Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dede Yusuf, menyebut terjadinya banyak kecurangan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB adalah karena terlalu banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit. Dia memberikan tiga pilihan kepada pemerintah untuk mengatasi permasalahan kecurangan dalam PPDB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Opsi pertama pemerintah harus menambah sekolah-sekolah negerinya ," kata Dede saat dihubungi pada Senin, 8 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dede memberikan catatan perihal opsi pertama ini. Pertama, Penambahan jumlah sekolah negeri membutuhkan aset, lahan dan anggaran yang tidak sedikit. Kedua, Penambahan ini memerlukan waktu yang tidak cepat. "Dibutuhkan waktu mungkin lebih dari setahun atau dua tahun," katanya.
"Opsi kedua adalah, pemerintah memberikan penugasan kepada sekolah-sekolah swasta," ujarnya. Opsi kedua ini adalah skema kerja sama antara pemerintah dan swasta. Pemerintah bisa memanfaatkan sekolah-sekolah swasta yang sudah memiliki aset untuk ditingkatkan kualitasnya.
Peningkatan kualitas itu meliputi penambahan guru yang bagus, penambahan biaya operasional dan peningkatan fasilitas sekolah. Selain itu, pemerintah melakukan penyesuaian kepada sekolah-sekolah swasta agar bisa menampung sejumlah siswa di lingkungan sekitar.
Sekolah swasta yang nanti akan bekerja sama dengan pemerintah, kata Dede, adalah sekolah yang sepi peminat dan bukan sekolah elite atau mahal. "Kita bukan bicara sekolah swasta internasional atau yang mahal," katanya.
"Opsi ketiga yaitu kembali seperti dulu kepada sistem tes atau ujian di sekolah yang menerima siswa-siswi baru," ujar Dede. Sistem tes ini dengan tetap mengutamakan jumlah kursi atau proporsi tertentu bagi siswa-siswi di lingkungan sekitar.
"Tiga opsi yang saya tawarkan tadi itu silakan dikaji ulang oleh pemerintah," ujarnya
Sebelumnya, Dede Yusuf menyoroti proses PPDB jalur zonasi yang setiap tahun bermasalah. Menurut Dede, selalu ada aduan soal kecurangan yang disampaikan ke komisinya setiap pelaksanaan PPDB.
“PPDB setiap tahun pasti ada laporan dan kami sudah berkali-kali mengatakan, ubah sistemnya diganti dengan metode yang lain,” kata Dede di kompleks parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 19 Juni 2024.
Namun, kata Dede, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek menyatakan PPDB zonasi masih dibutuhkan. Alasannya, untuk tetap menjaga prinsip kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan di daerah-daerah.
Dede menyatakan alasan Kemendikbudristek mempertahankan sistem zonasi adalah untuk menghilangkan stigma sekolah favorit dan nonfavorit. Dia berujar permasalahan kecurangan dan saling titip siswa muncul karena setiap orang tua ingin anaknya masuk sekolah favorit.
“Permasalahannya cuma sederhana, karena ada sekolah favorit itu. Karena ada sekolah favorit, semua orang ingin memasukkan anaknya ke sana. Padahal sebetulnya mestinya semua sekolah sama,” ucap dia.
Namun, menurut Dede, sistem penerimaan siswa baru akan tetap bermasalah selama pengawasan gagal dilakukan. “Mau dibikin seperti apa pun, selama fungsi pengawasannya tidak ketat, ya pasti ada yang seperti penyimpangan-penyimpangan,” kata Dede.
“Permasalahannya cuma sederhana, karena ada sekolah favorit itu. Karena ada sekolah favorit, semua orang ingin memasukkan anaknya ke sana. Padahal sebetulnya mestinya semua sekolah sama,” ucap dia.
Namun, menurut Dede, sistem penerimaan siswa baru akan tetap bermasalah selama pengawasan gagal dilakukan. “Mau dibikin seperti apa pun, selama fungsi pengawasannya tidak ketat, ya pasti ada yang seperti penyimpangan-penyimpangan,” kata Dede.