Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen membuka peluang bagi semua partai untuk secara mandiri mengusung kandidatnya di Pilpres mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sisi baiknya, sekarang bukan hanya partai besar saja yang bisa berpartisipasi dalam menyuguhkan kandidat, sehingga Pilpres tidak lagi eksklusif bagi partai tertentu. Namun di lain sisi, tidak adanya batasan atau syarat khusus mengajukan calon akan berpeluang membludaknya peserta Pilpres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diketahui, pada Pilpres 2024, partai politik atayu parpol yang bisa mengajukan kandidat capres dan cawapres harus memenuhi syarat minimal memiliki suara nasional 20 persen atau 25 persen kursi di parlemen. Untuk memenuhi syarat itu, partai-partai yang persentase presidential threshold-nya kurang kemudian berkoalisi.
Dengan adanya kebijakan ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat Pemilu 2019 mengantongi 128 kursi parlemen alias lebih dari 20 persen bisa mengusung calonnya sendiri. Sementara sejumlah partai kemudian membangun koalisi dan terbentuklah dua koalisi, yakni Koalisi Perubahan dan Koalisi Indonesia Maju.
Kini, berdasarkan pembacaan putusan MK nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025, aturan presidential threshold telah divonis bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Saldi Isra, penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel.
“Presidential threshold berapa pun besarnya atau angka presentasinya adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945,” ucapnya.
Lebih lanjut, setelah penghapusan presidential threshold, Saldi menyatakan semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bahkan, bagi partai politik yang tidak mengusulkan pencalonan presiden dan wakil presiden akan disanksi berupa pelarangan dalam mengikuti pemilu pada periode berikutnya.
“Jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30 misalnya, dalam kontestasi politik ini total pasangan capres maupun wapres harus terdapat 30 pasangan yang diusulkan oleh partai politik yang mengikuti pemilu,” kata Saldi mencontohkan.
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf putusan MK ihwal penghapusan presidential threshold memang membuka ruang bagi setiap partai mencalonkan presiden dan wakil presiden. Namun, kata dia, jumlah calon yang akan mengikuti kontestasi sebaiknya juga diatur. Regulasi tersebut hendaknya memuat batasan minimal atau maksimal jumlah kandidat.
“Misalnya minimal kita nanti melalui UU Pemilu, Pilpres ini kita lihat apakah minimalnya lima dan maksimalnya misalnya sepuluh atau berapa. Karena enggak mungkin juga 20 pasangan calon, karena pasti membingungkan,” katanya, pada Kamis lalu.
Opsi berbeda disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, Sultan B Najamuddin. Pihaknya mengusulkan agar budaya musyawarah untuk mengusulkan nama capres di Majelis Permusyawataran Rakyat (MPR) kembali dihidupkan. Ia menilai, hal tersebut dapat membuat proses demokrasi lebih efektif setelah adanya putusan MK yang mengizinkan semua partai politik mengusulkan capresnya masing-masing.
“Hal ini dilakukan agar terjadi pembentukan maksimal dua poros kekuatan politik pengusung capres-cawapres,” tulis Sultan dalam keterangannya yang diterima oleh Tempo, Kamis, 2 Januari 2025.
Meskipun ambang batas pencalonan presiden kini ditetapkan menjadi nol persen. Sultan menilai proses pilpres harus tetap diusahakan agar tidak perlu dilaksanakan lebih dari satu kali. Mantan Wakil Gubernur Bengkulu tersebut juga mengusulkan agar waktu pelaksanaan pemilihan presiden atau pilpres dan pemilihan legislatif atau pileg kembali dilakukan secara terpisah.
“Proses pilpres harus tetap dilaksanakan secara efisien dan efektif agar proses pilpres tidak perlu dilaksanakan lebih dari satu kali,” katanya.
Vendro Immanuel G dan M. Raihan Muzzaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.