ALl Akbar Moinfar, Menteri Minyak Iran yang lantang suara itu,
nampak berseri-seri seusai sidang orgamsasi negara-negara
pengekspor minyak (OPEC) yang ke-56 di Taif, Arab Saudi, pekan
lalu. "Suatu pertemuan yang menarik," kata Moinfar dalam sebuah
wawancara seperti dilaporkan wartawan James Tanner dari The Wall
Street Journal. "Secara keseluruhan kami bisa menerima laporan
strategi jangka panjang, terutama tentang bantuan untuk Dunia
Ketiga, sekalipun ada beberapa catatan tentang perumusan harga
minyak."
Strategi itu sendiri dihasilkan sebuah komisi, dengan anggota 6
menteri OPEC, diketuai Sheik Zaki Yamani dari Arab Saudi.
Terdiri dari empat bagian, strategi jangka panjang itu mencakup
prospek penawaran dan permintaan minyak sampai tahun 1985,
masalah menentukan mekanisme harga, hubungan dengan
negara-negara berkembang lainnya dan dengan negara-negara
industri.
Yang paling melegakan buat wakil dari Iran itu adalah: Segenap
anggota yang hadir -- termasuk Irak yang lagi bermusuhan --
bersepakat untuk tidak mengisi pasaran akibat berkurangnya
ekspor minyak dari Iran ke negara-negara tertentu.
Iran tak lagi mengekspor ke AS. Sementara itu Jepang sejak
beberapa waktu lalu tak lagi membeli minyak Iran, karena
dianggap terlampau mahal meskipun ada berita lain bahwa Tokyo
sudah "menyerah" dengan harga baru.
KTT Baghdad
Seberapa jauh kata sepakat itu ditaati dalam praktek, masih
harus dilihat. Tapi Iran, bersama Aljazair dan Libia, merasa
keberatan kalau harga dasar minyak itu secara otomatis
disesuaikan setiap tiga bulan Penyesuaian harga dasar setiap
kuartal itu, sebagaimana diputuskan komisi, ditentukan oleh 3
unsur. Yang pertama inflasi, yang didasarkan kepada indeks
ekspor dari negeri-negeri industri. Yang kedua pengaruh dari
kurs yang didasarkan pada sekelompok (sembilan) mata uang negeri
kaya. Dan yang ketiga adalah kenaikan dari Pendapatan Nasional
Total (GDP) negeri-negeri maju.
Keputusan tentang rumusan harga yang disetujui sembilan anggota
OPEC itu -- Nigeria berhalangan hadir kali ini - seperti
dikatakan Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia, Subroto,
bermaksud untuk menghindari kenaikanharga minyak yang sering
melonjak-lonjak.
Ditemui TEMPO di Lapangan Terbang Halim Perdmakusuma sekembali
dari Taif Minggu malam, Subroto berpendapat hasil yang dicapai
sidang istimewa di Taif itu cukup maju, terutama tentang harga
dasar minyak yang setiap 3 hulan disesuaik.m denan indeks
ekspor negeri-negeri industri. "Ini suatu hal yang sebelumnya
sulit disetujui sebagian besar negara OPEC " katanya.
Dan wakil tetap Indonesia dalam sidang OPEC itu percaya ketiga
negara yang masih belum setuju itu akan lebih lunak dalam
pertemuan reguler OPEC yang ke-5 7 di Aljir, Ibukota Aljazair,
Juni ini. Sedang soal hubungan OPEC dengan negeri-negeri
industri, menurut Subroto, akan dibicarakan pada rapat para
menteri keuangan, luar negeri dan perminyakan, yang akan
diselenggarakan sebelum pertemuan tingkat tinggi (KTT) di
Baghdad minggu pertama bulan November.
Sejak pertemuan di Karakas, Ibukota Venezuela Desemer tahun
lalu OPEC telah gagai mencapai suatu kesepakatan tentang
penentuan harga yang seragam, yang bisa berlaku buat suatu
jangka yang cukup lama. Itu pula sebabnya kepada pers Menteri
Energi Venezuela, Humberto Calderon Berti, menekankan."Kami
hanya mempersoalkan rumusan harga untuk masa depan." Dan Menteri
Berti yang secara aklamasi terpilih kembali sebagai Presiden
OPEC itu melanjutkan: "Tapi itu tak bisa dilaksanakan kalau OPEC
belum semuanya sepakat tentang harga dasar itu."
Akankah Aljazair bersikap keras bulan depan? Ada yang
berpendapat, sebagai tuan rumah, Aljazair mungkin akan bisa
sejalan dengan suara umum dalam OPEC. Dalam sidang di Taif pun
Aljazair cuma tak menyetujui kalau har,.a dasar yang naik secara
teratur itu hanya dikaitkan dengan GDP dari negara-negara
industri. Ia minta agar dimasukkan pula perhitungan GDP dari
negeri-negeri berkembang, Hanya Iran dan agaknya juga Libia,
yang menginginkan agar kenaikan harga itu, selain lebih besar,
juga dilakukan lebih cepat lagi.
Kacaunya harga OPEC yang terjadi sejak sebelum sidang di Karakas
tahun lalu memang masih bertahan sampai sekarang. Walaupun harga
patokan Arabia a light Crude tetap bertahan pada US$ 26 per
barrel, Iran sudah memasang harga kontrak setinggi US$ 35 per
barrel suatu harga yang berlaku di pasaran spot (tunai).
Arab Saudi sendiri, seperti kata Sheik Zaki Yamani, bersedia
menaikkan harga minyaknya, kalau saja negeri seperti Iran,
Aljazair dan Libia mau menurunkan harga. Suatu hal yang menurut
beberapa pengamat, sulit diikuti.
Tentang produksi minyak itu sendiri sekalipun ada kesepakatan
untuk tak mengambil "jatah" Iran, Arab Saudi tak menutup
kemungkinan untuk memperbesar produksinya. Kini Arab Saudi masih
bertahan pada produksi 8,5 juta barrel sehari. Tapi menurut
Yamani, dalam waktu dekat ini mungkin ada suatu "surplus kecil".
Berapa? "Arab Saudi tak merencanakan untuk melampaui angka 9,5
juta barrel," jawabnya. Bisa dibayangkan Ali Moinfar akan protes
keras kalau kemudian ternyata tambahan produksi yang 1 juta
barrel itu mengalir ke Jepang dan Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini