Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gerakan Pemuda AnsorNahdlatul Ulama (NU) Yaqut Cholil Qoumas, sepakat mewujudkan rekonsiliasi nasional terkait dengan peristiwa pembunuhan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, rekonsiliasi sebaiknya dilakukan secara alamiah, tanpa paksaan, dan diawali dengan pengakuan sejarah 1965. “Rekonsiliasi dilakukan, namun dengan pengakuan sejarah terlebih dulu,” kata dia kepada Tempo, Kamis 19 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah kelam Indonesia pada 1965-1966 kembali mengemuka setelah lembaga nirlaba National Security Archive di The George Washington University, Amerika Serikat, meminta pemerintah setempat membuka dokumen rahasia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia periode 1964-1968. Dokumen tersebut mengungkap sejumlah fakta, termasuk keterlibatan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, dalam pembunuhan para anggota serta simpatisan PKI.
Yaqut tidak mengelak soal keterlibatan Ansor. Menurut dia, hal itu terjadi karena desakan kondisi. “Kami tidak memungkiri itu, memang ada kader Ansor yang waktu itu melakukan pembunuhan, karena situasi perang,” ujar dia.
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, juga mendukung upaya rekonsiliasi. Menurut dia, upaya rekonsiliasi harus dilakukan dengan dialog antar-komponen bangsa. Ia yakin, dengan mengedepankan dialog, suatu saat akan menemukan titik temu. “Kalau pendekatan politik, siapa pun dia, untuk kasus 1965 rekonsiliasi akan buntu,” katanya.
Mengenai keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa sejarah 1965 itu, menurut Haedar, Muhammadiyah tak pernah melakukan kekerasan kepada siapa pun jika tidak dalam situasi menyelamatkan negara. “Saya kira semua elemen masyarakat menumpas pemberontakan PKI saat itu,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Yati Andriyani, mengatakan pemerintah Indonesia bisa mempertimbangkan dokumen Amerika soal 1965 itu sebagai pendukung upaya rekonsiliasi. “Asal prosesnya setara, terbuka, dan tak mengabaikan pemulihan mereka yang menderita akibat tragedi ini,” kata dia.
DANANG FIRMANTO