Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Tambal-Sulam Beban Kereta Cepat

Kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi dengan menanggung banyak beban. KAI terpaksa menambah utang dan mencari tambalan dana.

8 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kereta cepat Jakarta-Bandung mulai beroperasi bulan ini.

  • KCIC harus mencari tambahan dana untuk menutup beban operasi.

  • Penghasilan dari batu bara terpaksa disisihkan untuk kereta cepat.

PERJALANAN kereta cepat Jakarta-Bandung pada Kamis, 5 Oktober lalu, menjadi pengalaman baru bagi Bambang. Biasanya, pria yang tinggal di Tambun, Bekasi, Jawa Barat, itu pergi ke Bandung dengan menumpang kereta Cikuray, kereta kelas ekonomi rute Jakarta-Garut dengan tiket Rp 45 ribu per orang. Kali ini Bambang mengarungi rute Jakarta-Bandung dengan Whoosh, wahana angkutan baru yang menjanjikan kecepatan hingga 350 kilometer per jam. “Kapan lagi naik kereta ini kalau enggak gratis," ujarnya, berceloteh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beruntung, Bambang yang sehari-hari mengelola lahan parkir sepeda motor di dekat Stasiun Tambun bisa mendapatkan tiket gratis Whoosh, kependekan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat. Dia satu dari ribuan orang yang menjajal peruntungan mendapatkan tiket gratis dalam agenda Whoosh Experience Program yang digelar operator kereta cepat Jakarta-Bandung, PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah mendaftar di situs ayonaik.kcic.co.id dan mendapatkan tiket kereta cepat menuju Bandung, Bambang berangkat dari Bekasi ke Stasiun Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, dengan menumpang kereta ringan atau LRT. Tak seberuntung ketika berangkat, dia gagal mencekut tiket kereta cepat untuk kembali dari Bandung ke Jakarta. Walhasil, setiba di Stasiun Kereta Cepat Tegalluar, Kabupaten Bandung, Bambang terpaksa naik angkutan lain menuju Kota Bandung yang berjarak sekitar 20 kilometer. "Dari Bandung bisa naik kereta biasa ke Jakarta atau naik bus saja," katanya. 

Sementara Bambang pergi sendiri, ada yang menjajal kereta cepat Jakarta-Bandung secara berombongan. Salah satunya sekelompok wanita paruh baya asal Depok, Jawa Barat, yang berseragam baju putih dan celana hitam serta berpenutup kepala merah. Pada Kamis itu, mereka berbaris di depan pintu antrean tiket Stasiun Halim sambil berfoto dan bergaya di depan kamera. Mereka pun berseru: "Indonesia keren. Terima kasih, Pak Jokowi. Whoosh, Whoosh, Whoosh.” Empat puluh lima menit kemudian, sesampai di Stasiun Tegalluar, mereka berfoto di dekat moncong belakang kereta cepat, kali ini tanpa seruan.

Interior Kereta Cepat Jakarta Bandung saat menunggu keberangkatan di Stasiun Halim, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Antusiasme warga terhadap kereta cepat Jakarta-Bandung yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Oktober lalu, seperti tak berhenti. Dengan kecepatan melesat bak peluru, moda angkutan canggih ini menjanjikan penghematan waktu yang signifikan. Perjalanan Jakarta-Bandung memakai kereta biasa atau bus dan mobil memerlukan waktu tiga-lima jam. Tapi, dengan Whoosh, perjalanan sejauh 142,3 kilometer itu cuma makan waktu 40-45 menit.

Whoosh akhirnya beroperasi setelah menempuh proses 6 tahun 10 bulan, tepatnya sejak proyek ini dimulai dengan peletakan batu pertama di kawasan di Walini, Kabupaten Bandung Barat, pada Januari 2016. Dalam perjalanannya, proyek ini penuh kontroversi, antara lain karena menelan biaya yang sangat tinggi. Ketika proyek ini dicanangkan, pemerintah menyatakan diperlukan investasi US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun. Dananya akan ditanggung korporasi, bukan dari anggaran negara. Belakangan, biaya proyek ini membengkak menjadi US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp 108 triliun.
  
Setelah biaya membengkak, pemerintah dan para kontraktor kereta cepat harus berakrobat, dari menambah pinjaman hingga mengatur kebijakan penjaminan utang. Muncul pula pertanyaan tentang harga jual tiketnya, yang sudah pasti tak murah untuk kalangan menengah-bawah. “Ketika masa uji coba gratis tentu penuh. Coba lihat nanti ketika harga tiketnya lebih mahal dibanding angkutan lain dari Jakarta hingga ke Kota Bandung,” ucap Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira pada Jumat, 6 Oktober lalu.

•••

KETIKA Whoosh melintasi wilayah Karawang, Jawa Barat, laju kereta sempat menembus 351 kilometer per jam. Saking melesatnya kereta, sebuah stasiun di kawasan lumbung beras itu hanya terlihat sekelebat. Dulu, ketika pemerintah merancang Whoosh, stasiun di tengah sawah itu akan menjadi salah satu perhentian untuk naik-turun penumpang. Kini bangunan besar itu tak terpakai.  

Dua tahun lalu, KCIC membangun Stasiun Kereta Cepat Karawang yang terletak di dekat Sungai Cibeet, 1 kilometer dari Jalan Raya Pangkalan. Wilayah ini pun hanya berjarak 2-3 kilometer dari kawasan industri Deltamas dan Karawang Jabar Industrial Estate (KJIE). Kini, setelah Whoosh beroperasi, stasiun itu tak bisa dipakai karena tak memiliki akses jalan yang memadai. “Pengelola kawasan itu belum mau membuat akses,” tutur Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo kepada Tempo, Agustus lalu. 

Sejumlah penumpang menunggu keberangkatan Kereta Cepat Jakarta Bandung di Stasiun Halim, Jakarta, 20 September 2023. Tempo/Tony Hartawan

KCIC sebenarnya menyiapkan tiga opsi akses Stasiun Karawang. Berdasarkan dokumen perusahaan, opsi pertama adalah membuat gerbang jalan tol baru di Kilometer 42 jalan tol Jakarta-Cikampek dan membangun jalan tembus sampai ke stasiun. Jalan ini akan dibangun oleh PT Jasa Marga (Persero) dan PT Wika Realty bersama Deltamas dengan estimasi biaya Rp 2,4 triliun. 

Opsi kedua adalah membangun akses dari Deltamas menyeberangi Sungai Cibeet. Dengan cara ini, biaya pembangunan jalan mencapai Rp 100 miliar. Adapun pilihan ketiga adalah membuat jalan tembus ke Jalan Trans Heksa KJIE dengan biaya Rp 276 miliar. Tapi sampai saat ini belum ada dari tiga opsi itu yang dieksekusi. Walhasil, Stasiun Karawang menjadi tontonan semata, seolah-olah tanpa guna.     

Nasib Stasiun Karawang bisa jadi paling apes dibanding stasiun kereta cepat lain. Stasiun Halim Perdanakusuma, misalnya, sudah dilengkapi jalur kendaraan roda empat dan roda dua dari Jalan D.I. Panjaitan dan gerbang keluar jalan tol kilometer 1 hingga ke stasiun LRT. Stasiun Padalarang di Kabupaten Bandung Barat ditopang kereta lokal sebagai feeder menuju Kota Bandung serta akses jalan ke kawasan hunian Kota Baru Parahyangan yang disiapkan Lyman Group. 

Sedangkan Stasiun Tegalluar memiliki akses yang cukup banyak karena terhubung dengan Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Masjid Al Jabbar, hingga Stasiun Cimekar. Di sana ada minivan milik Perusahaan Umum Damri yang menjadi feeder dengan tarif Rp 10 ribu per penumpang. Pengembang properti Summarecon juga menyiapkan akses jalan yang terletak 6 kilometer dari stasiun itu.

Perbedaan akses antarstasiun ini menjadi salah satu persoalan dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Stasiun Karawang kini menjadi beban bagi KCIC karena sudah menyedot biaya tapi tak menghasilkan fulus sepeser pun. Persoalan lain yang juga ada di depan mata adalah tingkat keterisian atau okupansi kereta yang dikhawatirkan tak mencapai target. Jika okupansi tak memenuhi batas minimal, kerugian operasi Whoosh akan makin besar.

Kajian tentang penumpang ini dilakukan oleh KCIC bersama Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi, dan Layanan Rekayasa (Polar) Universitas Indonesia. Survei Polar UI pada 2021 menyatakan jumlah penumpang bisa mencapai 30.505 per hari tahun ini. Jumlah tersebut memakai skenario tarif Rp 325 ribu untuk rute Halim-Padalarang. Sedangkan jika tarifnya Rp 250 ribu, ada potensi 38.718 penumpang per hari. Dalam skenario ketiga dengan tarif Rp 300 ribu, ada potensi penumpang 33.253 per hari. 

Belakangan, KCIC merevisi proyeksi tersebut menjadi 10 ribu penumpang per hari. Walhasil, jumlah penumpang dalam setahun hanya 3,6 juta. Jika dikalikan dengan tarif termahal pun penghasilan Whoosh dari penjualan tiket dalam setahun hanya Rp 1,26 triliun, nyaris sama dengan biaya operasinya. Jika kondisi ini tak berubah, sulit bagi KCIC untuk terhindar dari kerugian.

Biaya yang cukup besar adalah biaya operasi dan perawatan. Guna mempercepat operasi kereta cepat, KCIC memasrahkan bagian ini kepada Operation and Maintenance Consortium atau OMC, yang dikelola PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI dan China Railway Engineering Corporation atau CREC pada tahun pertama. 

CREC, melalui anak usahanya, Tianyou Jingtie Engineering Consulting (TIJEC) Co Ltd, awalnya menawarkan jasa OMC US$ 118,5 juta (Rp 1,8 triliun) per tahun. Dari jumlah itu, US$ 101 juta digunakan untuk menggaji 852 pegawai asal Cina dan sisanya menjadi beban perusahaan. Sedangkan KAI meminta Rp 59,3 miliar per tahun dengan rincian Rp 39,3 miliar untuk menggaji 95 pegawai dan Rp 20 miliar sebagai beban perusahaan. 

KCIC pun mundur ketika melihat biaya OMC membengkak dua kali lipat dari yang mereka siapkan, terutama karena penggajian personel asal Cina. Apalagi, seperti tertulis dalam dokumen perusahaan, KCIC hanya menyiapkan anggaran buat gaji personel tanpa komponen beban perusahaan. Hingga 14 Agustus lalu, negosiasi pengadaan OMC buntu. Sebulan kemudian, General Manager Corporate Secretary KCIC Eva Chairunisa mengabarkan bahwa titik temu negosiasi biaya OMC sudah tercapai. “Disepakati tidak lebih dari Rp 1 triliun per tahun,” ujar Eva pada Jumat, 15 September lalu. 

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan kesepakatan tercapai setelah Cina mau membayar sendiri sebagian biaya OMC. “Pegawai Cina yang bekerja di sini dibiayai oleh mereka, semacam kontribusi pada ekuitas KCIC," katanya. Konsekuensinya, saham konsorsium perusahaan Cina di KCIC bakal bertambah. 

Dengan pembengkakan biaya tersebut, Seto mengakui pada tahap awal pendapatan KCIC tak akan cukup untuk menutup beban operasi Whoosh. Dia pun tak berani menyebutkan kapan titik impas atau break-even point proyek ini tercapai. “Baru bisa dilihat setelah setahun beroperasi. Kalau sekarang, mau bikin skenario apa pun belum kelihatan,” ucapnya.

•••

PEMERINTAH kini mencari berbagai jalan agar Whoosh bisa tetap beroperasi di tengah pembengkakan biaya dan melesetnya berbagai proyeksi. Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan merancang sederet skema, termasuk dengan menambal-sulam pendapatan dan menambah utang. 

Salah satu usulan Komite Kereta Cepat adalah penyisihan sebagian penghasilan KAI, pemimpin konsorsium perusahaan Indonesia di KCIC, untuk membiayai operasi Whoosh. Caranya adalah memakai sebagian pendapatan KAI dari pengangkutan batu bara di Sumatera dalam tabungan dana penyisihan alias sinking fund. Komite menilai potensi sinking fund dari pengangkutan batu bara sangat besar. Pada 2022, misalnya, pendapatan KAI dari pengangkutan batu bara mencapai Rp 8,4 triliun, jauh lebih banyak dari pendapatan dari pengangkutan penumpang yang sebesar Rp 6,9 triliun.

Jika secuil pendapatan itu disisihkan ke sinking fund, fulus yang terkumpul bisa disalurkan ke proyek kereta cepat. Demi mendukung rencana ini, pemerintah pun mengubah tarif pengangkutan batu bara yang awalnya tetap menjadi dinamis, sesuai dengan perubahan harga batu bara dunia. Singkat kata, tarif angkutan akan naik ketika harga batu bara melejit. Peluang dari pengangkutan batu bara di Sumatera, menurut perkiraan Komite, sama besarnya dengan potensi cadangan komoditas tersebut berikut peluang kenaikan harganya. Jika ini terjadi, sinking fund bakal menampung keuntungan tak terduga atau windfall tatkala harga batu bara naik. 

Rencana ini mengemuka dalam rapat koordinasi tingkat menteri yang membahas kereta cepat Jakarta-Bandung pada 8 Februari lalu. Selain pembentukan sinking fund, opsi yang muncul adalah menambah utang US$ 569 juta (Rp 8,9 triliun) kepada China Development Bank (CDB) untuk menambal pembengkakan biaya kereta cepat. Lagi-lagi utang ini akan menjadi beban KAI. Pemerintah, melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), akan memberikan jaminan atas utang tambahan itu. “Hasil asesmen dalam rapat koordinasi tingkat menteri tersebut menunjukkan skema ini solid,” tutur seorang pejabat yang mengetahui isi rapat tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang penjaminan pemerintah untuk proyek kereta cepat pada 31 Agustus lalu. Aturan ini adalah turunan dari Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang salah satu isinya membuka peluang penggunaan anggaran negara dalam proyek kereta cepat. 

Menurut Septian Hario Seto, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, meski pemerintah akhirnya "turun" dalam proyek ini, ada instrumen yang bisa dipilih agar anggaran negara tak mesti keluar. Penjaminan dari PII, dia menerangkan, menjadi jalan keluar atas persoalan itu. "Kami kasih penjaminan utang KAI, dan KAI diperkuat,” ujarnya.  Seto mengaku tak khawatir terhadap KAI yang bakal menanggung beban berat karena kondisi keuangan perusahaan kereta pelat merah itu cukup solid. Pada 2022, KAI mencetak laba Rp 1,6 triliun dan pendapatan sebelum pajak Rp 4 triliun.

Untuk melonggarkan beban utang proyek, Komite Kereta Cepat melakukan beberapa cara. Yang pertama adalah merayu CDB agar menambah jeda bayar utang atau grace period dari 10 tahun menjadi 15 tahun. Pemerintah meminta CDB melonggarkan grace period untuk semua utang kereta cepat, dari fase pertama atau rencana biaya awal dan pinjaman buat menalangi pembengkakan biaya atau cost overrun. Jika negosiasi berhasil, KCIC baru akan membayar semua utang itu pada 2038. "Agar bisa punya ruang yang cukup untuk memperlancar operasinya,” ujar Seto. 

Cara kedua adalah melobi CDB agar menurunkan bunga utang berdenominasi dolar Amerika Serikat dan renminbi dengan bunga 4 persen. Dengan negosiasi ini, kemungkinan besar bunga utang berdenominasi dolar Amerika bakal turun menjadi 3,2 persen dan bunga utang dalam renminbi mencapai 3,1 persen. Bunga itu, kata Seto, sudah murah jika dibandingkan dengan bunga utang pemerintah Amerika Serikat atau US Treasury yang kini mencapai 3,7 persen untuk tenor 10 tahun atau obligasi Cina yang sebesar 3,2 persen. “Jadi tidak ada jebakan utang. Ini bunga yang cukup adil dan jangan lupa, ini utang korporasi, bukan pemerintah,” ucapnya. 

Pemerintah boleh saja menyusun klaim. Tapi, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, cara-cara tersebut tak membuat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung layak secara bisnis. Dia memberi contoh, skema sinking fund dari pendapatan batu bara tak bisa diandalkan karena di masa depan bisnis komoditas itu akan terbenam. “Pemerintah mencari cara subsidi silang, tapi ini kontradiktif dengan kebijakan soal pengurangan emisi dari batu bara,” katanya. 

Menurut Bhima, skema subsidi silang antara KAI dan KCIC menunjukkan sejak awal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak feasible. Ujung-ujungnya, dia menambahkan, pemerintah mesti siap menanggung semuanya. Bhima menyoroti posisi perusahaan pelat merah yang dikontrol pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Ketika BUMN merugi, pemerintah harus mencari cara untuk menyelamatkannya, termasuk dengan penyertaan modal negara. "Ini yang disebut utang tersembunyi pemerintah." 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Khory Alfarizi dan Ahmad Fikri dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gali Fulus Penambal Whoosh "

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus