PRESIDEN Soeharto, yang menaruh perhatian khusus sejak mula,
pekan lalu menyatakan kagum. Menteri Perhubungan Emil Salim
memuji. Dan banyak orang menunjukkan penghargaan kepada para
anggota tim SAR dalam mencari dan menolong mereka yang nyaris
hilang dalam kecelakaan pesawat Twintter MNA di Gunung
Tinombala.
Ini adalah usaha SAR yang terbesar selama ini. Hampir sebulan
lamanya, telah dikerahkan satu heli raksasa Puma dan 4 buah heli
biasa dari jenis Allouette dan Bolkow. Turut serta hampir 50
orang anggota pasukan Kopasgat dan Linud yang didatangkan dari
Jakarta, Bandung dan Ujung Pandang. Juga: kesatuan Kodim
setempat, 40 orang yang dipimpin Pelda Mathius.
Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23
orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia,
10 orang selamat dan seorang lagi belum ditemukan. Mereka yang
meninggal adalah: Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya
Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani
Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad
Anwar dan juru mesin Irawan. Mereka yang hidup: Hasan Tawil,
Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono,
Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono serta
ko pilot Masykur. Menurut berita terakhir dari Palu, seorang
penumpang yang masih belum diketahui nasibnya (karena
meninggalkan pesawat) adalah Teki Anaya, seorang pengusaha dari
Gorontalo.
Tapi toh, kerja tim SAR tak dapat dikatakan cepat. Adanya
sejumlah orang yang mati bukan karena luka, tapi karena terlalu
lama tak tertolong dan kelaparan, merupakan inti tragedi kisah
ini. Mungkin sadar akan kelambatan kerja SAR, keluarga Teki
Andaya mencoba mempercepat pencarian. Mereka mengadakan
sayembara berhadiah. Mula-mula dijanjikan hadiah Rp 500.000 bagi
yang menemukan Teki dalam keadaan hidup. Pasaran melonjak cepat
kemudian, jadi Rp 5 juta. Ternyata usaha ini ditangguk
orang-orang yang suka duit. Tiap calon pencari diberi uang bekal
rata-rata Rp 15.000, tapi di antara mereka ada yang cuma
berputar-putar sedikit di hutan, lalu kembali lagi dengan
laporan: "belum berhasil". Dan minta bekal lagi.
Tak salah lagi: lokasi sulit, cuaca buruk dan SAR kurang
peralatan. Dirjen Perhubungan Udara, Kardono, sendiri tiba-tiba
berkata: "Peralatan SAR perlu mendapat perhatian, personalia
harus dididik secara baik dan teliti".
Mungkin suara ini tak perlu dianggap baru - meskipun tetap
benar. Sejak 22 tahun yang lalu, ketika Dewan Penerbangan
pertama kali terbentuk, soal SAR ini sudah jadi fikiran. Usaha
ini dilanjutkan di tahun 1959 oleh beberapa orang pejabat
penerbangan sipil dan militer. Sayang lama tak berkelanjutan.
Tak ada biaya.
Tahun 1970 lahiir pilot proyek SAR Jakarta dengan mendirikan
Pusat Kordinasi Rescue yang kemudian berubah menjadi Kantor
Kordinasi Rescue (PKR). Dua tahun berikutnya (1972) melalui
Keputusan Presiden organisasi ini lebih disempurnakan dengan
lahirnya Badan SAR Indonesia (BASARI). Badan ini merupakan
kerjasama antar departemen yang bertugas mengkordinir pencarian
dan pemberian pertolongan sesuai dengan peraturan SAR
internasional. Tahun 1974 sebagai badan pelaksana dari BASARI,
didirikan Pusat SAR Nasional (PUSARNAS) di tingkat pusat. Untuk
tingkat wilayah dibentuk Kantor Kordinasi Rescue (KKR).
Pusarnas yang dipimpin Marsekal Pertama Dono Indarto
bertanggungjawab kepada Meteri Perhubungan. Pembiayaan Basari,
administratif maupun operasionil jadi beban anggaran Departemen
Perhubungan. Sedangkan pembinaan unsur-unsur SAR menjadi
tanggung jawab masing-masing departemen atau instansi yang
bersangkutan.
Menurut Kolonel (Pol) Tono Amboro, Komandan Komando Satuan
Udara, Polri (salah satu unsur Pusarnas) hingga kecelakaan di
gunung Tinombala itu terjadi Pusarnas memang baru berfungsi
sebagai kordinator saja. "Belum punya pesawat satupun",
katanya. Menurut Tono, tak ada salahnya bila Pusarnas memiliki
pesawat sendiri. "Ada satu saja sudah lumayan, asal pesawat
mutakhir dan betul-betul merupakan versi untuk SAR", tambahnya.
Sementara itu menurut Letkol (U) Q. Soenarto, Kepala Bidang
Operasi Pusarnas pesawat khusus SAR itu sangat mahal dan hanya
dapat dibeli berdasarkan pesanan. Pesawat ini dilengkapi radar
pencari yang dalam jarak 5 menit dapat melihat benda kecil. Juga
dilengkapi lampu kabut dengan pilot yang harus memakai kacamata
infra merah.
Soenarto mengakui Pusarnas masih serba kekurangan. Selain tak
punya pesawat, katanya, alat-alat komunikasi masih kurang. Juga
jumlah personil sangat tak memadai. "Jumlah personil yang
minimalpun kami tak punya", tutur Soenarto. Sementara itu,
menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya bila saja
waktu kecelakaan Twin Otter itu terjadi Pusarnas sudah memiliki
satu saja pesawat SAR plus dana dan personil yang cukup,
penanggulangan musibah itu tak akan mencapai belasan hari.
Meskipun kemudian Menteri Perhubungan Emil Salim memuji hasil
kerja tim SAR sebagai "prestasi yang gemilang", namun saat-saat
kritis bukannya tak pernah dialami. Terutarna ketika
berkali-kali usaha penerjunan pasukan dan usaha lewat darat ke
tempat kecelakaan gagal. Pada saat inilah baru terlintas di
kepala pimpinan SAR untuk meminta bantuan dari Wanadri, itu
perhimpunan pemuda pendaki gunung. Terlintas juga fikiran untuk
minta bantuan US Air Force yang berpangkalan di Pilipina. Tapi
niat itu belum terlaksana. Yang nongol ialah seorang pilot
Amerika, John Anderson, karyawan perusahaan minyak Arco di
Tarakan, yang berpengalarnan di Perang Vietnam. Ia berhasil
mengapungkan Allouette-nya di atas lokasi. Koptu Dominikus dan
Serda Sunardi pun -- dari Kopasgat - turun melalui tali di pucuk
pohon yang terletak 20 meter di bawah lewat seutas tali. Dari
pohon sekitar 50 meter itu mereka meluncur. Mereka sampai pada
100 meter dari tempat pesawat jatuh.
TAPI di tempat runtuhan pesawat itu, pekerjaan masih berat.
Kedua anggota Kopasgat itu harus segera bekerja membuat landasan
darurat heli (helipad) untuk pertolongan selanjutnya. Tapi
gergaji yang mereka bawa tiba-tiba macet di hari pertama,
sedangkan luas helipad paling tidak harus 4 x 4 meter.
Mendapat laporan tentang kesulitan membangun helipad ini, SAR
sempat pula merancang satu usaha yang mirip usaha gila.
Sekalipun helipad tak bisa dibangun, tapi pasukan sudah bisa
turun ke tempat lokasi. Tim merencanakan penurunan pasukan yang
lebih banyak. Tanpa helipad para korban akan diusahakan
penyelamatannya melalui kursi yang dipasang di ujung tali yang
menjulur dari pesawat yang mengapung di udara. Ke kursi itulah
nantinya korban akan diusung dan diikatkan, lantas dikatrol ke
heli.
Untunglah rencana edan ini tak sempat terjadi. Tapi heli
Allouette memang sempat latihan dengan usaha penyelamatan
begini.
Semangat pasukan penolong memang berkobar-kobar, sampai-sampai
mereka agak lalai terhadap atasan. Anak buah Mayor Mulyono yang
hendak turun ke lokasi dan memberikan bantuan dalam pembuatan
helipad ternyata dilarang turun oleh Letnan Jopie sebagai
instruktur. Dia melihat tehnik turun lewat tambang dari anak
buah Mulyono tidak sempurna. Mereka agak kesal dengan peristiwa
itu.
Tapi ketika Emil Salim dan Dono Indarto sedang asyiknya
menikmati papaya, pisang dan jagung bakar yang disuguhkan para
transmigran Ongka pada siang hari 14 April, sekitar jam 13.35
waktu setempat, tiba-tiba ada panggilan dari radio SAR I dekat
tempat kecelakaan. Dono mendapat laporan bahwa Mayor Mulyono
sudah mencapai tempat kecelakaan setelah berjalan dua malam.
Meletakkan gagang telepon itu, Dono kemudian duduk kembali dekat
Emil Salim. Perwira tinggi yang pendiam itu mengatakan kepada
Menteri Perhubungan bahwa anak buahnya itu telah berangkat tanpa
setahunya.
Tetapi ketidak-disiplinan ini ternyata membawa buah jua.
Merekalah yang menemukan Nyonya Tiwi dan empat korban lagi yang
sudah meninggal di kaki gunung Tinombala. Merekalah yang
membantu para korban itu diturunkan. Mereka membungkus dan
mengikatkannya pada seutas tali sepanjang 60 meter yang
dijulurkan dari pesawat heli. Dalam keadaan tergantung seperti
itu mayat tadi dibawa terayun-ayun sampai ke Ongka Malino.
Sebelum mencecah tanah jenazah itu disambut oleh pasukan dan
cepat ditampung dengan tandu.
Di perkampungan ini jenazah yang dibungkus kain selimut, plastik
dan karung ditabur kopi untuk menghilangkan bau, dan selanjutnya
di sebuah pos dimasukkan ke dalam peti jenazah setelah karungnya
diganti dengan plastik. Dan diterbangkan ke tempat tujuan.
Kedatangan Emil Salim di Ongka Malino 12 April membuat arah baru
bagi rencana SAR semula. Kepada para keluarga korban yang datang
menemuinya berkali-kali dia mengatakan: "Akan mengusahakan
sekuat mungkin jenazah dibawa turun". Hal ini terutama dia
ucapkan kepada Abdul Rachman Alatas, orang tua Husni Alatas.
Sebab sebelum dia datang ke Toli-Toli keluarga besar Alatas di
Toli-Toli & Palu mendengar berita bahwa korban akan dikubur di
tempat kecelakaan.
Direktur Utama MNA, Marsekal Muda Ramli Sumardi, berpakaian
tempur, dengan pistol di pinggang terbang dan menginap di
lokasi. Dia mengikuti proses penyelamatan jenazah dari pesawat
yang malang tersebut. Seberapa besar kecelakaan ini makan ongkos
MNA, belum diketahui.
Frekwensi penerbangan perintis yang 2 kali seminggu jika dulu
selalu padat penumpang, sejak kecelakaan hingga sekarang tinggal
sedikit. Malahan menurut seorang agen penjualan karcis, satu
kali pernah hanya ditumpangi 3 orang penumpang. Orang sekarang
merasa lebih aman lewat laut. Kecuali barangkali rute pesawat
terbang akan dialihkan ke arah pantai barat, sebagaimana sudah
direncanakan oleh Menteri Perhubungan. Dengan risiko 8 menit
lebih lama.
Tentu saja pesawat harus dilengkapi sebaik-baiknya. Sebab Twin
Otter MNA yang celaka itu ternyata hanya membawa Parachute Flare
Red yang sudah habis waktu bulan Pebruari 1974. Alat ini dalam
kecelakaan bisa dipakai sebagai aba-aba minta bantuan. Kalau
gagangnya dilepas dia akan melemparkan parachute yang membawa
benda bersinar merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini