JENAZAH Husni Alatas dan Harsoyo disembahyangkan di sebuah
langgar di Ongka Malino Sekitar 15 orang ikut dalam upacara itu.
Ketika Emil Salim, Kardono dan beberapa penduduk transmigran itu
keluar dari langgar, Kopral Satu Dominikus masuk dari pintu
samping. Dia melepas topinya. Membuka sepatu. Dan dalam pakaian
seorang penerjun dengan sepucuk pistol dan kampak di pinggang ia
berdiri di depan peti jenazah. Di langgar, tempat kaum muslimin
menyembah Allah, Dominikus berdiri tegak. Ia letakkan kedua
tangannya di dada dan mengucapkan doa seorang Kristen.
Saat dia akan meninggalkan ruangan langgar itu, seseorang
berkata kepadanya: "Husni Alatas teman saya. Terimakasih untuk
doamu tadi, Dominikus". Anggota Kopasgat kelahiran Flores itu
menjawab: "Di hadapan Tuhan semua orang sama".
Dominikus Poin, 30 tahun, tak salah lagi merupakan salah seorang
yang berjasa dalam menolong korban Twin Otter di Gunung
Tinombala. Dialah yang 10 April bersama Kopral Dua Sunardi turun
ke tempat kecelakaan. Kedua penerjun itu merupakan pasangan yang
serasi dan tak pernah berpisah dalam operasi rescue. Ketika
pesawat Albatros jatuh di Gunung Sidole tahun 1974, dua
serangkai ini juga yang turun menolong.
"Begitu turun ke atas pohon badan saya terbelit tali. Sunardi
yang turun kemudian memberikan pisau kepada saya", katanya
menceritakan kisah, pertolongan itu kepada Menteri Perhubungan
Emil Salim. Dengan pisau itu dia memotong tali yang membelit
tubuhnya. Lepas dan tali itu, bagaikan bajing dia bergayut di
dahan yang menyambutnya di bawah. Tindakan itu harus segera dia
lakukan, kalau tidak heli yang menurunkannya akan tambah lama
hovering. Satu keadaan yang akan membahayakan heli itu sendiri.
Dengan seutas tali, panjangnya 60 meter, dia meluncur ke tanah.
Kira-kira seratus meter dari tempat kecelakaan.
Sudah agak siang ketika mereka berdua turun ke lokasi itu. Iam
08.35. "Karena gelap, ditutup kabut kami berhenti dulu. Begitu
ada cahaya lagi, segera kami turun menuju tempat jatuhnya
pesawat", kata Dominikus.
Ketika reruntuhan pesawat Twin Otter buatan Canada itu sudah
terlihat dia berteriak: "Anggota SAR datang". Seseorang, yang
belakangan diketahui adalah dr Dwiwahyono, menyambut mereka
dengan kata-kata: "Kami hidup!". Kopral Sunardi tak lupa
menyampaikan salam : "Assalamu Alaikum", yang kemudian disambut
dokter itu dengan seruan "Alaikum salam. Allahu Akbar".
Dominikus dan Sunardi menjenguk para korban yang bertahan hidup
dan berpelukan dengan Dwi. Dokter ini yang sebelumnya dikabarkan
mati, banyak jasanya menolong teman senasib. Dengan makanan,
obat-obatan, dan semangat.
Tak lama Dominikus dan Sunardi bersebut-sapa di hutan yang lebat
dan dingin itu. Mereka minta dia untuk mempersiapkan helipad.
Gergaji chainsaw yang mereka bawa ternyata macet pada hari
pertama. "Hanya dengan kampak ini", kata Dominikus, "kami
bekerja pada hari pertama. Biar kecil begini 36 pohon bisa kami
tumbangkan". Kampak yang lebih kecil dari tapak tangan itu dia
keluarkan dari sarangnya dan menunjukkannya kepada orang-orang
yang datang berkerumun.
Mereka bekerja mati-matian untuk membuka hutan lebat itu. Sampai
jam 1 malam mereka masih bergulat dengan pepohonan yang
tingginya kira-kira 50 meter. "Hanya kedua chain-saw sudah bisa
dipakai. Kami mulai berjoget. Kami memang memerlukan helipad
untuk keluar. Tapi yang paling penting adalah untuk mereka yang
terus-terusan menangis dipesawat yang jatuh itu", katanya.
Pada hari ketiga, 13 April, dia turun dari lokasi untuk
menurunkan peralatan. Tangan kirinya cedera sedikit. Namun dalam
keadaan seperti itu dia masih bekerja terus. Mempersiapkan regu
penolong. Dialah yang memacung sampai putus tali pembawa jenazah
yang dibawa menggantung sepanjang 60 meter dari atas heli. Dia
letakkan jenazah itu ke atas tandu. Dan regu penolong, yang
terdiri dari penduduk biasa di Ongka Malino itu, membawanya
pergi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini