Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Barangkali Presiden Sukarno tidak menyana keputusan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang ditandatanganinya pada 11 Maret 1966 merupakan surat sakti yang mengakhiri kekuasaannya sebagai Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya surat itu dibuat dan ditandatangani hanya untuk memberikan mandat kepada Soeharto untuk mengatasi keamanan negara akibat Pemberontakan G30S, namun Soeharto dengan sengaja menyalahartikan surat tersebut sebagai pernyataan Soekarno memindahkan jabatan kepresidenan kepadanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarzie Vittachi, wartawan asing BBC dan Newsweek yang menulis tentang G30S dari rentang waktu September 1965 sampai Supersemar Maret 1966, menulis dalam bukunya ‘The Fall of Sukarno’, dua hari sehabis penandatanganan surat perintah tersebut, tepatnya 13 Maret 1966 Soekarno memanggil Sultan Hamengku Buwono IX atau HB IX ke Istana.
Soekarno bertanya pada Sultan Yogyakarta itu, apakah HB IX juga memiliki pemikiran yang sama dengannya, bahwa Soeharto telah melampaui wewenang yang dipercayakan kepadanya ketika ia membubarkan PKI.
“Apakah Anda berpikir bahwa Suharto melampaui otoritas yang diberikan padanya ketika ia membubarkan PKI?” tanya Sukarno, seperti dikutip dari buku The Fall of Sukarno.
HB IX pun menanyakan maksud pertanyaan Sukarno itu. Menurut Sukarno, surat yang ia berikan pada Soeharto hanya meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan teknis, sebagai Komandan Angkatan Darat untuk mengendalikan keamanan negara. “Keputusan-keputusan politik masih hak progresif saya,” tutur Soekarno kepada Hamengku Buwono IX.
Bahkan keputusan untuk membubarkan PKI yang dilakukan Soeharto bukanlah hak Komandan Angkatan Darat itu. “Saya belum menyerahkan tempat saya sebagai Presiden kepada Suharto. Ia menerima otoritas ini dari saya. Ada lebih banyak otoritas pada sumber yang dari mana ia menerima otoritasnya,” Soekarno mengaku kepada Sultan HB IX.
Menanggapi pengakuan Sukarno tersebut, Hamengku Buwono IX mengajukan pertanyaan apakah Soekarno sudah memberitahukan hal tersebut kepada Soeharto “Bung, apakah Anda telah memberitahukan hal ini kepada Suharto?”
Dilansir dari Antara, dalam kesempatannya menyampaikan pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun atau HUT ke 21 Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1966, Sukarno menyatakan penolakannya terhadap anggapan Supersemar adalah surat penyerahan pemerintahan, sebagaimana pidato tersebut dituturkan ulang oleh pakar Telematika KRMT Roy Suryo Notodiprojo, saat pembukaan pameran sejarah di Lokananta Solo, Jawa Tengah,
“Surat Perintah (SP) 11 Maret itu mula-mula dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya SP 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan, dikiranya SP 11 Maret itu satu Transfer Authentic, of Authority, padahal tidak,” kata Sukarno.
“SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan jalannya ini pemerintahan. Demikian kataku pada waktu melantik kabinet kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal,” ucap Sukarno dalam pidato tersebut.
Sementara itu di tempat dan waktu berbeda, saat ditanyai oleh koleganya ihwal Supersemar, Soeharto mengatakan apa yang dilakukannya hanya mengerjakan apa yang diperintahkan Sukarno. “Saya tidak pandai menanggapi kritik. Saya diberikan sebuah pekerjaan untuk diselesaikan dan saya akan melakukannya. Saya diharapkan membawa ketertiban di negeri ini dan saya akan memakai semua cara, baik teknis maupun politik, untuk melaksanakan tugas tersebut,” kata Soeharto.
HENDRIK KHOIRUL MUHID