Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BINTANG pujaan publik Meksiko di Stadion Azteca tampaknya sudah berubah: tak lagi Hugo Sanchez, striker andalan tim Piala Dunia Meksiko. Tapi Diego Maradona, kapten tim Argentina. Ini paling tidak sudah terlihat Minggu pekan lalu, ketika Maradona tampil pertama kali di Stadion Azteca, Kota Meksiko. Sekitar 115.000 penonton mengelu-elukan pemain termahal di dunia itu ketika beraksi mencetak dua gol kemenangan Argentina atas Inggris (2-1), yang mengantarkannya ke babak semifinal. Teriakan-teriakan "Mehiko Apoya A Argentina (Meksiko Mendukung Argentina)" terdengar bergemuruh mengiringi pemain bertubuh pendek, tinggi 167 cm dan berat 67 kg, itu setiap kali beraksi mengobrak-abrik daerah pertahanan Inggris. Bisa dimaklumi. Sebab, Argentina, juara dunia 1978, tak syak lagi memang benteng terakhir yang diharapkan rakyat Meksiko, dan juga Amerika Latin, setelah tersingkirnya 4 dari 5 wakil mereka - Brasil, Uruguay, Paraguay, dan Meksiko - sendiri, menjelang semifinal kejuaraan dunia ke-13 itu. Cemas akan kehilangan gelar sebagai kawasan yang sudah setengah abad lebih jadi kiblat sepak bola dunia, itulah agaknya yang mendorong mereka bersikap seperti itu. Brasil dan Meksiko merupakan tim Latin terakhir yang tergusur menjelang semifinal kejuaraan yang mulai berlangsung Rabu pe kan ini. Pertandingan perempat final itu sendiri mengukir rekor baru: 3 dari 4 pertandingannya diakhiri dengan adu penalti. Ini pertama kali sejak kejuaraan dimulai 56 tahun lalu, tiga pasang tim yang bertanding pada babak perempat final mengakhiri pertandingan mereka dengan adu penalti. Mereka adalah Prancis, yang akhirnya menundukkan Brasil 5-4 (setelah seri 1-1), Jerman Barat, yang menaklukkan Meksiko 4-1 (setelah seri 0-0), dan Belgia, yang mengungguli Spanyol 6-5 (setelah seri 1-1). Satu-satunya pertandingan yang tak berakhir dengan penalti adalah partai pertarungan Argentina lawan Inggris. Dengan kemenangan itu, Argentina harus bersaing sendiri melawan 3 dari 14 wakil Eropa: Jerman Barat, Prancis, dan Belgia, di semifinal. Adalah sebuah sensasi besar jika wakil Eropa itu bisa mendepak Argentina. Sebab, itu berarti pertama kali tim Eropa mampu merebut gelar juara di kejuaraan yang berlangsung di kawasan Amerika Latin. Dan itu bukan mustahil terjadi. Sebab kejuaraan yang semula diikuti 24 negara itu sebelumnya sudah membuat pelbagai kejutan, yang memaksa sejumlah wartawan dan komentator bola (termasuk di Jakarta) gigit jari, karena ramalan mereka banyak yang meleset. Contoh terakhir terjadi pada pertandingan perempat final. Hampir semua pengamat bola meramalkan Brasil, juara dunia tiga kali (1958, 1962, dan 1970), bakal menumbangkan Prancis. Nyatanya, tim yang disebut-sebut paling favorit untuk merebut mahkota juara ini kalah. Demikian juga ketika Spanyol, peserta 7 kali - di antaranya 1950 mereka juara keempat - putaran final kejuaraan dunia, bertemu Belgia. Sedikit sekali komentator bola memperkirakan tim yang sebelumnya sempat melindas pendatang baru yang energetik, Denmark, dengan kemenangan telak 5-1, bisa terjungkal di tangan Belgia. Sebab, Belgia belum pernah sekali pun lolos ke semifinal dalam 7 kali penampilan mereka di putaran final kejuaraan dunia. Toh, menyusul Brasil, Spanyol juga tumbang. Rentetan kekalahan itu, terutama Brasil, tak ayal, disambut dengan sedih oleh pendukung mereka. Di Brasil sendiri, sejumlah pesta yang sudah disiapkan untuk menyongsong kemenangan di beberapa kota di negeri gila bola itu urung dilaksanakan. Prancis, menurut Zico, 33, bintang Brasil yang gagal mengeksekusi penalti di menit ke-74, memang pantas menang. "Tapi, saya sama sekali tak berpikir Brasil bakal tersisih. Sungguh, saya akan terus memimpikan kegagalan saya memasukkan gol dari titik penalti itu untuk waktu yang lama," keluh Zico. Kekalahan tragis Brasil memang disambut dengan wajah muram. Tak hanya di negerinya, tapi juga di hampir semua pelosok Amerika Latin. Peminat bola di kawasan ini memang pantas gundah, karena kekalahan negeri yang selama ini dianggap sebagai simbol supremasi sepak bola Latin itu bisa merupakan isyarat awal berakhirnya dominasi mereka di lapangan hijau. Apalagi sebelumnya mereka sudah dipermalukan. Yakni ketika Uruguay, juara dunia 1930 dan 1950, sempat dibantai tim Eropa yang baru pertama kali ikut Piala Dunia, Denmark dengan skor mencolok 1-6. Harapan dengan demikian hanya pada Argentina. Penonton Meksiko sendiri, kendati kecewa karena tim mereka ikut kandas, agaknya bisa menerima kekalahan itu. Tim Meksiko, yang diasuh pelatih asal Yugoslavia, Bora Milutiniovic (lihat Carilah Ilmu, Jangan ke Brasi) memang tampil menawan di babak awal kejuaraan, sampai perempat final. Dan sekalipun akhirnya gagal, penonton di sana bisa menerima kekalahan dalam adu penalti sebagai suatu kekalahan terhormat. Paling tidak bisa ditafsirkan begitu karena tak ada kekecewaan yang berubah jadi kerusuhan setelah kekalahan terjadi. Bahkan seperti menyimpan dendam mereka ramai-ramai memihak Argentina, setelah tim mereka kalah. Tim-tim Eropa memang tampil menyengat di kejuaraan kali ini. Pele, bekas pemain legendaris Brasil yang kini jadi komentator di pelbagai media di Eropa, salah seorang di antara yang membenarkan kemajuan timtim Eropa. Malah, setelah kekalahan Brasil, ia tak sungkan lagi menyebut Prancis sebagai "juara dunia baru". Bagi Pele, pertandingan Brasil lawan Prancis adalah final yang sebenarnya. "Prancis main begitu bagus, dan mereka sudah membuktikan diri sebagai sebuah tim besar yang maju pesat dalam lima tahun terakhir ini," katanya. Tak hanya Prancis, juara Eropa 1984, yang dimotori pemain terbaik dunia Platini, yang dipuji Pele. Tapi, juga Denmark dan Uni Soviet, dua tim yang sempat membuat kemenangan besar di babak awal kejuaraan. Bahkan banyak pengamat mencurigai kekalahan tim Uni Soviet yang sudah ikut 6 kali putaran final kejuaraan dunia itu dari Belgia di putaran kedua karena faktor wasit. Toh, tak berarti Belgia, yang dinilai diuntungkan wasit, tak layak menang. Tim ini bahkan sudah membuat prestasi bersejarah di Meksiko: bisa meloloskan diri ke semifinal, setelah 56 tahun ikut kejuaraan ini. Belgia di Meksiko kali ini sama sekali tak diunggulkan bahkan untuk bisa lolos 16 besar sekalipun. Dan itu pada mulanya tampak wajar. Karena di putaran pertama saja tim asuhan Guy Thys, 63, pelatih senior negeri itu hanya bisa tampil sebagai juara ketiga grup B, di bawah Meksiko dan Paraguay. Tapi, bola memang bundar. Diperkuat bintang muda, Enzo Scifo, 20, dan andalan lain seperti Jan Ceulemans, 29, dan Eric Gerets, 32, Belgia, ternyata bisa muncul kendati terseok-seok - di antaranya pernah dikalahkan Meksiko 1-2, di putaran pertama - sebagai semifinalis baru dari Eropa di Meksiko. Memang harus berhadapan dengan Argentina di pertandingan berikutnya, cukup tipis kans tim dari negeri berpenduduk sekitar 10 juta jiwa itu untuk menapak maju jadi finalis. Namun, dengan hasil sekarang saja, mereka sudah kut mengobarkan pesta kegembiraan kubu Eropa dalam persaingan ketat di Meksiko. Pelbagai pesta memang semarak menyongsong kemenangan itu. Di Paris, menurut laporan koresponden TEMPO Sapta Adiguna, kegembiraan tumpah-ruah beberapa saat setelah ujung tombak Prancis Fernande berhasil menjaringkan gol kemenangan. Di ujung Jalan Champs Elysees misalnya sejumlah pria bersepeda motor dengan dada telanjang mengarak bendera Prancis ke arah Arc de Triophe. "On A Gagne . . . On A Gagne" (kita menang . . . kita menang)," teriak mereka, ditingkahi suara peluit yang ingar-bingar. Prancis berpesta menyambut kemenangan pertama dari Brasil setelah 1958. Kedua tim bertemu di semifinal kejuaraan dunia yang berlangsung di Stockholm waktu itu. Dan Brasil ketika itu menang 5-2 (2-1). Tak heran kalau kemudian Presiden Prancis Francois Mitterrand sendiri langsung menelepon kubu tim Prancis guna mengucapkan selamat atas kemenangan bersejarah itu. "Teruskan perjuangan hingga final dan menjadi juara," pesannya kepada pelatih Prancis Henri Michel, dengan suara riang. Di Jerman Barat suasana serupa juga terlihat. Dan pelatih Frans Beckenbaeur dan kiper Harold Schumacher, 32, jadi buah bibir karena prestasi kerja mereka. Schumacher memang patut dielu-elukan, karena antara lain berkat ketepatan antisipasinya dua tendangan penalti pemain Meksiko, Fernando Quirarte dan Raul Servin, gagal total. Jer-Bar akan menghadapi Prancis di semifinal. Keempat tim semifinal memiliki ciri khas masing-masing (lihat: Persaingan Empat Jagoan) . PERTEMPURAN mati-matian agaknya bakal terjadi. Tapi, dengan Maradona yang bermain makin cemerlang, Argentina, apalagi dengan dukungan penonton pindahan tadi agaknya bak sebuah benteng kukuh buat tiga tim Eropa saingannya. Cuma, julukan pemain terbaik agaknya sulit dilekatkan FIFA buat seniman bola itu. Maklum, ketika mengalahkan Ingris di perempat final, ia dituding memasukan gol dengan tangannya. Kasus cela itu terjadi sewaktu ia akan mencetak gol pertama. Lewat rekaman televisi yang dipelankan memang terlihat jelas "Kaisar Napoli", nama julukan Maradona sewaktu bermain di klub Napoli, Italia, itu memang menggunakan tangan kirinya sewaktu "menyundul bola" ketika berebutan dengan kiper Inggris Peter Shilton. Tim Inggris sempat protes setelah kasus itu. Namun, tak diindahkan Wasit Ali Bennaceur dari Tunisia yang menyatakan gol sah. Maradona sendiri semula ingin berkelit dari tudingan itu. Tapi, setelah didesak para wartawan, ia sambil senyum akhirnya mengakui gol terjadi, "Sebagian karena tangan Tuhan dan sebagian lagi karena kepala Maradona." Pengakuan itu toh tak mengubah lagi skor pertandingan. Maradona, yang mencetak gol kedua yang spektakuler, rupanya paham betul di lapangan wasit adalah Tuhan. Marah Sakti, Laporan Amran Nasution (Meksiko)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo