Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demo Menolak UU TNI Meluas: Mengapa DPR Mengebut Legislasi Meski Minim Partisipasi?

Penolakan pengesahan UU TNI yang meluas menandakan bentuk kesadaran masyarakat terhadap kembalinya dwifungsi militer.

28 Maret 2025 | 16.40 WIB

Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rentetan aksi unjuk rasa menuntut pembatalan disahkannya Undang-Undang TNI terus meletup di pelbagai wilayah di Indonesia. Ribuan masyarakat sipil tumpah ruah ke jalan menolak pengesahan UU TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Usman Hamid menilai, masifnya aksi unjuk rasa menolak UU TNI merupakan bentuk kesadaran masyarakat terhadap kembalinya dwifungsi militer. "Ini bertentangan dengan amanat reformasi yang menegaskan supremasi sipil," kata Usman saat dihubungi, Jumat, 28 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Usman melanjutkan, selain mengembalikan dwifungsi TNI dan mengebiri supremasi sipil, UU TNI dibahas dengan proses yang janggal dan minim partisipasi publik. 

Dia mengatakan, minimnya partisipasi publik ini tidak hanya sekali dilakukan DPR dalam pembahasan-penyusunan RUU, namun menjadi hal yang sering kali. "Masyarakat sudah dengan tegas menolak, tapi kemudian diabaikan," ujar dia.

Dihubungi terpisah, Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, sikap DPR yang abai terhadap partisipasi publik bukanlah suatu hal yang baru terjadi.

Dia mencontohkan, pada 2022 lalu, DPR berupaya merombak UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau PPP demi mengakomodasi terminologi Omnibus Law.

Masalahnya, revisi ini dilakukan secara ugal-ugalan dan demi melegitimasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

"Ada kepentingan yang mendasari mengapa harus dikebut dan mengabaikan partisipasi bermakna," kata Charles.

Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Yance Arizona mengatakan, ugal-ugalannya pembahasan RUU di DPR kerap berujung dengan diajukannya permohonan gugatan uji formil-materiil di Mahakamah Konstitusi atau MK.

Menurut dia, banyaknya gugatan yang diajukan ke MK terhadap RUU yang dibahas di DPR, menjadi penanda bagaimana ugal-ugalannya proses pembahasan RUU yang dilakukan legislator di Senayan.

"Artinya (banyak gugatan), itu menandakan bahwa proses legislasinya dilakukan secara asal-asalan tanpa mempertimbangkan apa pun," kata Yance.

Ia pun mendesak agar pembahasan RUU lain seperti RUU KUHAP dan Polri dapat dilakukan sesuai dengan prosedur dan putusan MK yang memerintahkan adanya partisipasi bermakna.

Wakil Ketua Komisi bidang Hukum DPR Hinca Panjaitan mengatakan, komisinya akan melibatkan banyak partisipasi publik dalam proses pembahasan-penyusunan RUU, termasuk RUU KUHAP dan RUU Polri. "Itu sudah kewajiban, bukan hal yang bisa ditawar," kata Hinca.

Pada 20 Maret lalu, di tengah gelombang penolakan, rapat paripurna DPR ke-15 masa persidangan II Tahun 2024-2025 mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang.

Wakil Ketua DPR bidang Politik dan Keamanan Sufmi Dasco Ahmad menanggapi gelombang penolakan dari masyarakat sipil terhadap pengesahan UU TNI. "Ya namanya juga dinamika politik, kan, demokrasi," kata Politikus Partai Gerindra ini.

Andi Adam Faturahman

Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus