KIRA-KIRA 20 menit lagi pesawat Twin Otter itu sudah akan
mendarat di Toli-Toli. Penerbangan ini merupakan perjalanan yang
amat membahagiakan bagi Rosny Husni Alatas. Kedatangannya ke
kota kecil itu merupakan kesempatan pertama untuk memperkenalkan
diri kepada mertuanya Abdul Rachman Alatas.
Sebenarnya sudah lama niat untuk berkenalan dan beramah-tamah
dengan keluarga besar Alatas itu mereka rencanakan. Tetapi 29
Maret 1977 itu mereka perhitungkan sebagai hari baik. Hari itu
kebetulan suaminya akan menjalan!an tugas jurnalistik ke kota
kelahirannya, Toli-Toli.
Sampai di Gunung Tinombala arah perjalanan tadi ditentukan
lain. Pesawat turun merendah menghindari kabut tipis dan
tiba-tiba membelok dengan cepat ke arah kiri. Pesawat bergoncang
keras. Karena goncangan itu Ros mau bertahan dengan memeluk
suaminya yang duduk di sebelah. "Jangan begitu", kata Husni.
"Peganglah kursi depan", sambungnya. Suara menggelegar yang
sangat keras dua kali kedengaran. Semua penumpang tak ada yang
tahu apa yang terjadi pada saat-saat genting itu.
"Begitu saya sadarkan diri, saya sudah terduduk kira-kira empat
meter dari patahan pesawat", kisah isteri wartawan itu ketika
baru saja diturunkan dari reruntuhan pesawat dan terbaring di
tempat perawatan di Ongka Malino.
Pesawat itu patah tiga. Ros mendengar rintihan Husni dari arah
pesawat bagian dalam. "Tolong!", teriaknya. Ros mencoba mendekat
ke pesawat. Tapi dia tak kuat. Kaki kirinya tak bisa digerakkan.
Patah. "Di mana kau Husni...?" dia berseru. Kemudian kedengaran
lagi rintihan dan suara minta tolong dari suaminya.
Hasan Tawil, yang kebetulan juga terlempar ke luar pesawat dan
hanya menderita luka ringan di dekat mata sebelah kirinya,
menolongnya untuk mendekat ke sisi Husni. Dia dipapah Hasan
Tawil. Kaki kiri Husni Alatas terjepit dan terputar ke belakang
karena ditindih kursi dari depan dan peti-peti muatan pesawat.
Kepalanya mengucurkan darah, terbentur pada dinding pesawat.
Kacamatanya terlepas.
"Apamu yang sakit?" tanya Ros.
"Kakiku. Tolong bukakan sepatuku"
Ros memegangi kaki kiri suaminya. Ia hanya bisa mengurut kaki
itu, sebab untuk membukakan sepatu suaminya itu dia tak bisa.
Kursi depan menjepit kaki Husni. "Dekatlah ke mari"?, pinta
Husni. Tetapi Ros sudah tak bisa mendekat karena kaki kirinya
tetap tak bisa digerakkan. "Sudah, kakimu saja yang saya urut",
jawabnya. Dia mengurut kaki suaminya itu.
Husni tak merintih lagi. Dia mengenakan kacamatanya. Tapi
penderitaan tak bisa dia lepaskan. "Ya Allah Ya Karim", dia
berseru sampai dua kali. Kemudian dia diam. Husni Alatas hanya
bisa bertahan melawan penderitaan itu selama 5 jam. Sore sekitar
jam 4 tubuhya sudah menjadi jasad yang tak bergerak lagi.
Isterinya menangis sambil memegangi kakinya yang patah terputar
itu. Dia tak kuasa untuk berdiri dan memegang kepalanya yang
bercucuran darah. 15 hari Ros mendampingi jenazah suaminya
sambil bertahan melawan maut.
Duduk dekat jenazah suaminya, Ros berjuang melawan lapar dengan
memakan apel dan jeruk yang ditemukan dr Dwiwahyono setelah
mengais-ngais di antara barang-barang yang berserakan dan
keping-kepingan pesawat. "Jeruk dan apel itulah makanan kami
pada hari pertama. Saya seperti tak sanggup makan di sisi Husni
yang sudah pergi", katanya.
Hari kedua mereka yang bisa bertahan hidup hanya memakan 2
biskuit, untuk menghemat. Tetapi pada hari ketiga makanan itu
sudah habis.
Ham Sek Lae yang bertahan di reruntuhan itu sembari menjaga
neneknya yang meninggal seketika, turut berjasa untuk para
korban yang bertahan. Dokter Dwiwahyono dan anak muda itulah
yang memungut makanan, seperti roti dan permen yang berserakan
di sekitar pesawat yang rungsek. Pada hari ke empat Ros bersama
6 orang yang terhindar dari maut mulai memakan kol mentah. Pada
hari ke lima untuk bertahah dari rasa lapar mereka terpaksa
memakan dendeng mentah. "Ketika semua makanan sudah tak bersisa,
pada hari ketujuh orang-orang mulai bertekad meninggalkan
pesawat", tutur Ros Husni Alatas kepada wartawan TEMPO Martin
Aleida yang menjenguknya di peristirahatan di Ongka Malino.
Pada hari ketujuh itulah pilot Achmad Anwar meninggalkan
pesawat. Dr Dwiwahyono menolak rencana keberangkatan itu.
"Jangan. Kalian tak punya persediaan makanan", katanya, Ros dan
beberapa orang lagi yang sudah berniat untuk meninggalkan
pesawat dan sudah siap dengan permen di kantong akhirnya tak
jadi berangkat. Hanya pilot dan juru mesin yang meninggalkan
tempat. Yang tinggal bertahan dengan makanan yang hanya tinggal
dendeng mentah, sedang minum ditampung dengan sepatu. "Untunglah
tiap hari ada hujan. Kalau tidak saya tak tahu bagaimana nasib
saya", katanya.
Kira-kira dua hari setelah rencana nekad untuk meninggalkan
tempat kecelakaan itu, di langit menderulah suara pesawat
helikopter. Tiga kaleng susu dijatuhkan dari udara. "Setelah
droping pertama makanan itu, boleh dikatakan pesawat saban hari
berada di atas kepala kami. Makanan jatuh tak jauh dari tempat
kami berlindung. Dr Dwiwahyono dan Ham Sek Lae yang mengambil.
Makanan kami semakin cukup. Tetapi hati amat pedih melihat Husni
yang masih terduduk di samping". Ros menyeka air matanya.
"Jangan menangis lagi. Habis airmata", sapa dr Dwiwahyono yang
terbaring di dekatnya. Tegur sapa dokter yang banyak membantunya
itu tak sempat dia jawab. Regu penolong dengan sebuah tandu
sudah berdiri di sampingnya. Dia kemudian dibawa ke pesawat heli
dan diterbanykan ke Palu. Di kota itulah dia berkenalan dengan
Husni Alatas. Mereka hidup berbahagia, bersama dua putera
mereka, Putriani dan Arif Budiman.
Kini kedua anak itu harus berpisah dari sang bapak - tanpa
mereka duga. 6 April, setelah tempat kecelakaan itu ditemukan,
petugas MNA datang menemui keluarga Husni, kalau-kalau mereka
hendak menitipkan makanan untuk Husni Alatas dan isterinya.
Ketika petugas itu akan pergi membawa barang kiriman, Putriani,
9 tahun, tiba-tiba berkata: "Tunggu Pak, saya mau tulis surat
untuk Mama dan Papa". Dia masuk ke kamar. Menulis surat.
Langsung menyerahkannya kepada petugas tadi. Isinya:
Kepada yang terhormat Mama dan Papa di hutan.
Dengan hormat.
Bersama ini Mama dan Papa masih ada dalam hutan. Kami di sini
dengan keluarga ada baik-baik.
Bagaimana sampai terjadi dalam bahaya, Mama dan Papa. Kami dan
keluarga bersedih bahwa Ani dengar Mama dan Papa patah kaki.
Kasihan Mama dan Papa.
Makanan ini dari Ani Budi dan keluarga lain. Semoga Mama dan
Papa dilindungi Tuhan. Ani dengar juga Papa terjepit di kursi.
Kue ini buat Mama dan Papa dan penumpang lain.
Mama dan Papa selalu sembahyang supaya Mama dan Papa dan
penumpang lain dapat selamat. Biar Mama Papa patah kaki pokoknya
selamat. Ani dengar ada nenek umur 80 tahun bersama anak kecil
berumur 6 tahun atau 6 bulan. Ani sedih mendengar kata-kata yang
terjadi.
Mama Papa baik-baik. Mama tidak usah ingat-ingat Budi. Budi ada
baik-baik. Tante Emi menangis waktu itu helikopter datang. Ani
kira Mama dan Papa ada di dalam dan penumpang yang lain. Padahal
helikopter dari balikpapan. Ani selalu doakan Mama dan Papa.
Ani tidak sekolah 1 minggu lebih karena ingat-ingat Mama Papa.
Surat itu selamat. Juga Mama. Tapi sang Papa tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini