TASAWUFNYA A.B. Djailani Darman di Kalimantan Selatan, 24 September lalu dibreidel. Kendati demikian, setiap hari, murid-muridnya masih ke rumahnya. "Setelah dilarang, secara resmi, pengajian saya terhenti. Tapi murid-murid saya datang bertanya mengenal agama. Sekarang kegiatan kami masih berjalan dengan proses tanya jawab saja," katanya. Muridnya sekitar 3 ribu. Merebak hingga di Jakarta dan Sabah, mereka ada yang mahasiswa, sarjana, pejabat, tokoh masyarakat, selain penduduk setempat. Hingga pekan ini, Djailani terus menunggu balasan surat dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. "Tidak benar ajaran saya bertentangan dengan Islam. Pihak yang tak setuju, seharusnya mengundang saya untuk berdebat secara terbuka. Bikinlah semacam seminar," kata ayah 4 anak itu. Sebuah sumber mengatakan, suratnya "salah alamat", dan tidak akan dibalas Mahkamah Agung. Suratnya yang dikirim 5 Oktober lalu ke Kejaksaan Agung, mungkin dijawab setelah ada keputusan dari Pakem Pengawas Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat. Kata seorang staf Humas Kejaksaan Agung, sampai sekarang, larangan itu belum ditinjau kembali. Munculnya larangan dimaksud agaknya karena ada buntut lama. Yang mengenal Djailani, 65 tahun, menyebutkan bahwa dakwahnya sistematis. Karena "takut" pengaruhnya membengkak, pada 1979, ada sementara ulama "menentang" dia, tetapi dilerai seorang Kepala Kejaksaan Negeri di sana. Mereka berdialog, lalu kembali diikat oleh saling pengertian. Kemudian seorang muridnya, Noorifansyah, membuka cabang di Desa Layap, Hulu Sungai Utara. Ia mengubah nama ajaran gurunya itu dengan Ilmu Tauhid Tasawuf Khusnul Khatimah (Batas Kehidupan Terbaik). Meniru gurunya, ia menyebarkan piwulang itu dengan sabar: di khotbah, mimbar diskusi, melalui tulisan, dan kaset. Pada 22 Januari 1986, muncullah fatwa Majelis Ulama (MU) Hulu Sungai Utara, memvonis Noorifansyah "sesat" dan pengajiannya supaya dilarang Jaksa Tinggi, waktu itu, Haryono Dipowidjojo, mendukung fatwa tadi. Tapi si murid ini tak kapok. Awal tahun ini, pengajiannya dibangkitkan lagi. MU tadi kembali ribut. Dan atas desakan Kajari Amuntai, Kakanwil Departemen Agama, dan Kaditsospol Pemda Tingkat I, rupanya, yang dilarang, bukan saja Khusnul Khatimah. Tapi bak dimakan pisau bermata dua, tasawuf Djailani itu pada September lalu itu diberangus juga. Alasannya: mengganggu kerukunan beragama, stabilitas keamanan, dan ketertiban masyarakat. Mencoloknya "dosa" Djailani, kata Jaksa Tinggi M. Djalil Anwar Pradjarto, terutama soal syahadat. Ia mengartikan la ilaha illa Allah dengan "Tidak ada ketuhanan melainkan Tuhan". Djailani senada dengan Dr. Nurcholish Madjid, peneliti dari LIPI, yang pada 1985 melontar terjemahan kalimat tauhid itu "Tiada tuhan selain Tuhan". Djailani berkilah dengan mencontohkan God yang di Barat tak diributkan. Dan bertolak dari semantik, kemudian ia memungut al-Ism al Mufrad fi Lafdz al Mujarrad, (Nama Tunggal pada Kata Yang Esa) karya Ibn al-Athailah, mengenai kalimat syahadat itu. Awalnya La ilaha berarti "berlepas, menolak, atau mengingkari". Lalu Illallah, yang arti penetapannya uluhiyah, alias ketuhanan bagi yang berhak akan Dia, dan wajib bagi-Nya akan hakikat. Dalam diktatnya, Ikhtisar Konsep Materi Dakqah Islamiyah dan Ajaran-Ajaran Islam, tafsiran mengenai La ilaha illa Allah dibahasnya secara detail, walau tak istimewa. Tapi dari diktat ini diketahui: dia mengembangkan tasawuf wujudiyah, manunggal dengan Allah, yang akarnya ke Ibn Arabi. Di Kalimantan, tasawuf ini sudah lama dimunculkan Syaikh Nafis, pengarang al-Durr al-Nafis. Diktat Djailani itu 38 halaman, ditulisnya 15 Juli 1984, tapi diberangus pula. Djailani tidak mengatakan terjemahan Tiada Tuhan Selain Allah itu salah. Tapi jika dipertahankan, katanya, "Itu berarti mengakui adanya tuhan-tuhan lain, di samping Allah." Sedangkan hadirnya kata "Tuhan" dalam satu kalimat, walau bentuk penafian, tapi itu menunjukkan arti adanya "dua" Tuhan. Selama ini, menurut Djailani, terjemahan populer itu aneh. Dengan terjemahannya -- dan itu dianggapnya benar -- ia hendak mengutarakan hanya satu Tuhan yang ada dalam hati seorang muslim: Allah. "Kata ketuhanan, hanya kata sifat," ulasnya. "Menduakan Allah itu syirik. Jadi, harus bertauhid, dengan mengesakan-Nya." Dan, selain belajar ilmu tauhid dan syariat, seorang muslim wajib menuntut ilmu sir, perjalanan, atau rahasia hati. Islam itu, katanya, terdiri dari 4 peringkat: kalimat tauhid, ilmu syariat, ilmu hakikat, dan Quran. Jabarannya, pertama, mengesakan Tuhan dari segi Zat atau ada Esensi-Nya. Tingkat ini hanya mampu dicapai nabi dan malaikat. Kedua, mengesakan Tuhan pada Sifat, Nama, dan Perbuatan-Nya. Ketiga, madlhar, penampakan Tuhan pada alam. Keempat, sifat firman Tuhan itu menampak di Quran. Setiap pembaca Quran akan menemukan firman-Nya yang berkait satu sama lain, lalu menampak Tuhan Esa. Tapi menurut Jaksa Tinggi tadi, ajaran Djailani bertentangan dengan Quran dan Hadis. Wahyu Ilahi, berdasar Quran dan Hadis, berisi tiga aspek: ilmu tauhid, ilmu fikih, tasawuf. "Djailani mengajarkan yang salah mengenai pengertian Islam dan Iman, dan ia tidak benar mengajarkan masalah madlhar, tawassul, atau perantara melalui guru, dan syirik," kata Harsopandoyo, Kepala Humas Kejaksaan Tinggi Kal-Sel. Djailani hidup dari sumbangan para muridnya. Pada 1939-1941 ia nyantri di Pondok Moderen Gontor, Ja-Tim. Eks tentara pelajar ini, di masa Orde Baru, ikut memimpin PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) di Banjarmasin, sambil membuka pengajian Ilmu Tauhid Tasawuf Ushuluddin (Teologi) di rumahnya di Sungai Bilu. ZMP, Ahmadie Thaha (Jakarta), Amin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini