WARGA Kota Solo sering diledek: kota kelahiran PWI kok tidak punya koran harian. Kini "aib" itu sudah hilang. Pekan lalu, 16 Juni, bertepatan dengan hari jadi Kota Madya Surakarta yang ke-40, sebuah harian baru, Suara Bengauan, terbit di Solo. Ini koran harian pertama di Solo, sejak harian Dwi Warna berhenti terbit pada 1955. Bisa dimengerti bila sambutan yang diperolehnya besar sekali. Banyak "wong Solo" yang rupanya selama ini merasa malu karena tak memiliki harian - padahal Solo dikenal sebagai kota kelahiran PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan punya Monumen Pers - kini bisa menegakkan kepala lagi. Maka, dalam sidang paripurna DPRD Surakarta, 16 Juni silam, Wali Kota Surakarta R. Hartomo secara khusus mengucapkan selamat pada terbit perdananya "koran kita Suara Bengawan". Salah satu tujuan penerbitan SB memang itu: "Memberi kesadaran pada masyarakat Solo bahwa kini mereka punya bacaan harian yang tahu bibir hati orang Solo. Juga untuk memberi kesadaran baru bagi orang pers, kota kelahiran PWI ini sekarang telah punya koran," kata H.S. Soemaryono, pendiri, penanggung jawab, dan pemimpin redaksi SB. Terbitnya "koran kita SB" juga disambut gembira GubernurJawa Tengah Ismail. Bersama sejumlah pejabat Ja-Teng lain, Ismail tampak ikut menunggui kelahiran cetak pertama SB dinihari 16 Juni, bahkan sempat bersembahyang subuh di musala koran tersebut. Kehadirannya, kata Ismail, "Untuk memberi semangat. Saya ikut gembira Solo punya koran harian." SB diterbitkan oleh PT Bengawan Sakti, yang berdiri sejak September 1985. Para pemegang sahamnya, menurut Soemaryono, adalah beberapa pengusaha muda dari Semarang, Dwi Setyo Wahyudi, Dewi Rikantasari, dan Rahardjanto. Selain itu, Yulinar Bambang Rosihan serta Soemaryono sendiri. Tidak ada "tokoh-tokoh yang bonafide" dari Jakarta, yang Maret lalu disebut Soemaryono sebagai pemegang saham PT Bengawan Sakti. Para pemegang saham itu hingga kini konon telah mengeluarkan Rp 500 juta guna persiapan terbitnya SB. Dana itu dipergunakan untuk persiapan penerbitan, termasuk pembelian mesin repro dan setting, pembelian perlengkapan kantor dan wartawan, serta sewa kantor di beberapa ruangan Museum Pers. Menurut Soemaryono, di bank masih tersedia dana Rp 300 juta. Persiapan tenaga redaksi telah dilakukan sejak pertengahan 1985. Ada 40 reporter yang terpilih, kebanyakan lulusan perguruan tinggi dan berumur 24-28 tahun, yang telah memperoleh penataran jurnalistik. Pemimpin redaksi SB, Soemaryono, dikenal sebagai wartawan kawakan. Ia memulai kariernya di pers pada 1952 dengan menjadi reporter di koran Tanah Air, Semarang, lalu reporter Suluh Indonesia. Kini, selain menjadi Ketua PWI Surakarta dan Direktur Monumen Pers, ia juga menjabat anggota Dewan Pers. Meski suasana ekonomi sedang letih, para pengelola SB tampaknya optimistis akan prospek koran mereka. Mereka percaya, Ja-Teng, yang berpenduduk 28 juta dan Solo sendiri dengan 500 ribu penduduk, belum jenuh untuk suatu koran baru. "Apalagi koran yang menyuarakan karakter wong Solo," ujar Hadi Susilo, wakil pimpinan perusahaan SB. Harian yang paling banyak dibaca di Solo saat ini adalah koran Semarang Suara Merdeka, yang peredarannya sekitar 17 ribu eksemplar, serta Kompas yang 14 ribu. Hadi Susilo percaya, SB dalam waktu dekat ini akan menduduki peringkat ketiga dalam jumlah pembaca di Solo dan sekitarnya, setelah kedua koran non-Solo tersebut. Optimismenya ini didasari pada kenyataan, telah ada 10 ribuan wong Solo yang mendaftarkan diri sebagai langganan. Untuk bulan-bulan pertama, SB yang delapan halaman ini dicetak 20 ribu eksemplar, dan dijual eceran Rp 150. Pemasukan dari iklan, menurut Hadi Susilo lagi, juga lumayan. Untuk nomor perdana Rp 6 juta masuk. Penyebaran SB nantinya direncanakan bukan cuma sekitar Solo, tapi juga akan memasuki daerah lain seperti Pati, Blora, dan Madiun. Agaknya SB ingin mengikat wong Solo, di mana pun mereka berada, sebagai pembaca korannya. "Untuk itu kami mengusahakan agar di SB ada unsur khusus yang cocok dengan selera orang Solo," ucap Soemaryono. Pihaknya telah mengadakan penelitian. Kesimpulannya: banyak orang Solo yang ingin agar dimuat berita yang lebih lengkap tentang Solo, tidak sepotong kecil saja seperti yang dimuat koran bukan terbitan Solo. Keinginan mereka akan dipenuhi. Selain itu, dalam edisi minggu SB akan dimunculkan lembaran khusus seputar budaya Jawa, termasuk cerita pendek, cerita bersambung, dan cerita bergambar. "Lembaran khusus ini menggunakan bahasa Jawa, biar lebih nges. Juga sebagai pertanda kami juga punya idealisme mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Jawa," ujar Anton W. Yudho, seorang redaktur SB. Banyak yang percaya, terbitnya SB akan memajukan Solo. "Aktivitas Solo yang termuat di koran hariannya akan mampu mendinamisasikan masyarakat Solo. Jika beritanya akurat dan lengkap, SB niscaya dibutuhkan. Saya akan berlangganan, meski saya sudah berlangganan koran pusat," kata Dr. Suyatno, Dekan Fakultas Sastra UNS. Dari segi jurnalistik, SB di hari-hari pertama penerbitannya tampak tak membuat kejutan. Cara penyajian dan penulisan beritanya - berita tentang Solo dan sekitarnya memang mendominasi - cenderung konvensional dan kuran menarik. Begitu juga penataan wajahnya. Terasa kurang ada usaha untuk membuat cara penyajian baru yang memikat. Terlihat kesan, ada keinginan untuk menjejalkan sebanyak mungkin berita dalam SB. Opini disalurkan lewat tajuk rencana, serta lewat kolom Pojok yang diasuh Eyang Kakung. Secara keseluruhan, dari gaya pemberitaannya, SB tampaknya memang ingin muncul sebagai koran daerah, koran untuk orang Surakarta. Meski, untuk hari-hari pertama, warna khas SB belum terasa. Terbitnya SB tak membuat kecil hati Suara Merdeka, yang selama ini menguasai pasaran Surakarta. "Sedikit pun kami tak merasa terancam. Bahkan saya ikut bersyukur, tambah semarak Jawa Tengah," ujar Budi Santoso, pimpinan umum Suara Merdeka. Ia percaya, pasaran SM tak akan terebut oleh SB. "Kami sudah memiliki suatu kekhasan yang menarik pembaca. Artinya, kami punya kelas pembaca tersendiri," sambungnya. Ia tetap percaya pada konsepnya, koran tidak mengancam satu sama lain. "Pimpinan umum Suara Bengawan malah belajar manajemen koran dari saya, dan saya bantu sepenuhnya," katanya. Susanto Pudjomartono Laporan Kastoyo Ramelan & Yusro M.S. (Ja-Teng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini