Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU 30 menit lewat dari pukul enam pagi. Hari masih terlalu dini untuk menikmati sarapan. Tetapi Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, sudah memanggil anak buahnya berkumpul untuk sarapan. Menunya sebungkus nasi gurih dengan sebutir telur rebus, ayam goreng, dan sambal.
Bukan menu istimewa. Tapi yang spesial, hidangan itu dibawa sendiri oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Mustafa Abubakar, ke kantor BRR, Rabu pekan lalu. Bersama seorang ajudan, Mustafa menyaru dengan pakaian olahraga warna biru. Mereka menembus blokade pengunjuk rasa yang telah 16 jam mengurung Kuntoro dan 20 anak buahnya di kantor BRR di Leung Bata, Banda Aceh.
Di luar kantor BRR, sekitar 1.000 pengunjuk rasa menutup badan jalan dengan batu dan kayu. Mereka yang tergabung dalam Forum Komunikasi Antar-Barak (Forak) melarang Kuntoro pergi sebelum meneken 13 tuntutan mereka. Di antaranya percepatan pembangunan perumahan, santunan biaya pendidikan untuk anak korban tsunami, pemberian modal usaha secara hibah, meminta gaji karyawan BRR dipangkas separuhnya, dan pemecatan sejumlah pejabat BRR.
Ini adalah tuntutan kedua yang pernah diajukan Forak. Senin sepekan sebelumnya, Direktur Forak Raden Panji Utomo membawa pengungsi dalam jumlah yang sama ke kantor BRR. Mereka mengajukan 11 tuntutan. Kuntoro yang dicari sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Australia, menemui sejumlah lembaga donor. Melalui telepon Kuntoro bersedia menemui mereka, Selasa pekan lalu.
Pertemuan berlangsung tiga jam lepas tengah hari di kantor BRR. Beberapa tuntutan yang menyangkut kepetingan pengungsi disepakati Kuntoro, toh program itu sudah masuk rencana kerja BRR. Sedangkan tuntutan pembenahan di tubuh BRR ditolak. ”Ini menyangkut peraturan perundangan yang diluar wewenang Pak Kuntoro,” kata juru bicara BRR, Mirza Keumala.
Forak menambah dua butir usulan dari tuntutan semula. Mereka meminta BRR memberikan modal kerja kepada pengungsi anggota Forak sebesar Rp 20 juta untuk setiap kepala keluarga. Bentuknya hibah tanpa syarat pengembalian. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menolak, karena jumlah itu harus melalui persetujuan DPR di Jakarta. Selama ini DPR hanya mengizinkan bantuan modal Rp 2 juta hingga Rp 5 juta. Itu pun harus dikembalikan agar bisa diberikan kepada pengungsi lain.
Permintaan yang paling tidak masuk akal, Forak meminta sebagian program BRR dipindahkan kepada mereka berikut dananya. Program itu di antaranya pembangunan rumah, bantuan sewa rumah, hingga hibah modal kerja. Total jenderal dana yang harus dipindahkan Rp 5,4 triliun. Mustahil. Anggaran BRR dalam APBN hanya sekitar Rp 9 triliun. Itu pun setiap program yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan DPR.
Di luar kantor BRR, jumlah pengunjuk rasa terus membengkak hingga lebih dari 1.000 orang. Menjelang senja, Panji diminta masuk. BRR mengajukan konsep yang mungkin dilakukan. Tetapi Panji menolak. Dokter asal Cirebon yang datang sebagai relawan korban tsunami itu merobek-robek konsep BRR dan pergi keluar kantor.
Suasana semakin tegang. Pengunjuk rasa mulai berteriak-teriak dan mengancam akan menduduki kantor BRR. Mereka memblokir jalan keluar sehingga 50 karyawan BRR tertahan di dalam. Kepala Polwiltabes Banda Aceh, Komisaris Besar Polisi Zulkarnaen, menemui Kuntoro menawarkan untuk mengevakuasi. Kuntoro menolak. ”Saya akan bertahan di sini bersama anak buah saya,” katanya. Namun dia meminta polisi membantu karyawan perempuan agar bisa pulang secepatnya.
Hingga tengah malam negosiasi buntu. Kedua pihak sama-sama bertahan. Pengunjuk rasa bertahan di luar gedung. Kuntoro bersama 20 karyawan BRR tetap di dalam kantor. Penghuni kantor BRR baru terbangun saat Gubernur datang membawa bungkusan nasi gurih untuk sarapan bersama.
Keheningan tak berlangsung lama. Polisi dengan berpakaian sipil mulai bertindak menangkap beberapa orang pengunjuk rasa lalu membawanya pergi. Massa kocar-kacir. Pengunjuk rasa menyangka polisi telah menangkap pimpinan mereka, Panji Utomo. Mereka mulai melempari polisi dengan batu. Segera polisi menyerbu ke arah pengujuk rasa dan mengusir mereka.
Sementara itu di kantor BRR kegiatan kembali normal. Kuntoro melantik beberapa deputi baru di lembaga yang dipimpinnya. Sejam kemudian karyawan yang semalam menginap diperintahkan menengok keluarga di rumah. Masing-masing membawa kisah seru pengalaman 20 jam tersandera dalam kantor.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo