Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bagaimana Anies Baswedan Memburu Suara Nahdlatul Ulama

Anies-Muhaimin mencoba merangkul pemilih nahdliyin. Menjawab tudingan politik identitas dan kedekatan dengan kelompok kanan.

8 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hadapan para pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Jumat, 29 September lalu, Muhaimin Iskandar memperkenalkan pasangannya, Anies Baswedan. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu pun tak sungkan meminta restu agar pasangan Anies-Muhaimin terpilih sebagai presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu lantas menceritakan kenangannya saat bersama-sama Anies kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada awal 1990-an. Muhaimin lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Adapun Anies di Fakultas Ekonomi dan bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam.

“Mas Muhaimin bilang sering ngopi bareng Mas Anies,” ujar Kiai Syamli Musqith, pengasuh Pesantren Annuqayah, menceritakan pertemuan itu kepada Tempo, Jumat, 6 Oktober lalu. Menurut Syamli, Anies lalu memperkenalkan diri dan bercerita tentang deklarasinya sebagai calon presiden-wakil presiden bersama Muhaimin pada Sabtu, 2 September lalu.

Pertemuan ditutup dengan doa bersama. Sahibulbait dan tetamunya kemudian menyantap bebek songkem dan sayur daun kelor. Muhaimin mengatakan berkunjung ke Annuqayah untuk meminta restu. “Alhamdulillah, para kiai Annuqayah memberikan restu dan dukungan,” katanya dalam keterangan pers, Jumat, 29 September lalu. 

Syamli—istrinya berkerabat dengan Muhaimin—bercerita, kunjungan itu bukan yang pertama kali. Pada Mei lalu, bekas Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu datang ke Annuqayah dan menceritakan koalisi PKB dengan Partai Gerindra. Kala itu Muhaimin meminta didoakan agar bisa menjadi calon wakil presiden.

Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengatakan, sejak pasangan Anies-Muhaimin dideklarasikan, mereka langsung memulai safari ke berbagai pesantren. Kadang secara terpisah, pada kesempatan lain mereka menyambangi pesantren besar bersama-sama. Manuver itu dimulai dari Jawa Timur, yaitu Banyuwangi, Jember, hingga Surabaya.

Dengan 16 persen pemilih pada Pemilu 2024, Jawa Timur memang menjadi salah satu battleground utama. “Nantinya dilanjutkan ke Jawa Tengah,” ujar Jazilul.

Pada Selasa, 3 Oktober lalu, Anies dan Muhaimin menyambangi Pesantren Al-Ittihad di Banyumas, Jawa Tengah. Pemimpin Al-Ittihad, Kiai Mughni Labib, mengatakan dalam pertemuan itu Muhaimin menceritakan nostalgia ketika mereka sama-sama kuliah di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri pada 1986.

Mughni tak membantah bila teman satu mejanya itu disebut meminta dukungan. “Sebagai dukungan moril, kami doakan,” tuturnya pada Kamis, 5 Oktober lalu.

Jazilul Fawaid tak menampik jika rangkaian kunjungan itu disebut bertujuan menggalang suara dari kader Nahdlatul Ulama. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Juli lalu menyebutkan ada 40,9 juta pemilih tetap yang berasal dari kalangan nahdliyin.

Baca Juga:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Jazilul, Anies-Muhaimin tak hanya meminta restu, tapi juga menjelaskan berbagai visi mereka. Termasuk mengenai konsep pengembangan pesantren. Anies-Muhaimin tak hanya berupaya mendulang suara nahdliyin. Tiga politikus PKB bercerita, setiap kali berkunjung ke pesantren, pasangan itu berupaya mengklarifikasi berbagai tudingan. 

Saat memimpin rombongan ke Pesantren Annuqayah, salah satu pesantren tertua di Pulau Madura yang berdiri pada 1887, Muhaimin menjelaskan tudingan yang kerap melekat terhadap Anies. Bekas Gubernur DKI Jakarta itu dinilai dekat dengan kelompok kanan.

Pun Jazilul menyatakan Anies kerap dianggap menggunakan politik identitas dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2017. Kepada para kiai dan tokoh pesantren, kata Jazilul, Anies menyangkal jika disebut menggunakan cara itu. Anies pun menjelaskan bahwa ia sejak kecil terbiasa mengikuti peringatan maulid Nabi Muhammad.

Selain itu, Anies menyampaikan kerap memimpin salawat dan mengikuti tahlilan. “Sejak kecil, Anies hidup dengan tradisi religius santri,” ujar Jazilul, yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada Jumat, 6 Oktober lalu. 

Kubu Anies-Muhaimin juga berupaya menjelaskan posisi salah satu partai politik pendukung mereka, yaitu Partai Keadilan Sejahtera. Menurut tiga politikus PKB, banyak nahdliyin mempertanyakan alasan PKB dan Partai NasDem berkoalisi dengan PKS yang dianggap memiliki ajaran Islam berbeda, yaitu Wahabi.

Juru bicara PKS, Ahmad Mabruri, mengakui ada perbedaan ideologi antara pemilih partainya dan PKB. Namun ia menilai isu perbedaan itu selalu dimunculkan setiap lima tahun sekali, yaitu menjelang pemilihan umum. Namun Mabruri membantah jika partainya disebut terafiliasi dengan Wahabi.

Mabruri mencontohkan, ajaran Wahabi melarang peringatan maulid Nabi Muhammad. “Sekarang ini semua struktur di PKS menggelar acara maulidan,” katanya pada Jumat, 6 Oktober lalu. Ia pun menilai perbedaan ideologi bukan masalah. “Justru pasangan Anies-Muhaimin jadi kekuatan untuk menyatukan.”

Syamli Musqith, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, juga membenarkan adanya ganjalan dari kader Nahdlatul Ulama tersebab kehadiran PKS. Namun ia mengklaim para kiai meyakini Anies bukan kader PKS. Justru kehadiran PKS, yang juga memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, bisa memperkuat koalisi pendukung Anies-Muhaimin.

Tak hanya berkunjung ke pesantren, Anies Baswedan juga kerap berziarah kubur, tradisi yang berkembang di kalangan nahdliyin. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu berdoa di pusara tokoh nasional, tokoh agama setempat, dan tokoh daerah.

Pada Ahad, 24 September lalu, Anies bersama Muhaimin mengunjungi makam pahlawan nasional Pangeran Diponegoro di Makassar. Keduanya berada di sana karena ada acara jalan sehat di Kompleks Ramayana.

Makam Diponegoro sempat disinggung oleh calon rival Anies-Muhaimin, Prabowo Subianto, yang ingin memindahkan kuburan tersebut ke kota asalnya, Yogyakarta. Anies ingin mempertahankan makam itu karena Diponegoro wafat di Makassar. “Biarkan itu menjadi bagian dari sejarahnya,” ucap Anies saat itu. Saat berkunjung ke Banyumas, Anies berziarah ke makam bupati pertama Banyumas, Raden Djaka Kahiman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Duet Mengalap Restu"

Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus