Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Yang 'Mati' Bangkit Lagi

Warna agung, juara kompetisi galatama. (or)

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KLUB Warna Agung sempat 'mati klinis' setelah digerayangi bandar suap. Dalam putaran pertama kompetisi ( 13 kali pertandingan) mereka cuma mampu mencapai urutan keempat. Klub ini-semula diunggulkan bakal selalu memimpin --menjadi patah kaki sewaktu lua pemain intinya, Robby Binur dan Marsely Tambayong, diskors PSSI. "Waktu itu kami tak berpikir lagi untuk menjadi juara Galatama," kenang Benny Mulyono, ketua Klub Warna Agung. Ternyata kompetisi lanjutan menggulir di luar dugaan. Klub Jayakarta -juara dan tak pernah kalah dalam putaran pertama --akhirnya kesandung juga (1-2) melawan Perkesa 78. Kekalahan itu sekaligus membuka peluang bagi Warna Agung untuk menguber Jayakarta dalam posisi angka. Sewaktu Jayakarta masih memainkan dua pertandingan sisa dan Warna Agung sekali, keterpautan nilai mereka tinggal dua. Kapten Warna Agung, Ronny Pattinasarany, menyebut pertandingan terakhir ini sangat menentukan. Untuk jadi juara, hasilnya tak boleh seri. Di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 30 April malam Warna Agung memang beruntung dalam menghadapi Jayakarta. Gol tunggal dari Victor Turangan terjadi (0-1) yang menempatkan Warna Agung di urutan teratas, dan lenyaplah peluang bagi Jayakarta untuk mengejar. Karena gol rata-rata mereka berselisih 10. Memang tak dapat dikejarnya. Dalam penutupan kompetisi Galatama di Senayan pekan lalu, Jayakarra cuma mampu bermain seri ( 1-1 ) melawan Indonesia Muda. Dengan hasil itu Jayakarta tergeser ke urutan ke-2, sedang lndonesia Muda ke-3. Warna Agung pantas menjadi kampiun. Dari 25 kali pertandingan, diraihnya 17 kemenangan, 4 seri dan 4 kalah. Ia menyarangkan 62 gol dan kebobolan 24. Diperolehnya 38 angka, dibanding Jayakarta 37 dan Indonesia Muda 36. warna Agung merupakan tim paling kompak di antara 13 klub Galatama yang aktif dalam kompetisi lanjutan. Di sini berkumpul nama-nama beken seperti Risdianto, Simson Rumahpasal, Marsely Tambayong, Rully Nere, serta Endang Tirtana. Klub juara ini dibiayai oleh perusahaan cat yang bernama serupa sekitar Rp 8 juta sampai Rp 9 juta perbulan. Imbalannya? "Jika kesebelasan Warna Agung menang, terutama di daerah, maka penjualan cat di situ ikut naik," kata Ir. Emon Sayidiman, Direktur PT Warna Agung. Jayakarta -- dibiayai oleh Yayasan Jayaraya dengan dana Rp 4 juta perbulan -- dinilai orang agak merosot di putaran ke-2. Betulkah? "Orang boleh bilang begitu," kata kapten Iswadi yang merangkap pelatih di sana. "Tapi saya tahu mutu pemain-pemain kami tidak merosot." Bahwa kebobolan dengan Warna Agung, itu dianggapnya sebagai nasib buruk saja. Tapi dari 25 pertandingan yang dimainkan, Jayakarta memang kurang produktif mencetak gol. Dengan 14 kali menang, 9 seri dan 2 kalah, klub ini cuma membobolkan 36 gol dan kecolongan 8 gol. Iswadi menyadari kelemahan tersebut. Ia mencoba tapi gagal untuk memasukkan Usman Alatas dan Jayadi, dua pemain amatir Jayakarta, untuk memperkokoh barisan depan. Irwin saharuddin, ketua KONI Jakarta menghalangi usaha Iswadi itu. "Kalau kedua pemain itu masuk Galatama, mereka tak mungkin kembali ke amatir. Sedang tenaga mereka dibutuhkan untuk memperkuat Persija dalam 6 Besar PSSI, Oktober nanti," kata Erwin. "Jayakarta, toh tidak kekurangan pemain." Kedua pemain itu diminta Erwin Eebruari lalu dan dikabulkan oleh atasan' Iswadi. Musim kompetisi Galatama berikutnya akan dimulai September. Sementara itu santer terdengar keinginan orang untuk membentuk divisi. Pihak yang nlenentang antara lain manajer tim Pardedetex, Kamaruddin Panggabean mengemukakan alasan bahwa divisi itu akan menciut kompetisi. "Yang harus dipikirkan adalah bagaimana meningkatkan frekuensi pertandingan," kata Kamaruddin. "Biarkan klub-klub yang ada berkembang sampai dua tahun. Setelah itu barulah dipikirkan soal divisi." Dali Tahir, manajer tim Perkesa 78, berharap jumlah klub bertambah sampai sekitar 20 supaya banyak terjadi pertandingan. Tapi angka itu masih jauh. Tambahan klub Galatama masih disangsikan. Ketua Klub suana Putra, Sk. H. Wibowo berpendapat pembagian divisi akan mematikan klub papan bawah lantaran kehilangan penonton. "Bukan ini 'kan yang dimaui PSSI," katanya. Sekarang ini klub-klub papan bawah lebih banyak menombok ketimbang mendapat pemasukan dari pertandingan. Buana Putra, misalnya, tiap bulan mengeluarkan biaya Rp 3 juta. Sebagai tuan rumah pun ia sering rugi. suana Putra, setelah dua putaran, jadi jurukunci. Menurut Ketua Bidang Lembaga-Lembaga Sepakbola PSSI, H. Syarnubi Said, semenara ini tak akan ada pembagian divisi tapi akan dipakai cara Timur untuk menyeleksi mereka. Yakni melalui pendaftaran kembali. Klub yang merasa mampu tentu akan mendaftarkan diri lagi. Kalau sesuatu klub akan merugi, "tentu lebih baik mengundurkan diri," katanya. Menjadi persoalan berat selama ini ialah jadwal pertandingan yang disusun PSSI yang tidak pasti. "Jika teraturnya jadwal kompetisi itu, selain mempengaruhi mutu, juga merepotkan pembiayaan," sambung Benny Mulyono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus