Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di balik kain mori

Tarekat naqsabandiyah ajaran kadirun yahya dari medan berusia 36 tahun dengan 4 juta murid. tapi ajaran kadirun yahya dilarang di malaysia. dianggap menyeleweng dari akidah. kadirun disegani muridnya.

10 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah kampung di Yogyakarta, setelah salat isya. Sekelompok perempuan mengenakan mukena, duduk melingkar berhadap-hadapan, taqajuh. Kepala sedikit menunduk, memandang mata hati. Sambil tangan memainkan tasbih, mulut tak henti berdikir. Di tempat terpisah, yang laki-laki memakai sarung dan berpeci, berbuat serupa. Mereka berdikir: "Allah, Allah, Allah ...." Mereka pengikut tarikat aliran Naqsabandiyah pimpinan Kadirun Yahya dari Medan Aktivitas itu pada waktu tertentu saja, atau dua kali sepekan. Kebanyakan mahasiswa tiap kali berdikir sekitar 40 orang, di ruang tertutup. Menjadi anggota tarikat ini si calon harus dibaiat, disumpah. Pukul 12.00 malam mereka dikumpulkan di satu tempat, mendengar penjelasan cara berdikir, lalu membayangkan wajah guru, Kadirun Yahya. Itu bukan saja ketika berdikir, juga sewaktu salat. Yang akan dibaiat, seusai mandi, mereka melaksanakan salat sunah. Kemudian tidur dengan posisi tertentu. Tubuh ditutupi kain mori putih. Selama baiat, dilarang bicara. Menjelang subuh, bangun, berwudhu, lalu salat subuh berjamaah. Setelah itu baru berdikir bersama. Kadiruniyah mengajarkan bahwa guru itu waratsat al-anbiya, pewaris Nabi. Hanya bagi orang luar terkesan: mereka harus mengkultuskan guru. Hingga uang zakat fitrah misalnya, mesti dikirim ke Medan. Guru, katanya, "perantara" (tawassul) yang mendoakan agar di akhirat nanti uang tersebut mendapat pahala. Setelah itu, barulah uang itu dibagikan (masih oleh guru) pada fakir miskin. "Dalam tarikat ini, ada penyelewengan akidah. Kesalahan paling besar karena orang mendampingkan dirinya dengan Allah," kata Datuk Dr. Abdul Hamid Othman pada Ekram H, Attamimi, wartawan TEMPO di Kuala Lumpur. Dirjen Hal Ehwal Islam di Kementerian Agama Malaysia itu mengatakan, dalam ajaran Islam hubungan seseorang dengan Allah itu langsung. "Guru bukanlah tawassul dalam beribadat," ujar Datuk itu. Di Malaysia, sudah 14 tarikat dilarang. Yang satu itu ajaran Kadirun yang "ekspor" ke sana. Pengharaman itu awal November lalu. Bermula di Kedah, kemudian negara bagian lain melarang pula. Belum jelas pengikutnya, tapi terbanyak di Selangor. Kadirun tak peduli pada larangan itu, walau ajarannya disebut "sesat". Ia hanya bilang, pejabat agama di Malaysia merasa "cemburu" karena pengikutnya berserak di berbagai kota. "Ada profesor, menteri, sultan, doktor, sarjana," katanya. Rektor Universitas Pancabudi Medan yang usianya 70 tahun itu sudah 10 tahun tak menginjakkan kakinya di Malaysia. Hanya orang dari sanalah saban tahun terbang menjenguknya ke Medan. Kata Datuk Hamid? "Banyak cerita tentang guru tarikat yang satu ini. Pengikutnya mengatakan dia itu sakti," ucap Hamid. "Keringatnya, konon, wangi dan pantang bagi siapa saja mencercanya, karena bisa berakibat bencana alam." Kadirun membantah. "Secara ilmiah, pejabat agama di Malaysia itu tidak mengerti ilmu tarikat yang tinggi sekali," tutur Kadirun. Ia tujuh tahun belajar tarikat pada Syaikh Maulana Saidi Muhammad Hasyi di Jabal Qubaisy, Mekah. "Kami mengamalkan, mendakwahkan serta menggalakka pengalaman dikir seperti diperintahkan Allah dan Rasul," katanya. Selama 36 tahun ia menyebarkan tarikatnya, kata Kadirun, sudah 4 juta muridnya di Indonesia. Ia mengarang banyak kitab tentang tarikatnya. "Tidak ada yang membantah," ujarnya. Bahkan, tim Jabatan Agama Islam Selangor empat hari di Medan, menyelidiki pusat ajarannya. "Dan membenarkan tarikat ini," ujar Kadirun pada TEMPO. Pihak resmi membenarkan. "Tarikatnya sifatnya murni dikir. Belum ada ekses yang meresahkan," kata Syaiful Mahyan Bandar Humas Kanwil Departemen Agama Sum-Ut. Naqsabandiyah didirikan oleh Syaikh Naqsabandi yang lahir di Bukhara, Rusia. Ia wafat pada 1386 Masehi -- 200 tahun setelah Al-Ghazali. "Tapi tanpa menjadi anggota tarikat, orang tidak mungkin memahami hakikat tarikat," kata Ahmad Tafsir, 46 tahun, ahli teologi dari IAIN Bandung pada Hedy Susanto dari TEMPO. Jika memahaminya dengan rasio atau argumentasi logis, itu sama seperti melihat bintang tanpa teleskop. Tarikat bukanlah bid'ah. Tarikat itu riyadhah alias "latihan" atau "jalan". Lazimnya, orang tarikat kembali ke Quran dan Sunah. "Metode menafsirkannya dengan rasa, ucap Ahmad Tafsir pula. Ia sendiri pengikut tarikat Naqsabandiyah yang dipimpin Abah Anom di Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Yang menarik, di Malaysia, ajaran ini malah disambut. "Para pengikut Abah Anom selalu berdampingan dengan saya," ujar Datuk Hamid. Padahal, Kadirun juga mengibarkan bendera Naqsabandiyah, seperti Abah. Laporan Irwan E. Siregar (Medan) dan Siti Nurbaiti (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus