Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Asa Relawan Pendidikan Tingkatkan Literasi di Desa Terpencil

Beragam hambatan menjadi persoalan klasik dalam dunia pendidikan Indonesia. Seperti sepenggal cerita di desa terpencil di pelosok Sulawesi ini.

30 November 2021 | 12.30 WIB

Joko Supriyanto, Pengajar Muda Indonesia Mengajar bersama siswa-siswi SDN Moa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dok. Pribadi
Perbesar
Joko Supriyanto, Pengajar Muda Indonesia Mengajar bersama siswa-siswi SDN Moa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kesenjangan pendidikan di Indonesia merupakan permasalahan klasik yang harus diselesaikan bersama. Sebagai relawan pengajar muda di Indonesia Mengajar, Joko Supriyanto mengambil bagian dalam upaya penyelesaian masalah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Joko mengabdikan diri untuk mengajar di Desa Moa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Ia bekerja di sekolah dasar dan tinggal di rumah penduduk setempat sejak September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa Moa terletak di Kecamatan Kulawi Selatan. Untuk mencapai kecamatan itu, butuh waktu sekitar tiga jam dari Kabupaten Sigi. Selanjutnya dari Kecamatan Kulawi Selatan menuju Desa Moa, diperlukan waktu sekitar dua jam.

Pria yang akrab disapa Josu itu bercerita, perjalanan dari kecamatan menuju desa, hanya bisa ditempuh dengan motor. Di sisi kanan kiri jalan berhadapan dengan tebing curam dan jurang yang rawan longsor.

"Jika cuaca buruk, pohon-pohon besar bisa tumbang dan menghalangi jalan. Belum lagi, saya harus melewati beberapa jalan aliran sungai serta jembatan gantung yang sudah reyot. Butuh perjuangan untuk sampai di daerah penempatan ini," ujarnya saat dihubungi Tempo, Senin, 29 November 2021.

Tidak adanya akses jaringan internet menjadi tantangan baru bagi pria asal Jakarta tersebut. Desa Moa adalah salah satu desa di Kabupaten Sigi yang tercatat sebagai desa blank spot. "Harus naik ke bukit untuk bisa mendapatkan sinyal, itu pun tersendat-sendat. Di sekolah ada jaringan VSAT, tapi hanya menyala kalau ada genset," ujar dia.

Perjuangannya tidak hanya sebatas kesulitan akses transportasi, listrik, dan jaringan internet, tenaga pengajar di sana pun kurang. Hanya ada tiga PNS dan dua tenaga honorer. "PNS di sana tidak mengajar full time, karena jarak sekolah dasar yang jauh dari tempat tinggal mereka," ujar dia.

Josu kerap kali harus menghandel enam kelas sekaligus, jika guru-guru tidak hadir. Syukurnya ada satu tenaga honorer asli Desa Moa yang rajin membantunya di sana.

Kondisi jalan menuju Desa Moa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Istimewa

Ketertinggalan di desa itu tidak hanya tergambar dari lingkungan sekolah yang seadanya atau tenaga pengajar yang kurang, kemampuan siswa-siswa di sana juga tertinggal. "Saat awal tiba, saya mengetes siswa dari kelas 1-6 satu per satu, hampir seluruh siswa kelas 6 belum bisa membaca saat itu," ujar alumnus Universitas Mercu Buana itu.

Melihat kondisi tersebut, Josu mengesampingkan kurikulum mengajar terlebih dahulu dan fokus mengajarkan siswa membaca dan berhitung. Sebab, tanpa kemampuan tersebut, tidak mungkin siswa memahami pembelajaran lainnya.

Dua minggu di sana, lambat laun Josu mulai melihat perkembangan kemampuan para siswa, sebagian mulai lancar membaca dan sebagian lainnya mengeja. "Saya mengajar dari pagi sampai sore. Tidak melulu belajar formal, seringkali saya sisipkan bermain sambil belajar di sawah atau bukit. Perlahan usaha yang saya lakukan membuahkan hasil," ujarnya.

Hingga kini, ujar Josu, siswa kelas 5 dan 6 sudah mulai bisa menulis cerita dan tulisan mereka semakin berkembang dari hari ke hari. "Anak-anak desa itu sangat antusias menyambut pengajar seperti saya, mungkin karena di sana sangat kekurangan layanan pendidikan," ujar Josu.

Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Siswa kelas 5 atau 6 SD di daerah ujung utara Indonesia yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia itu banyak yang belum lancar membaca.

Relawan Ikatan Keluarga Baca Malinau, Dedy Apriansyah menyebut, minat baca anak-anak di Malinau sebetulnya tinggi, namun mereka tidak memiliki akses terhadap buku-buku ramah anak.

"Jadi anak-anak itu bukan malas membaca, tapi bingung mau baca apa, karena yang ada cuman buku teks pelajaran. Jadi, kami carikan buku-buku ramah anak untuk menarik minat baca mereka," ujar pria berusia 28 tahun itu saat bercerita kepada Tempo, beberapa waktu lalu.

Sekolah dasar di sana pun kemudian menjalin kerja sama dengan taman baca masyarakat yang didirikan sejumlah pemuda-pemudi yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Baca Malinau.

Siswa SDN Desa Moa melewati jembatan gantung menuju lokasi ANBK. Istimewa

"Kami oper-operan data. Jadi sekolah memetakan berapa siswa yang tidak bisa membaca, kemudian dibawa ke taman baca. Di sana, para relawan fokus mengajar sampai mereka bisa membaca," ujar Guru SD 005 Malinau Barat itu.

Hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) 2018 menunjukkan skor kemampuan siswa Indonesia dalam membaca adalah 371 dan menempati peringkat 72 dari 78 negara. Asesmen Nasional digadang-gadang akan menjadi sebuah harapan baru bagi peningkatan kemampuan literasi siswa Indonesia.

Asesemen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang mulai dilakukan pada 2021 ini akan memberikan gambaran berada di level mana capaian literasi tiap sekolah, apakah pada level perlu intervensi khusus, dasar, cakap, atau mahir. Data hasil capaian asesmen tersebut akan menjadi dasar memperbaiki kualitas pembelajaran literasi di sekolah ke depannya.

Di tengah keterbatasan, sekolah Dedy maupun Josu turut mengikuti ANBK. Para siswa mereka harus menumpang ke sekolah lain karena tidak memiliki fasilitas atau prasarana yang mendukung terlaksananya ANBK, seperti komputer, jaringan internet, dan aliran listrik. 

Siswa SDN Desa Moa misalnya, harus menumpang ke SMPN 6 Tompi Bugis di Kecamatan Kulawi Selatan. Butuh waktu sekitar dua jam menuju ke lokasi ANBK, belum lagi jika terhambat cuaca buruk yang akan mempersulit jalan.

"Karena lokasi yang jauh, sebelum ujian pada 24-25 November, kami bermalam di rumah salah satu guru, di Desa Pilimakujawa. Dari situ, butuh waktu sekitar 25 menit menuju lokasi ANBK. Jalan di sana juga tidak mulus, anak-anak harus berjalan lewat jembatan gantung, baru bisa dijemput dengan ojek motor," ujar Josu.

Proses belajar sebelum ANBK pun sangat sulit. Siswa-siswa belum bisa mengoperasikan komputer. Josu mengandalkan perangkat laptop pribadinya membantu anak-anak berlatih komputer.

"Hampir setiap malam mereka bergantian datang ke rumah untuk belajar komputer. Belum lagi kalau genset padam dan laptop saya mati, maka kegiatan belajar harus tertunda dan menunggu genset terlebih dulu. Meski banyak kesulitan, anak-anak SDN Moa justru sangat antusias menyambut ujian. Semangat mereka membuat saya selalu semangat pula terus mengajar. Bersyukur, ANBK kami berjalan lancar," tuturnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus