Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Iman atau pengetahuan rapor ...

Pelajaran agama di isukan akan dihapus. mui menentang. nilai agama dalam rapor belum jelas porsinya. untuk pendalaman agama diharapkan lewat peran keluarga. akan dibuat standar minimum yang lebih baku. (ag)

28 Juni 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAJARAN agama akan digusur? Isu ini bermula dari pemberitaan surat kabar Jayakarta, Senin dua pekan lalu, yang memuat wawancaranya dengan Harsja Bachtiar. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K itu seolah menghendaki agar mata pelajaran agama tidak lagi dimasukkan dalam mata pelajaran pokok. Ini bisa menjadi jalan keluar, untuk mengatasi beban kurikulum yang terlampau berat. Toh, yang diajarkan sejak SD sampai SMTA masih soal rukun iman. Jadi, sebaiknya "Ya digusur saja," begitu seperti termuat di halaman satu koran terbitan Jakarta itu. Tak salah kalau komentar segera muncul Lewat beberapa surat ka bar, K.H. Hasan Basri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), pekan lalu tegas menolak rencana penggusuran itu. "Saya setuju beban kurikulum yang ada sekarang dikurangi. Tapi, kalau harus ada yang digusur, hendaknya jangan mata pelajaran agama," kata Hasan Basri. Menteri P dan K, Fuad Hassan, lantas menengahi. Usai diterima Presiden Soeharto di Bina Graha. Kamis pekan lalu ia menegaskan bahwa pemerintah tak pernah bermaksud menggusur pelajaran agama dari sekolah. Yang kini sedang dilakukan, kata Fuad, adalah, "melakukan penilaian dan penyesuaian semua mata pelajaran termasuk agama." Hal itu ada hubungan dengan masalah beratnya beban kurikulum, yang belakangan ini memang ramai diperbincangkan. Seperti diketahui, akhir Mei lalu pihak Departemen P dan K mengadakan pertemuan dengan Kepala BP-7, untuk membicarakan soal pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dinilai tumpang tindih. Kedua mata pelajaran ini dinilai bisa disederhanakan, agar beban kurikulum bisa berkurang. Pelajaran agama pun kini sedang ditimbang-timbang agar bisa lebih pas diterima para siswa. Harsja, seperti dimuat surat kabar Kompas, Kamis pekan lalu, juga membantah seolah dia menyatakan pelajaran agama harus digusur. Ia menilai telah terjadi salah pengertian, yang sebenarnya tak perlu terjadi. Ia pribadi justru berpendapat pendidikan agama sangat penting. Namun, Harsja memang tak setuju bila pendidikan agama semata dibebankan kepada sekolah. Sebab, katanya, walau bagaimanapun orangtua dan masyarakat ikut bertanggung jawab atas pendidikan yang satu itu. Lebih dari itu memang masih kabur pendidikan agama sekarang ini: bagaimana porsi pendidikan keimanannya dan pengetahuan agamanya. Mesti diperjelas tampaknya, nilai agama dalam rapor itu apa artinya. Mencerminkan keimanan seorang siswa ataukah nilai pengetahuan agamanya. Yang pertama telah dipersoalkan Harsja: "Memperkuat iman itu bagaimana mengukurnya dengan angka? Moralitas itu bagaimana mengukurnya?" Menekankan pada hal kedua, bisa pula dipersoalkan. Perlukah semua siswa memahami detail-detail pengetahuan agama? Tidakkah cukup dengan pengetahuan bakunya saja? Memang, berbeda dengan pendidikan moral atau budi pekerti, ada tiang pengetahuan agama yang perlu dipelajari. Yang sederhana saja dalam pendidikan agama Islam umpamanya, tentunya perlu diberikan bagaimana cara salat, bagaimana pula keringanan beribadat bagi musafir. Tapi, tentu berlebihan, misalnya, untuk mengharuskan siswa menghafal berapa ayat ada dalam Quran, tahun berapa Nabi hijrah. Untuk yang belakangan ini, barangkali yang dimaksudkan Harsja "bisa dipelajarkan di luar sekolah, oleh orangtua, lembaga masjid, dan sebagainya". Maka, yang relevan diajukan adalah: bila begitu, perlukah di semua kelas diberikan pendidikan agama? Tak cukupkah satu atau dua tahun saja? Berdasar Kurikulum 1975 (kurikulum 1984 belum mengubah ketentuan ini), sejak tingkat SD sampai SMTA mata pelajaran agama diberikan dua jam pelajaran per minggu. Di saat seorang siswa mulai masuk SD, pelajaran yang mula-mula diberikan - baik bidang studi Agama Islam, Protestan, Katolik Hindu, maupun Budha, umumnya adalah membuka kesadaran tentang adanya Yang Maha Pencipta. Di kelas satu SD itu, untuk siswa yang beragama Islam, misalnya, dibahas masalah beberapa sifat Allah, soal bacaan syahadat dan bahwa Allahlah yang menciptakan manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Siswa yang Katolik antara lain diberi tahu tentang "Bapa yang baik sekali terhadap kita". Sedang bagi pemeluk Protestan, diketengahkan soal: Kitab yang Berharga dan Benarnya Firman Allah. Tapi kapan sebaiknya anak-anak mulai diajari soal agama? Menurut Ketua MUI, Hasan Basri, hal itu sebenarnya bisa diberikan jauh lebih dini. Yaitu semenjak si anak lahir ke dunia. Dalam Islam, katanya kepada TEMPO, orangtua wajib mengumandangkan azan ke telinga si jabang bayi yang baru saja lahir. Dan itulah pendidikan agama pertama bagi si anak. Karena yang didengar pertama kali adalah asma Allah, "Insya Allah si anak tak akan lupa kepada Yang Maha Pencipta sampai dia dewasa, dan bahkan sampai dia kembali dipanggil Allah." Dengan kata lain - dalam hal ini Hasan tak berselisih pendapat dengan Harsja - orangtua memegang peranan penting dalam membentuk keimanan seseorang. Maka, Hasan Basri berharap agar lembaga keluarga bisa menjadi sarana pendidikan, baik formal maupun informal, bagi anak-anak. Yang juga besar jasanya adalah lembaga seperti masjid atau madrasah. Di situlah anak bisa lebih menghayati, belajar, dan mempraktekkan pelajaran agama yang diterimanya dengan santai dan gembira karena anak-anak tak dituntut memperoleh nilai, agar bisa naik kelas. Tentu, peranan sekolah juga sangat diharapkan. Tapi tak mungkin sekolah memberikan semuanya, sementara jam pelajaran dua jam per minggu - terbatas. Pelajaran agama Kristen, kata Max Mamuaya, Sekretaris Pembinaan dan Pendidikan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), terdiri tiga langkah. Mengetahui atau mengenal, memahami dan mempraktekkan. Titik beratnya adalah agar anak didik bisa mempunyai tingkah laku yang baik. Masalahnya, hanya lewat dua jam pelajaran dalam seminggu, "Tujuan itu menjadi terlalu ideal untuk dicapai." Karena itu, seperti halnya Hasan Basri, ia mengharap anak didik bisa mendalami agamanya lewat orangtua atau gereja dan lembaga keagamaan yang lain. Hal ini tampaknya juga dialami siswa yang beragama Katolik. Tentunya juga yang beragama Hindu dan Budha. Dua jam pelajaran untuk sepekan, menurut Doktor J. Riberu, Ketua MAWI, "berat" kalau harus menyampaikan semuanya. Dan untuk menambal kekurangan yang diterima siswa, keluarga adalah tempat "lari" yang tepat, katanya. Berbeda dengan pendapat Harsja Bachtiar, Riberu menganggap nilai untuk mata pelajaran agama yang diberikan oleh sekolah, ada baiknya. Meski nilai bukan merupakan jaminan ketakwaan . seseorang, kata Riberu, paling tidak, anak menjadi menganggap pelajaran itu serius. Yang lebih lagi percaya kepada nilai adalah Barodji, 43, guru agama Islam SMPN V, Yogyakarta. Nilai rapor untuk agama tetap bisa mencerminkan tingkat keimanan dan ketakwaan siswa, katanya. Sebab, selain penguasaan pengetahuan agama, yang juga dinilai adalah pengamalan ajaran agama. Lewat sembahyang Jumat yang sengaja diselenggarakan di sekolah dan juga peringatan hari-hari besar Islam, bisa dilihat keaktifan seorang siswa. Yang dilupakan Barodji, bagaimana keaktifan siswa di luar sekolah - tempat sebagian besar waktu siswa dihabiskan. Tapi bagi Nyonya Farida, guru agama di SMPN IV, Jakarta, mengecek keaktifan siswa di luar sekolah pun bukan soal sulit. Kata ibu guru ini, selain ia menilai berdasar angka prestasi siswa di sekolah, ia juga mengecek apakah siswa itu, misalnya, melakukan sembahyang secara teratur di rumah. Dan ini bisa diketahui lewat omong-omong dengan orangtua murid. Antara lain sewaktu ada pembagian rapor. Tapi, sebegitu perlu jauhkah seorang guru mengetahui seluruhnya? Bila itu dimaksudkan untuk sekadar tahu mungkin tak jadi soal. Tapi bila kemudian informasi orangtua murid itu juga diperhitungkan guna menilai siswa, tidakkah guru di sini sudah melangkah terlalu jauh? Menilai moralitas dengan angka, tanpa diskusi, bisakah diterima? Tampaknya, para guru agama punya cara sendiri memasukkan nilai pelajaran agama. Cara Asyik Maksum, guru agama di SDN 03 Petang Cipinang Besar, Jakarta, misalnya, lain lagi. Memang, katanya, angka yang diberikan tidak 100% bisa mencerminkan tingkat keimanan, juga penguasaan pengetahuan seorang anak. Tapi, agar nilai itu tidak terlalu meleset, Asyik biasanya meminta bantuan wali kelas. Apakah, misalnya, si Amir tergolong anak bandel atau tidak. Dengan data itu, dirangkum dengan nilai ulangan, Asyik bisa memberikan nilai yang dikira pas untuk setiap anak. Tapi, sistem nilai ini, kata Asyik, mengandung kelemahan juga. Begini. Menurut pengamatannya, sekitar 80% anak didik, akibatnya terpaksa belajar agama karena takut. Soalnya, kalau nilai untuk mata pelajaran sampai kurang dari 6, si anak pasti tak akan naik kelas atau lulus. Di sinilah, biasanya, terpaksa ada anak yang dikatrol. Termasuk dalam kelompok pelajaran pokok (antara lain bersama Bahasa Indonesia, Pendidikan Moral Pancasila), nilai merah untuk Agama memang angka mati. Itu teorinya. Pada prakteknya, sejauh ini, belum terdengar seorang siswa tak naik kelas gara-gara Agama. Biasanya, guru agama memberikan nilai aman, 6, apa pun yang diraih siswa untuk bidang studi satu ini. Menjadi pertanyaan, mengapa Agama tak dimasukkan saja, misalnya, ke dalam kelompok pelajaran penyerta, misalnya pelajaran kesenian. Bila begitu, rasanya siswa akan lebih santai mengikuti Agama, dan mungkin hasil afektifnya lebih baik. Memang diharapkan, bahkan oleh Menteri Fuad Hassan sendiri, nantinya ada standar minimum yang lebih baku yang bisa diberikan untuk siswa, sesuai dengan jenjang pendidikannya. Bagaimana standar itu, kata Fuad, "Masih menanti masukan dari banyak pihak." Surasono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus