Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada awal 1980-an, Arifin C Noer membuat tiga film tentang Soeharto. Salah satu film dari trilogi tersebut adalah Djakarta 66 yang dirilis pada 1988. Film Djakarta 66 dibiayai oleh negara dan dibuat ketika zaman Soeharto. Film ini mengisahkan tentang kejadian-kejadian di Jakarta setelah peristiwa 30 September 1965, dari Januari 1966 sampai turunnya surat perintah sebelas maret atau Supersemar.
Film ini mengawali kisahnya dengan menyebut penculikan pimpinan Angkatan Darat (AD) telah membuat rakyat marah dan menuntut PKI dibubarkan. Selain itu, film ini banyak menyorot demo mahasiswa. Demo ini yang menjadi kejadian terpenting dalam lahirnya Supersemar. Para mahasiswa yang ditampilkan berasal dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), organisasi mahasiswa non-komunis terdiri dari HMI, GMKI, PMKRI, PMII, dan Mapancas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Rahman Hakim menjadi salah satu nama yang lekat oleh para aktivis mahasiswa dalam kurun waktu 1960-an hingga saat ini. Hal ini dikarenakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini kena tembak ketika demonstrasi untuk menumbangkan rezim Orde Lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak bisa dipungkiri, tewasnya Arif Rahman Hakim menjadi serangan balik bagi pemerintah Orde Lama yang berakibat lengsernya Presiden Soekarno pada 1966. Unjuk rasa itu sering disebut sebagai Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat. Dalam hal ini Tritura menuntut untuk pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pembubaran Kabinet Dwikora, dan penurunan harga bahan kebutuhan pokok.
Menurut ypkp1965.org, pada 10 Januari 1966, KAMI menyuarakan tiga tuntutan rakyat (Tritura), yaitu bubarkan PKI, turunkan harga, dan perbarui kabinet Dwikora. Dari tiga tuntutan tersebut, mahasiswa mengutamakan pembubaran PKI. Di kampus Universitas Indonesia yang menjadi basis kegiatan aksi, mahasiswa tampak frustasi dan mengeluarkan komentar politis terkait kondisi Indonesia kala itu.
Pada Djakarta 66, Arifin C. Noer menampilkan aliran organisasi mahasiswa yang tanpa bersifat hitam-putih (bersebrangan). Meskipun ada beberapa kelompok, tetapi mereka merasakan kekecewaan yang sama sehingga tetap kompak. Arifin juga menggambarkan setiap aksi mahasiswa dalam film dengan terpecah-pecah tanpa membentuk kesatuan untuk menunjukkan krisis dalam tiga bulan pertama 1966.
Setelah itu, Soeharto memberikan janji kepada mahasiswa untuk mempertemukan mereka dengan Pemimpin Besar Revolusi terkait Tritura. Saat Sukarno protes terhadap demo mahasiswa, salah satu mahasiswa menyinggung pidato Presiden Indonesia pertama ini dan poin penting dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi.
Setelah pertemuan tersebut, Sukarno mengikuti sidang kabinet Dwikora yang menjadi cikal bakal lahirnya Supersemar. Lalu, saat pertengahan sidang, ia mendapat laporan tertulis dari Sabur bahwa ada pasukan tidak dikenal mendekati istana. Demi keselamatannya, ia meninggalkan sidang mengajak Subandrio. Sidang pun terpaksa dibatalkan.
Saat sidang tersebut, Soeharto tidak hadir karena sedang sakit. Setelah mendengar sidang batal, ia mengutus tiga jenderal, yaitu Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M. Yusuf untuk mendatangi Soekarno di Istana Bogor. Dengan kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap AD, Sukarno menyuruh tiga jenderal tersebut mengaku menginginkannya jatuh. Namun, tiga jenderal meyakinkan Sukarno tuduhan itu tidak benar.
Setelah itu, tiga jenderal berdialog dengan Sukarno yang membahas bahwa Soeharto bisa menangani situasi Indonesia dan memulihkan keamanan, jika diberi surat tugas. Sukarno pun menyetujui usulan tersebut dan menulis surat perintah untuk memberikan kewenangan kepada Soeharto. Surat tersebut dikenal Supersemar dengan tiga poin utama.
Supersemar dikukuhkan oleh MPRS sebagai Tap. No, IX/MPRS/1966 dalam sidang 20 Juni sampai 5 Juli 1966 sehingga Soekarno tidak bisa mencabutnya. Supersemar akhirnya dijadikan sebagai tanda runtuhnya kekuasaan Soekarno dan awal pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Film Djakarta 66 yang dirilis oleh Arifin C. Noer tentang kisah Supersemar ini dibantu tim penasehat cerita, seperti Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Ismid Hadad, Taufiq Abdullah, dan Taufik Ismail.
RACHEL FARAHDIBA R | M. RIZQI AKBAR
Pilihan Editor: Djakarta 1977 Menjadi Film yang Harus Ditonton Usai Menyaksikan Film Pengkhianatan G30S/PKI