Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Sisinya Saya Menangis

Rosny, istri koresponden TEMPO, Husni Alatas, salah satu penumpang pesawat MNA yang jatuh di Tinombala yang selamat. Selama 15 hari di hutan, ia tetap setia mendampingi suami yang telah jadi mayat. (nas)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIRA-KIRA 20 menit lagi pesawat Twin Otter itu sudah akan mendarat di Toli-Toli. Penerbangan ini merupakan perjalanan yang amat membahagiakan bagi Rosny Husni Alatas. Kedatangannya ke kota kecil itu merupakan kesempatan pertama untuk memperkenalkan diri kepada mertuanya Abdul Rachman Alatas. Sebenarnya sudah lama niat untuk berkenalan dan beramah-tamah dengan keluarga besar Alatas itu mereka rencanakan. Tetapi 29 Maret 1977 itu mereka perhitungkan sebagai hari baik. Hari itu kebetulan suaminya akan menjalan!an tugas jurnalistik ke kota kelahirannya, Toli-Toli. Sampai di Gunung Tinombala arah perjalanan tadi ditentukan lain. Pesawat turun merendah menghindari kabut tipis dan tiba-tiba membelok dengan cepat ke arah kiri. Pesawat bergoncang keras. Karena goncangan itu Ros mau bertahan dengan memeluk suaminya yang duduk di sebelah. "Jangan begitu", kata Husni. "Peganglah kursi depan", sambungnya. Suara menggelegar yang sangat keras dua kali kedengaran. Semua penumpang tak ada yang tahu apa yang terjadi pada saat-saat genting itu. "Begitu saya sadarkan diri, saya sudah terduduk kira-kira empat meter dari patahan pesawat", kisah isteri wartawan itu ketika baru saja diturunkan dari reruntuhan pesawat dan terbaring di tempat perawatan di Ongka Malino. Pesawat itu patah tiga. Ros mendengar rintihan Husni dari arah pesawat bagian dalam. "Tolong!", teriaknya. Ros mencoba mendekat ke pesawat. Tapi dia tak kuat. Kaki kirinya tak bisa digerakkan. Patah. "Di mana kau Husni...?" dia berseru. Kemudian kedengaran lagi rintihan dan suara minta tolong dari suaminya. Hasan Tawil, yang kebetulan juga terlempar ke luar pesawat dan hanya menderita luka ringan di dekat mata sebelah kirinya, menolongnya untuk mendekat ke sisi Husni. Dia dipapah Hasan Tawil. Kaki kiri Husni Alatas terjepit dan terputar ke belakang karena ditindih kursi dari depan dan peti-peti muatan pesawat. Kepalanya mengucurkan darah, terbentur pada dinding pesawat. Kacamatanya terlepas. "Apamu yang sakit?" tanya Ros. "Kakiku. Tolong bukakan sepatuku" Ros memegangi kaki kiri suaminya. Ia hanya bisa mengurut kaki itu, sebab untuk membukakan sepatu suaminya itu dia tak bisa. Kursi depan menjepit kaki Husni. "Dekatlah ke mari"?, pinta Husni. Tetapi Ros sudah tak bisa mendekat karena kaki kirinya tetap tak bisa digerakkan. "Sudah, kakimu saja yang saya urut", jawabnya. Dia mengurut kaki suaminya itu. Husni tak merintih lagi. Dia mengenakan kacamatanya. Tapi penderitaan tak bisa dia lepaskan. "Ya Allah Ya Karim", dia berseru sampai dua kali. Kemudian dia diam. Husni Alatas hanya bisa bertahan melawan penderitaan itu selama 5 jam. Sore sekitar jam 4 tubuhya sudah menjadi jasad yang tak bergerak lagi. Isterinya menangis sambil memegangi kakinya yang patah terputar itu. Dia tak kuasa untuk berdiri dan memegang kepalanya yang bercucuran darah. 15 hari Ros mendampingi jenazah suaminya sambil bertahan melawan maut. Duduk dekat jenazah suaminya, Ros berjuang melawan lapar dengan memakan apel dan jeruk yang ditemukan dr Dwiwahyono setelah mengais-ngais di antara barang-barang yang berserakan dan keping-kepingan pesawat. "Jeruk dan apel itulah makanan kami pada hari pertama. Saya seperti tak sanggup makan di sisi Husni yang sudah pergi", katanya. Hari kedua mereka yang bisa bertahan hidup hanya memakan 2 biskuit, untuk menghemat. Tetapi pada hari ketiga makanan itu sudah habis. Ham Sek Lae yang bertahan di reruntuhan itu sembari menjaga neneknya yang meninggal seketika, turut berjasa untuk para korban yang bertahan. Dokter Dwiwahyono dan anak muda itulah yang memungut makanan, seperti roti dan permen yang berserakan di sekitar pesawat yang rungsek. Pada hari ke empat Ros bersama 6 orang yang terhindar dari maut mulai memakan kol mentah. Pada hari ke lima untuk bertahah dari rasa lapar mereka terpaksa memakan dendeng mentah. "Ketika semua makanan sudah tak bersisa, pada hari ketujuh orang-orang mulai bertekad meninggalkan pesawat", tutur Ros Husni Alatas kepada wartawan TEMPO Martin Aleida yang menjenguknya di peristirahatan di Ongka Malino. Pada hari ketujuh itulah pilot Achmad Anwar meninggalkan pesawat. Dr Dwiwahyono menolak rencana keberangkatan itu. "Jangan. Kalian tak punya persediaan makanan", katanya, Ros dan beberapa orang lagi yang sudah berniat untuk meninggalkan pesawat dan sudah siap dengan permen di kantong akhirnya tak jadi berangkat. Hanya pilot dan juru mesin yang meninggalkan tempat. Yang tinggal bertahan dengan makanan yang hanya tinggal dendeng mentah, sedang minum ditampung dengan sepatu. "Untunglah tiap hari ada hujan. Kalau tidak saya tak tahu bagaimana nasib saya", katanya. Kira-kira dua hari setelah rencana nekad untuk meninggalkan tempat kecelakaan itu, di langit menderulah suara pesawat helikopter. Tiga kaleng susu dijatuhkan dari udara. "Setelah droping pertama makanan itu, boleh dikatakan pesawat saban hari berada di atas kepala kami. Makanan jatuh tak jauh dari tempat kami berlindung. Dr Dwiwahyono dan Ham Sek Lae yang mengambil. Makanan kami semakin cukup. Tetapi hati amat pedih melihat Husni yang masih terduduk di samping". Ros menyeka air matanya. "Jangan menangis lagi. Habis airmata", sapa dr Dwiwahyono yang terbaring di dekatnya. Tegur sapa dokter yang banyak membantunya itu tak sempat dia jawab. Regu penolong dengan sebuah tandu sudah berdiri di sampingnya. Dia kemudian dibawa ke pesawat heli dan diterbanykan ke Palu. Di kota itulah dia berkenalan dengan Husni Alatas. Mereka hidup berbahagia, bersama dua putera mereka, Putriani dan Arif Budiman. Kini kedua anak itu harus berpisah dari sang bapak - tanpa mereka duga. 6 April, setelah tempat kecelakaan itu ditemukan, petugas MNA datang menemui keluarga Husni, kalau-kalau mereka hendak menitipkan makanan untuk Husni Alatas dan isterinya. Ketika petugas itu akan pergi membawa barang kiriman, Putriani, 9 tahun, tiba-tiba berkata: "Tunggu Pak, saya mau tulis surat untuk Mama dan Papa". Dia masuk ke kamar. Menulis surat. Langsung menyerahkannya kepada petugas tadi. Isinya: Kepada yang terhormat Mama dan Papa di hutan. Dengan hormat. Bersama ini Mama dan Papa masih ada dalam hutan. Kami di sini dengan keluarga ada baik-baik. Bagaimana sampai terjadi dalam bahaya, Mama dan Papa. Kami dan keluarga bersedih bahwa Ani dengar Mama dan Papa patah kaki. Kasihan Mama dan Papa. Makanan ini dari Ani Budi dan keluarga lain. Semoga Mama dan Papa dilindungi Tuhan. Ani dengar juga Papa terjepit di kursi. Kue ini buat Mama dan Papa dan penumpang lain. Mama dan Papa selalu sembahyang supaya Mama dan Papa dan penumpang lain dapat selamat. Biar Mama Papa patah kaki pokoknya selamat. Ani dengar ada nenek umur 80 tahun bersama anak kecil berumur 6 tahun atau 6 bulan. Ani sedih mendengar kata-kata yang terjadi. Mama Papa baik-baik. Mama tidak usah ingat-ingat Budi. Budi ada baik-baik. Tante Emi menangis waktu itu helikopter datang. Ani kira Mama dan Papa ada di dalam dan penumpang yang lain. Padahal helikopter dari balikpapan. Ani selalu doakan Mama dan Papa. Ani tidak sekolah 1 minggu lebih karena ingat-ingat Mama Papa. Surat itu selamat. Juga Mama. Tapi sang Papa tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus