Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bapak Presiden, semua yang di sini adalah kawan Bapak, tapi juga bisa jadi lawan..,” kata Panglima Tentara Nasional Indonesia, Marsekal Djoko Suyanto, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu pekan lalu. Hening sejenak, ia meneruskan: ”...di pertandingan voli.”
Seribuan perwira berpangkat kolonel hingga jenderal yang hadir di Gedung Ahmad Yani, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI), Cilangkap, yang semula terhenyak, kontan tergelak. Yudhoyono pun tersenyum mendengar guyonan teman seangkatannya di Akademi Angkatan Bersenjata itu.
Djoko memang hanya bergurau di depan peserta rapat terbatas para petinggi tentara itu. Namun, bukan tak mungkin sebagian prajurit bisa betul-betul menjadi ”kawan” atau ”lawan” Yudhoyono jika mereka diberi hak pilih pada pemilihan umum 2009. Penggunaan hak itu kini menjadi pembahasan serius di kalangan tentara dan politisi.
Meskipun hingga kini belum ada keputusan kapan hak pilih itu bisa dipakai, Markas Besar TNI sudah menyiapkan diri. Sebuah survei terhadap prajurit dan masyarakat tentang penggunaan hak pilih sudah diselesaikan. Penelitian ini dilakukan Cilangkap dengan menggandeng Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Universitas Airlangga, Surabaya.
Hasil survei tim yang dipimpin Mayor Jenderal Syamsul Ma’arif, mantan Asisten Teritorial TNI, itu menurut juru bicara Markas Besar Tentara Kolonel Ahmad Yani Basuki tidak akan dibuka ke publik. ”Ini hanya sarana bagi kami untuk menyiapkan aturan, bila hak pilih benar-benar diberikan kepada tentara,” katanya.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Tempo, survei itu dilakukan pada Mei-Juli lalu. Responden diambil dari kalangan prajurit dari semua tingkatan dan masyarakat. Pengambilan sampel dilakukan secara acak di 12 kota, seperti Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Kupang, Makassar, dan Jayapura. Di setiap kota, tim menanyai 100 responden prajurit dan 100 warga sipil.
Hasilnya tak terlalu mengejutkan: hampir separuh prajurit menyatakan setuju penggunaan hak pilih pada 2009, dan selebihnya menolak. ”Untuk responden dari masyarakat sipil, yang setuju lebih besar daripada yang menolak, yaitu 60 persen dibanding 40 persen,” kata sumber Tempo.
Mereka yang setuju menganggap memilih adalah hak asasi semua warga negara. Tentara di negara-negara demokrasi yang ikut memilih dijadikan rujukan. ”Mereka pun menganggap kecil kemungkinan tentara akan memihak salah satu calon,” sumber itu menambahkan.
Prajurit yang menolak hak pilih mengajukan berbagai alasan. Sejumlah responden, misalnya, menganggap gaji prajurit yang masih rendah mengundang kemungkinan penyelewengan. ”Bisa saja suara mereka dijual untuk salah satu calon atau partai,” kata seorang prajurit.
Sebagian penolak hak pilih juga menilai tak mungkin prajurit berani bersikap berbeda dengan atasannya. Jika komandan menyebutkan kelebihan seorang calon, seorang responden memberi contoh, para bawahan pasti akan menerjemahkannya sebagai permintaan dukungan kepada calon itu.
Menurut sumber yang sama, para pendukung hak pilih juga meminta Dewan Perwakilan Rakyat dan Markas Besar Tentara menyiapkan pagar-pagar untuk mencegah penyalahgunaan jalur komando saat pemilihan umum. Mereka juga meminta aturan pemberian sanksi bagi prajurit yang melanggar.
Para penyokong hak pilih juga meminta tempat pemungutan suara tidak dibuat di dalam markas atau kompleks prajurit. ”Agar tidak bisa dipetakan dukungan prajurit di suatu kompleks,” kata sumber itu.
Markas Besar TNI rupanya sudah memikirkan rambu-rambu untuk masalah yang mengundang kontroversi itu. Marsekal Djoko menyatakan, tiga pedoman penggunaan hak pilih TNI sedang disiapkan: pelaksanaan tugas tentara saat pemilihan, hal-hal yang boleh dan dilarang dilakukan prajurit TNI, dan penegasan tentara tidak memihak partai tertentu.
Hasil survei di atas, ujar Panglima TNI, kelak akan disampaikan sebagai masukan kepada pemerintah. Bersama DPR, pemerintah akan menentukan apakah tiga tahun mendatang para prajurit bisa melenggang menuju bilik pemilihan.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo