Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bencana, berharga 1/50 biaya mtq

Tahun icaka 1900 dalam bulan masehi maret 1979. di pura besakih ada karya eka dasa rudra. upacara besar setiap 100 tahun sekali. diselenggarakan demi keselamatan umat. (ag)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pemuka agama di Bali kini sedikit gelisah. Pangkalnya adalah semakin dekatnya akhir Tahun Icaka 1900, yang dalam bulan masehinya ditetapkan Maret 1979. Pada saat ini, di Pura Besakih - pura induk haruslah ada upacara besar yang disebut Karya Eka Dasa Ludra. Upacara ini, menurut buku-buku suci dan berbagai prasasti, berlangsung tiap 100 tahun. Entah kapan Karya Eka Dasa Ludra terakhir diselenggarakan dalam perhitungan yang tepat, namun para tokoh agama menyebutkan: "sudah berabad-abad tak pernah berlangsung." Sekjen Parisadha Hindu Dharma Pusat, I Wayan Surpha, mengatakan: yang pasti pada akhir Tahun Caka 1700 (Th. Masehi 1770) dan Tahun Saka 1800 (Th. Masehi 1879) karya semacam ini tidak diselenggarakan berdasar hikayat yang kini ada. Namun 8 Maret 1963, di Pura Resakih berlangsung upacara yang juga disebut Karya ka Dasa Ludra. Banyak tokoh agama yang heran: dasar perhitungan apa yang dipakai untuk menetapkan waktu. Ketut Ginarsa, selain tokoh agama juga ahli Bahasa Bali dan bekerja di Balai Penelitian Bahasa, menyebutkan upacara 1963 itu melanggar ketentuan agama. Pendapat ini memang tidak ada yang membantah: para pemuka agama maklum, akibat karya yang salah itu Bali menderita berbagai bencana. Misalnya meletusnya Gunung Agung dan pembunuhan besar-besaran tahun 1965. Tentang salahnya penyelenggaraan karya tahun 1963 itu, Wayan Surpha juga sependapat. Namun dikatakan: soalnya sejak berabad-abad karya dengan perhitungan tepat tidak pernah ada. "Karya itu disebut karya penutug," kata Wayan Surpha kepada TEMPO. "Waktu itu ada pendapat: karena lama tak pernah ada, dan menanti Tahun Saka 1900 terlalu lama, maka dibuat karya penutug" - karya sebagai ungkapan "minta maaf" akibat kelalaian. Rp 5 per Jiwa Lalu sekarang: dari mana pembiayaan diperoleh? Dalam rapat para sulinggih (pemuka agama) akhir Juli lalu di Pura Besakih, soal itu belum disebutsebut. "Yang dibicarakan barulah, kapan sebenarnya upacara yang tepat itu," kata Surpha. "Soalnya, sebelum para sulinggih berkumpul, ada juga pendapat karya itu sebenarnya jatuh Maret 1978." Maret 1979 tentu semakin jauh lagi. Tetapi soal biaya yang diperkirakan lebih dari Rp 20 juta itu yang jadi masalah. Parisadha, sebagai lembaga tertinggi umat Hindu Dharma, tidak punya uang dan tidak pernah mencari atau memperoleh bantuan keuangan. Wayan Simpen, guru honorer Perguruan Rakyat Saraswati Denpasar, punya pendapat. Karya Eka Dasa Ludra harus dibiayai Pemerintah. Alasannya: apa yang tersurat dalam Kidung Rajapurana, yang menyebut karya semacam ini diselenggarakan oleh Kerajaan. Raja Sri Tapolung, yang memerintah Bali 1324 - 1343, sudah mengambil kesimpulan: setiap upacara di Besakih biayanya ditanggung oleh Sang Amawa Rat yang berarti "siapa yang memerintah Bali saat itu." (Dalam masa pemerintahan Sri Tapolung sendiri tidak ada Karya Eka Dasa Ludra, karena upacara itu terjadi tahun Masehi 1379). Dari sini Wayan Simpen mengetuk hati Pemerintah Daerah Bali. Jalan gampang ini memang hampir didukung semua sulinggih yang ikut dalam rapat. Namun tetap masih ditunggu dengan perasaan waswas apakah Pemda Bali mau memikulnya: tidakkah nanti menggerogoti anggaran lain. Wayan Surpha sendiri lebih setuju untuk menawarkan kepada umat: setiap orang di Bali mengeluarkan isi kantongnya Rp 5. Kekurangannya baru diminta dari Pemerintah. Bagaimana seandainya karya itu tak usah diadakan saja mengingat biaya itu tadi? Wayan Surpha bilang "sangat berbahaya." Lalu ia menyebut tanda-tanda alam berkenaan dengan sudah tepatnya waktu penyelenggaraan dan tidak diselenggarakannya karya ini, antara lain: -- Gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor. -- Rasa takut mati mempengaruhi jalan fikiran orang - mendorongnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. -- Para pemimpin tidak berwibawa. Mereka terdorong melakukan sesuatu menurut keinginan pribadi. -- Kegemaran beribadah menipis. -- Para rohaniawan menunjukkan gejala-gejala lebih tertarik pada soal asmara. -- Masyarakat selalu tidak puas dan selalu mengeritik orang tua, pimpinan, majikan, atasan dan pemerintah. -- Ketentuan-ketentuan hukum tentang mana yang patut dan mana yang buruk tidak diperhatikan orang. Semua tanda di atas terjadi karena Buwana Alit dan Buwana Agung tidak disuguhi upacara semestinya. "Ini bukan karangan saya, atau dongeng khayal saya. Semua ini dimuat dalam Lontar Bhagawan Garga," kata Wayan Surpha meyakinkan, sambil memperlihatkan lontar yang dimaksud. Lontar yang berbahasa Bali Madya itu memang memuat hal-hal di atas dalam bab 'Petunjuk Tentang Karya Eka Dasa Ludra.' Tentunya Wayan Surpha tidak menjamin, bahwa kalau karya tersebut (yang akan makan ongkos 1/50 biaya penyelenggaraan MTQ) betul diselenggarakan, segala bencana akan serta-merta lenyap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus