Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 13 September 1904 RA Kartini meninggal di Rembang. Kartini meninggal di usia muda usai melahirkan anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sosok Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini memang sangat menarik untuk disimak. Tak hanya pernyataan 'Habis Gelap Terbitlah Terang', ia juga pahlawan Pergerakan Nasional yang berjuang menyuarakan emansipasi wanita. Ia berani mendobrak batas dan itu yang membuat namanya dikenang sepanjang masa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dikutip dari unpak.ac.id, Raden Ajeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi Bupati Jepara sesaat setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
Kartini mahir berbahasa Belanda dengan baik di usianya yang masih muda. Ini terlihat saat Kartini duduk di bangku sekolah anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi. Kemahirannya dalam berbahasa Belanda merupakan buah dari rutinnya ia membaca buku. Bahkan, dia bisa menulis surat yang membuat orang belanda tak percaya.
Salah satu buku yang dia baca seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus dan Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner. Lewat bacaan-bacaannya itulah yang menumbuhkan pemikiran ala perempuan Eropa yang maju pada diri Kartini. Sementara di Indonesia, pada saat itu, status sosial perempuan masih dianggap rendah.
Sayangnya, Kartini sama seperti perempuan pribumi yang malang tersebut. Setelah lulus dari Europeesche Lagere School, Kartini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Namun keinginan itu sirna setelah orang tuanya menentang. Kartini lalu dipingit selama bertahun-tahun dan baru benar-benar diizinkan keluar pada 1898.
Dikutip dari bpbd.bogorkab.go.id, awal perjuangan Kartini dimulai saat dia membangun sekolah khusus putri di Jepara. Di sekolah tersebut, mereka mengajarkan cara menjahit, menyulam, dan memasak. Kartini juga sering menulis surat untuk temannya di Belanda bernama Rosa Abendanon, yang berisi keinginannya untuk menaikkan derajat wanita Indonesia.
Kartini bahkan bercita-cita untuk menjadi seorang guru, meski keinginan tersebut tak terwujud karena dia harus menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang Bupati Rembang. Meskipun begitu, suami Kartini sangat mendukung cita-citanya. Kartini diizinkan membangun sebuah sekolah khusus putri di Rembang (sekarang menjadi Gedung Pramuka).
Namun, dibalik kisah inspiratifnya, Kartini juga menyimpan cerita haru. Perempuan kelahiran 21 April 1879 mengembuskan napas terakhirnya di usia muda.
Ia meninggal dunia tak lama setelah melahirkan anak laki-lakinya bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904. RA Kartini wafat pada 17 September 1904, empat hari pasca melahirkan. Jasad Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Menurut beberapa sumber, Kartini megembuskan napas terakhirnya di pangkuan suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kisah ini diterima merujuk kesaksian dari para abdi dalem yang ada pada peristiwa tersebut.
Untuk mengenang sosoknya sebagai pahlawan emansipasi, didirikanlah Sekolah Kartini di berbagai daerah, seperti di Semarang, Malang, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon. Meskipun kini Kartini telah tiada, namun cita-cita dan perjuangannya telah dapat dinikmati, kemajuan yang telah dicapai kaum wanita Indonesia sekarang ini adalah berkat goresan penanya semasa hidup yang dikenal dengan buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.