Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Adanya salah bayar hingga ratusan miliar rupiah itu mengindikasikan bahwa manajemen Kementerian Kesehatan tidak cermat dalam mengeksekusi pengadaan barang dan jasa.
Kelebihan bayar alat kesehatan Covid-19 ini akan berdampak pada pemborosan anggaran.
Sangat mungkin terjadi konflik kepentingan sehingga pejabat pembuat komitmen menunjuk langsung penyedia barang dan jasa tertentu.
JAKARTA – Pegiat antikorupsi mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi atas adanya kelebihan pembayaran pengadaan alat kesehatan penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 167 miliar. Audit investigasi itu dimaksudkan untuk mengungkap modus di balik adanya salah bayar serta dugaan pelanggaran pidana korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Gunadi Ridwan, menilai adanya salah bayar hingga ratusan miliar rupiah itu mengindikasikan bahwa manajemen Kementerian Kesehatan memang buruk serta tidak cermat dalam mengeksekusi pengadaan barang dan jasa. Ia menjelaskan, meski pengadaan alat kesehatan itu dilakukan di tengah bencana wabah dan harus segera direalisasi, semestinya ada proses dan tahap pengadaan yang tak bisa diselesaikan secara tergesa-gesa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apalagi ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang bisa menjadi dasar untuk pemakluman sehingga membuat pemerintah merasa apa yang dilakukan ada payung hukum yang kuat," kata Gunadi, Jumat, 27 Mei 2022.
Menurut Gunadi, publik perlu mengetahui kondisi sesungguhnya saat pengadaan barang terjadi. Misalnya, terjadi kelangkaan materi ataupun bahan baku sehingga mengakibatkan harga barang tinggi. Di samping itu, publik mesti kritis terhadap ketidakwajaran harga sesuai dengan temuan BPK tersebut. Sebab, tidak menutup kemungkinan ada celah bancakan anggaran di situ dengan memanfaatkan kondisi hukum dan payung hukum dalam kondisi darurat penanganan pandemi.
"Sehingga perlu ada uji petik terhadap dokumen laporan dan sinkronisasi dengan temuan lapangan," ujar dia.
Ia menjelaskan, apa pun alasannya, kelebihan pembayaran ratusan miliaran rupiah ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah. Pemerintah perlu membuat standar kebencanaan yang andal sehingga, saat terjadi kondisi darurat wabah, mereka sudah siap menanganinya. "Supaya tidak terjadi lagi kondisi yang menyebabkan kerugian negara atau hilangnya potensi pendapatan," katanya.
Petugas menunjukkan bantuan baju pelindung dari Kementerian Kesehatan di Wisma Perdamaian, Tugu Muda, Semarang, Jawa Tengah, 24 Maret 2020. ANTARA/Aji Styawan
Sesuai dengan temuan BPK atas pemeriksaan kepatuhan pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan pada 2020 dan 2021, terjadi kelebihan bayar mencapai Rp 31,6 miliar untuk pengadaan alat kesehatan penanganan Covid-19 pada Pusat Krisis Kesehatan. Alat kesehatan itu di antaranya alat pelindung diri, masker N95, handscoon non-steril, dan masker medis dengan anggaran sebesar Rp 791 miliar.
BPK juga menemukan adanya kelebihan bayar pengadaan bahan pemeriksa polymerase chain reaction (PCR) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan yang mencapai Rp 136 miliar. Bahan pemeriksa itu berupa reagen PCR, RNA, dan VTM dengan anggaran Rp 2,4 triliun.
Peneliti dari Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, mengatakan kelebihan bayar alat kesehatan Covid-19 ini akan berdampak pada pemborosan anggaran. Kelebihan bayar tersebut sekaligus mengindikasikan adanya potensi penyimpangan anggaran yang lebih besar. "Kondisi ini akibat proses pengadaan yang tidak dilakukan dengan matang," kata dia.
Agus berpendapat pemerintah semestinya menyusun perencanaan dan pengadaan barang secara matang sesuai dengan kebutuhan meski dalam kondisi darurat. Lalu, dalam penentuan harga, pemerintah juga mesti berhati-hati agar terhindar dari kelebihan bayar.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, sependapat dengan Agus. Zaenur mengatakan kelebihan bayar dalam setiap pengadaan sering kali terjadi. Masalahnya, ketika penyedia barang mengembalikan kelebihan biaya tersebut, persoalan itu dianggap tuntas.
Menurut Zaenur, pemeriksa mesti melihat adanya indikasi non-teknis sehingga terjadi kelebihan bayar, seperti dugaan suap dan gratifikasi. Adanya indikasi suap dan gratifikasi ini bisa didorong ke penegak hukum.
Ia yakin banyak pihak yang main mata dalam pengadaan barang untuk kebutuhan penanggulangan Covid-19. Contoh nyata adalah program penyaluran bantuan sosial bagi warga terkena dampak Covid-19 tahun anggaran 2020. Bantuan ini sudah terbukti dikorupsi dan bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara telah divonis 12 tahun penjara atas kasus korupsi bantuan sosial tersebut.
Zaenur melanjutkan, jika auditor BPK tak menemukan indikasi suap dan gratifikasi dalam kelebihan bayar itu, tetap sangat mungkin terjadi konflik kepentingan sehingga pejabat pembuat komitmen menunjuk langsung penyedia barang dan jasa tertentu. "Sangat mungkin penyedia barang dan jasa ditentukan sebelum ada proses pengadaan, merek, dan jumlah ditentukan. Itu sangat mungkin terjadi di berbagai krisis," kata Zaenur.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo