkan dulu. Para pemegang medal emas Piala Presiden I, Syamsul Anwar (welter ringan), Frans von Bronchkors (welter), dan Wiem Gommies (menengah) -- ketiganya tak terdaftar dalan regu terakhir ini. Dalih mereka macam-macam. Syamsul, misalnya, menolak dengan alasar persiapan yang suntuk. Di Asian Games Bangkok, Desember 1978 ia kalah KO. Untuk memulihkan kepercayaan pada diri sendiri, ia sedikitnya membutuhkan tempo 3 bulan. Frans menampik karena katanya, "Biarlah yang muda-muda maju." Sedang Wiem, pemegang medal emas AG VIII, sepulangnya dari Bangkok ingin membereskan urusan keluarga dulu. Latihan Teratur Seandainya, 3 nama ini ikut, tim Indonesia belum tentu dengan sendirinya tertolong. Di kelas welter ringan, Syamsul, rasanya tidak mudah untuk meng ungguli finalis Brian Tink (Australia) atau Viktor Kotovshikov (Uni Soviet). Wiem, juga akan repot melayani Vladimir Shin (Uni Soviet), pemegang medali emas Piala Presiden II. Barangkali Frans? Lawannya yang tangguh cuma Pyotor Galkin (Uni Soviet) yang memukul KO finalis Koko Pangaribuan. "Kalau saya naik ring belum tentu kalah lawan dia," komentar Frans, yang turut melatih regu Indonesia. Tim Uni Soviet memang unggul. Enam dari 7 finalisnya merebut medali emas. Dalam segala hal - tehnik, taktik, mental, stamina -- mereka terpuji. Permainan Prokhorov, misalnya, hampir tak ada cela. Bidikan pukulannya begin tepat, hingga lawannya tak jarang menyentuh kanvas. Untuk menyalahkan finalis Mustapha Keddari dari Perancis, ia cuma membutuhkan waktu 19 detik rekor KO tercepat dalam turnamen ini. Sistim latihan tinju di Uni Soviet mungkin bisa membuat orang Indonesia iri hati. Pelatih Zul yang menyaksikannya di sana tahun lalu bercerita: "Pagi hari, mereka diberi teori. Sorenya, itu langsung dipraktekkan. Mereka pun dibantu oleh peralatan hebat. Misalnya, mereka dihadapkan dengan boneka elektronik yang bisa berlagak seperti petinju. Boneka inilah yang harus dihajar. Apakah pukulan mengenai sasaran, ini dicek lewat lampu yang menyala." Kelebihan lain dari mereka adalah soal kelincahan kaki, berkat latihan. "Mereka juga tahu bagaimana bermain bola basket atau sepakbola," kata manajer Roris Lagutin. Dan "ini membuat mereka lincah di ring." Lagutin menambahkan, latihan serba teratur ini juga dimungkinkan lantaran mereka tidak memikirkan soal dana. Di luar tim Uni Soviet, penampilan regu Korea Selatan dan Australia cukup baik. Tim Korea Selatan datang dengan 2 petinju -- Kim Kwang Suk dan Lim Beung Djin, dan keduanya meraih medali emas, Australia mendapat 1 medali emas dari 2 petinjunya. Bandingkan dengan Indonesia yang menurunkan 3 tim dengan 26 petinju, cuma merenggut 1 medali emas dan predikat Petiju Terbaik (lihat: Yang Kalah Itu Terbaik). Lepas dari penampilan masing-masing, penyelenggaraan Piala Presiden II pantas dipuji. Baik dari segi pertandingan, perwasitan, maupun pelayanan kepada peserta. Juga dari segi komersil. "Jika dulu kita rugi sampai 4 juta, kali ini minimal tidak menombok," kata Sekretaris Penyelenggara, Amir Syarifuddin. Biaya penyelenggaraannya sekitar Rp 40 juta -- hampir sama dengan pengeluaran 1976. "Sebagai turnamen internasional, Piala Presiden II, cukup berhasil," komentar Anwar Chowdry, Sekjen Associatton Internationale de Boxe Arhateur (AIBA). Kejuaraan kali ini juga diikuti oleh Aljazair, Perancis, Singapura, Malaysia Jepang dan Muangthai. Peserta dulu yang tidak hadir' adalah Amerika Serikat, Pilipina, Pakistan, Mesir, dan Irak. Pagaimana dengan turnamen berikutnya? "Kalau diundang lagi, kami akan datan," janji Lagutin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus