BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) mulai bersiap. Tiga tahun
lagi. PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) Indonesia yang pertama
akan mulai dibangun. Itu setelah dua tahun berulat dengan
keragu-raguan memperoleh dana sebanyak 400 juta dollar AS untuk
biaya membangun sebuah PLTN. Lokasinya sudah jelas. Yakni
seperti dibeberkan Budi Sudarsono, staf ahli BATAN pada kmpas,
18 Agustus lalu, "di sebelah timur Jepara antara gunung Muria
dan Lasem," Jawa Tengah.
Itulah lokasi pertama yang dipilih BATAN dari kelima alternatif
semula, yang semuanya terletak di pantai pulau Jawa. Survainya
sudah berlangsung sejak tahun lalu.
Seperti dibeberkan dalam lokakarya pemilihan lokasi PLTN di
Karangkates, Malang, pertengahan 1975, pemilihan lokasi PLTN
tergantung pada data gempa, curah hujan, gerak angin, kepadatan
penduduk, penggunaan dan iifal tanah, tata air, dan beban
listrik. Curah hujan dan tata air sangat penting, karena PLTN
membutuhkan banyak air. Pertama, untuk direbus dengan panas
reaktor nuklir sampai jadi uap, yang selanjutnya memutar
baling-baling turbin listrik. Kedua, untuk pendinginan reaktor
nuklir itu sendiri secara kontinyu.
Mungkin itulah sebabnya BATAN menjatuhkan pilihalmya yang
pertama pada daerah di pantai Teluk Rembang, tempat Kali Juwana
bermuara. Terletak hampir di tengah perjalanan bis dari Jakarta
ke Surabaya. 600 Mega Watt listrik yang akan dibangkitkannya
selepas Repelita III diharapkan dapat menyeimbangkan beban
listrik - dan juga konsentrasi pembangunan - antara Jakarta dan
Surabaya.
Tapi bagaimana pengaruh kehadiran PLTN itu sendiri terhadap
lingkungan di situ?
Hal itu memang banyak dibicarakan sejak dua tal1un lalu. Bukan
cuma soali radiasi ampas nuklir - yang di negara maju sudah
sebagian teratasi dengan bungkus timah atau emas, atau dipendam
di tambang garam. Tapi juga bahaya "polusi air panas," yang
dikemukakan oleh Dr Aprilani Soegiarto, Direktur Lembaga
Oseanografi Nasional
Menurut ahli ekologi maritim itu, akibat arus balik air panas
dari reaktor nuklir ke sungai atau laut itu bisa.macam-macam.
ù Pertama: perubahan komposisi mahluk hidup di perairan itu.
Misalnya, hilangnya ikan ekonomis, merajalelanya penyakit pada
jenis ikan tertentu, serta eksplosi ganggang hijau dan tanaman
pengganggu.
* Kedua: menurunnya zat pembakar dalam air. Ini menghambat
pembusukan zat buangan secara bio-kimiawi. Kotoran lebih banyak
tertimbun.
* Ketiga: penguapan air dipercepat, sehingga volumenya pun turun.
Akibatnya konsentrasi unsur tertentu meningkat dan 'daya cerna'
air terhadap ampas bio-kimiawi yang terkandung di dalam merosot.
Ketiga faktor itu mengurangi nilai perairan tersebut untuk
rekreasi, sumber air minum, sumber air irigasi, dan penangkapan
ikan.
Menurut prilani, ada tiga cara menanggulangi kerugian itu. Cara
pertama, menyalurkan air panas itu melewati ko1am pendingin
sebelum dilepas ke perairan bebas. Namun untuk mendinginkan PLTN
berkapasitas 1000 Mega Watt diperlukan kolam pendingin seluas
400-500 Ha.
Cara kedua adalah menyemprotkan udara ke dalam air panas yang
ditampung lebih dulu dalam menara pendingin. Bahayanya, iklim
setempat bisa berubah secara drastis. Sebab untuk mendinginkan
berjuta-juta liter air panas sehari, dibutuhkan udara yang
tidak sedikit pula. Adapun cara ketiga yang paling baik -- tapi
juga paling mahal adalah mellara pendingin yang bekerja seperti
radiator mobil. Silakan pilih cara mana yang mulai dipakai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini