PARA pemuka agama di Bali kini sedikit gelisah. Pangkalnya
adalah semakin dekatnya akhir Tahun Icaka 1900, yang dalam bulan
masehinya ditetapkan Maret 1979. Pada saat ini, di Pura Besakih
- pura induk haruslah ada upacara besar yang disebut Karya Eka
Dasa Ludra. Upacara ini, menurut buku-buku suci dan berbagai
prasasti, berlangsung tiap 100 tahun.
Entah kapan Karya Eka Dasa Ludra terakhir diselenggarakan dalam
perhitungan yang tepat, namun para tokoh agama menyebutkan:
"sudah berabad-abad tak pernah berlangsung." Sekjen Parisadha
Hindu Dharma Pusat, I Wayan Surpha, mengatakan: yang pasti pada
akhir Tahun Caka 1700 (Th. Masehi 1770) dan Tahun Saka 1800 (Th.
Masehi 1879) karya semacam ini tidak diselenggarakan berdasar
hikayat yang kini ada.
Namun 8 Maret 1963, di Pura Resakih berlangsung upacara yang
juga disebut Karya ka Dasa Ludra. Banyak tokoh agama yang
heran: dasar perhitungan apa yang dipakai untuk menetapkan
waktu. Ketut Ginarsa, selain tokoh agama juga ahli Bahasa Bali
dan bekerja di Balai Penelitian Bahasa, menyebutkan upacara 1963
itu melanggar ketentuan agama. Pendapat ini memang tidak ada
yang membantah: para pemuka agama maklum, akibat karya yang
salah itu Bali menderita berbagai bencana. Misalnya meletusnya
Gunung Agung dan pembunuhan besar-besaran tahun 1965.
Tentang salahnya penyelenggaraan karya tahun 1963 itu, Wayan
Surpha juga sependapat. Namun dikatakan: soalnya sejak
berabad-abad karya dengan perhitungan tepat tidak pernah ada.
"Karya itu disebut karya penutug," kata Wayan Surpha kepada
TEMPO. "Waktu itu ada pendapat: karena lama tak pernah ada, dan
menanti Tahun Saka 1900 terlalu lama, maka dibuat karya penutug"
- karya sebagai ungkapan "minta maaf" akibat kelalaian.
Rp 5 per Jiwa
Lalu sekarang: dari mana pembiayaan diperoleh? Dalam rapat para
sulinggih (pemuka agama) akhir Juli lalu di Pura Besakih, soal
itu belum disebutsebut. "Yang dibicarakan barulah, kapan
sebenarnya upacara yang tepat itu," kata Surpha. "Soalnya,
sebelum para sulinggih berkumpul, ada juga pendapat karya itu
sebenarnya jatuh Maret 1978."
Maret 1979 tentu semakin jauh lagi. Tetapi soal biaya yang
diperkirakan lebih dari Rp 20 juta itu yang jadi masalah.
Parisadha, sebagai lembaga tertinggi umat Hindu Dharma, tidak
punya uang dan tidak pernah mencari atau memperoleh bantuan
keuangan. Wayan Simpen, guru honorer Perguruan Rakyat Saraswati
Denpasar, punya pendapat. Karya Eka Dasa Ludra harus dibiayai
Pemerintah. Alasannya: apa yang tersurat dalam Kidung
Rajapurana, yang menyebut karya semacam ini diselenggarakan oleh
Kerajaan.
Raja Sri Tapolung, yang memerintah Bali 1324 - 1343, sudah
mengambil kesimpulan: setiap upacara di Besakih biayanya
ditanggung oleh Sang Amawa Rat yang berarti "siapa yang
memerintah Bali saat itu." (Dalam masa pemerintahan Sri Tapolung
sendiri tidak ada Karya Eka Dasa Ludra, karena upacara itu
terjadi tahun Masehi 1379). Dari sini Wayan Simpen mengetuk hati
Pemerintah Daerah Bali.
Jalan gampang ini memang hampir didukung semua sulinggih yang
ikut dalam rapat. Namun tetap masih ditunggu dengan perasaan
waswas apakah Pemda Bali mau memikulnya: tidakkah nanti
menggerogoti anggaran lain. Wayan Surpha sendiri lebih setuju
untuk menawarkan kepada umat: setiap orang di Bali mengeluarkan
isi kantongnya Rp 5. Kekurangannya baru diminta dari Pemerintah.
Bagaimana seandainya karya itu tak usah diadakan saja mengingat
biaya itu tadi? Wayan Surpha bilang "sangat berbahaya." Lalu ia
menyebut tanda-tanda alam berkenaan dengan sudah tepatnya waktu
penyelenggaraan dan tidak diselenggarakannya karya ini, antara
lain:
-- Gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor.
-- Rasa takut mati mempengaruhi jalan fikiran orang -
mendorongnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati
nurani.
-- Para pemimpin tidak berwibawa. Mereka terdorong melakukan
sesuatu menurut keinginan pribadi.
-- Kegemaran beribadah menipis.
-- Para rohaniawan menunjukkan gejala-gejala lebih tertarik pada
soal asmara.
-- Masyarakat selalu tidak puas dan selalu mengeritik orang tua,
pimpinan, majikan, atasan dan pemerintah.
-- Ketentuan-ketentuan hukum tentang mana yang patut dan mana
yang buruk tidak diperhatikan orang.
Semua tanda di atas terjadi karena Buwana Alit dan Buwana Agung
tidak disuguhi upacara semestinya. "Ini bukan karangan saya,
atau dongeng khayal saya. Semua ini dimuat dalam Lontar Bhagawan
Garga," kata Wayan Surpha meyakinkan, sambil memperlihatkan
lontar yang dimaksud. Lontar yang berbahasa Bali Madya itu
memang memuat hal-hal di atas dalam bab 'Petunjuk Tentang Karya
Eka Dasa Ludra.'
Tentunya Wayan Surpha tidak menjamin, bahwa kalau karya tersebut
(yang akan makan ongkos 1/50 biaya penyelenggaraan MTQ) betul
diselenggarakan, segala bencana akan serta-merta lenyap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini