Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK biasanya komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dilibatkan dalam gelar perkara penyidikan kasus kejahatan di Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta. Hari itu, 27 Agustus 2014, Lili Siregar diundang menyaksikan bedah kasus pengiriman 52 tenaga kerja wanita ilegal yang dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur.
Gelar perkara dipimpin Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Hery Prastowo. Agendanya mendengarkan penjelasan Komisaris Besar Mohammad Slamet, Direktur Pidana Khusus Polda NTT, dan anak buahnya yang mengadukan penghentian kasus itu ke Lembaga Perlindungan Saksi. "Kami ingin melihat seperti apa penanganan kasusnya," kata Komisaris Besar Agung Yudha, Kepala Subdirektorat III Pidana Umum, menceritakan kembali pemeriksaan pada perwira menengah itu, Kamis pekan lalu.
Brigadir Rudy Soik, yang melaporkan penghentian penyidikan itu, hadir dalam gelar perkara tersebut bersama bosnya, Ajun Komisaris Besar Teja Lesmana. Keduanya menangani penyelidikan pengiriman tenaga kerja oleh PT Malindo Mitra Perkasa. Rudy melaporkan atasannya itu karena mencium penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Slamet. "Soalnya, kasus ini memenuhi unsur pidana," ujarnya.
Teja Lesmana dan Slamet berada di satu kubu yang menganggap Malindo tak bersalah. Slamet bahkan menuding Brigadir Rudy menyalahi prosedur dengan tak segera memberkas penyelidikan dan tak memiliki surat tugas. Sebaliknya, Rudy mengatakan pemberkasan belum bisa ia lakukan karena Slamet keburu memerintahkannya menghentikan penyelidikan. "Dua-duanya keliru," kata Agung.
Meski menyatakan Teja dan Slamet juga keliru, Markas Besar Polri menyatakan penyelidikan kasus ini sulit diteruskan karena para saksi dan barang buktinya sudah raib. Para tenaga kerja wanita yang tak memiliki dokumen lengkap sebagai syarat bekerja di luar negeri sudah sampai di Malaysia. Jalan tengah ditempuh: penyelidikan dilanjutkan oleh Kepolisian Resor Kupang. "Pasalnya sama, obyeknya yang berbeda," ujar Agung.
Syahdan, kasus ini bermula saat Ajun Komisaris Besar Teja Lesmana memerintahkan Rudy Soik dan beberapa penyidik menggerebek kantor cabang Malindo Mitra Perkasa di Kelurahan Maulafa, Kupang. Teja mendengar informasi bahwa perusahaan yang berpusat di Depok, Jawa Barat, ini merekrut tenaga kerja dan hendak mengirimkannya secara ilegal. Malindo dimiliki Putri Depok 2010, Arianisti Zulhanita.
Rudy dan koleganya menemukan 52 calon tenaga kerja yang tak cukup syarat dikirim sebagai buruh migran ke luar negeri. Sebanyak 25 orang tak memiliki kartu tanda penduduk, yang lain tak mengantongi izin suami sebagai syarat utama, dan Malindo melewati kuota pengiriman buruh migran dari Kupang. Perusahaan ini bisa mengirimkan maksimal 90 orang, tapi mereka hendak memberangkatkan 124 orang pada Januari 2014 itu dari 14 kabupaten yang tak dilengkapi rekomendasi pemerintah daerah setempat.
Dengan temuan itu, Rudy menilai kasus ini cukup kuat untuk disidik. Malindo, kata Rudy, melanggar Pasal 100-103 Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Komisaris Besar Slamet, yang dilapori, berpendapat sama. Ia bahkan memerintahkan kasus ini diusut dan pelakunya dari Malindo ditahan. Namun, kata Rudy, ketika para polisi hendak memeriksa calon-calon buruh itu, Slamet meminta penyelidikan dihentikan.
Slamet bahkan meminta Teja Lesmana membawa buruh-buruh itu ke kantor Dinas Tenaga Kerja NTT. Baru saja dilakukan serah-terima dengan Dinas, Slamet memerintahkan lagi buruh-buruh itu dikembalikan saja ke Malindo. Berubah-ubahnya perintah bosnya itulah yang membuat Rudy curiga "ada udang di balik perkara". Apalagi, sehari kemudian, ia justru dinyatakan bersalah telah menggerebek Malindo.
Slamet rupanya melaporkan kasus itu ke Kepala Polda NTT Brigadir Jenderal I Ketut Untung Yoga. Slamet melapor bahwa direktoratnya tak pernah mengeluarkan perintah pengusutan pengiriman buruh migran ilegal dari provinsi itu. Rudy menampiknya. Kepada Tempo, ia menunjukkan surat tugas nomor SP.Gas/02/1/2014/Ditreskrimsus tanggal 3 Januari 2014 berisi perintah pengusutan buruh ilegal.
Surat tugas tersebut terang-benderang memuat nama tujuh penyelidik untuk keperluan itu. Selain Teja dan Rudy, penyidiknya adalah Sellyana Dimu, Djoni Boro, Adriana Hurint, Dikttus M. Abor, dan I Gede Sucitra.
Dimintai konfirmasi pekan lalu, Slamet berkukuh bahwa tindakan tim Teja itu penggerebekan liar. Menurut Slamet, Malindo belum melakukan pelanggaran hukum karena para buruh itu belum diberangkatkan ke negara tujuan. "Pidana belum terjadi," katanya. Slamet menilai Malindo Perkasa hanya melakukan pelanggaran administrasi sehingga tak perlu diselidiki.
Jumriah Sulaeman, ibu Arianisti, mengakui saat penggerebekan itu dokumen 52 tenaga kerja belum cukup sebagai syarat bekerja di luar negeri. "Sebanyak 30 orang dikirim ke Malaysia setelah dokumennya lengkap," ujarnya. "Kalau tak lengkap, tentu tak bisa berangkat, kan?"
Rudy tetap mencium ada permainan atasannya yang berkongkalikong dengan Malindo. Karena itu, ia melaporkannya ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Divisi Profesi Mabes Polri. Ia menduga Slamet mendapat perintah dari dua perwira tinggi di Polda NTT dan Mabes Polri yang dekat dengan Malindo sehingga menghentikan pengusutan kasus ini. Rudy melampirkan buktinya saat melaporkan kasus ini.
Pada 4 Juni 2014, demikianlah bukti yang diperoleh Rudy, tercatat pengiriman mobil Toyota Innova milik Malindo dari Surabaya ke Kupang. Pada resi pengiriman perusahaan ekspedisi PT Limaputri Adikreasi, tertera nama "Kombes Pol Drs. Sam K-Kupang" dan "Brigjen Pol Drs. Alex-Jakarta". "Sam K" tak lain Komisaris Besar Sam Kawengian, Direktur Reserse Pidana Umum Polda NTT. Adapun "Alex" adalah Brigadir Jenderal Alexander Marten Mandalika, Kepala Pusat Laboratorium Forensik Reserse Umum Mabes Polri.
Jumriah membenarkan telah mengirim mobil itu ke Kupang, tapi menyangkal mengirimnya atas nama dua perwira itu. Mobil tersebut, kata dia, akan dipakai untuk kendaraan operasional Malindo di Kupang. "Sama sekali tak ada kaitan dengan mereka," katanya.
Sam Kawengian menolak berkomentar. "Maaf, saya sedang sibuk," ujarnya ketika ditemui di kantornya. Alex juga menghindar dengan tak membalas kontak dari Tempo, termasuk terhadap surat permohonan wawancara yang dikirim ke kantornya. Slamet juga menyangkal mendapat perintah dari dua perwira itu.
Adapun Jumriah tak menampik mengenal keduanya. Sam dan Alex, kata dia, adalah teman masa kecilnya di Gowa, Sulawesi Selatan, ketika tinggal di asrama polisi bersama orang tua masing-masing. Ketiganya terus menjalin kontak ketika sama-sama hijrah ke Jakarta. "Soal kasus, saya tak pernah berbicara dengan mereka," katanya.
Rusman Paraqbueq (Jakarta), Yohanes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo