Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno menyamakan presiden dengan pimpinan organisasi mafia di sidang sengketa Pilpres yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Selasa, 2 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut ia ungkapkan dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum untuk pemilihan presiden atau PHPU Pilpres. Franz Magnis Suseno menjadi ahli yang diajukan oleh kubu Ganjar-Mahfud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Franz Magnis mengatakan segala kesan bahwa presiden memakai kekuasaannya demi keuntungan sendiri atau demi keuntungan keluarganya adalah hal yang fatal.
"Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, membuat presiden menjadi mirip menjadi dengan pimpinan organisasi mafia," kata Romo Magnis di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 2 April 2024.
Menurut dia, presiden harus menjadi milik semua pihak. Bukan hanya menjadi presiden dari pemilihnya.
Keberpihakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan miss used of power atau penyalahgunaan kekuasaan mendapat sorotan Franz, Jokowi boleh saja memberi tahu harapan kemenangan pada salah satu calon.
"Tapi begitu dia memakai kekuasaannya untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain guna mendukung salah satu paslon, serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan dalam rangka memberikan dukungan kepada paslon, itu ia melanggar tuntutan etika, bahwa ia tanpa membeda-bedakan adalah presiden semua warga negara, termasuk semua poltisi," kata Franz, menandaskan.
Profil Franz Magnis Suseno
Franz Magnis-Suseno, atau dikenal sebagai Romo Magnis, adalah seorang rohaniwan Katolik, filsuf, dan budayawan yang telah memberikan kontribusi besar bagi Indonesia. Lahir di Eckersdorf, Jerman pada 26 Mei 1936, Romo Magnis menempuh pendidikan filsafat dan teologi di Jerman dan Austria.
Pada tahun 1955, Romo Magnis masuk Serikat Yesus (SJ) dan memulai studi filsafat dan teologi di Jerman dan Austria. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Munich dengan disertasi tentang fenomenologi Edmund Husserl.
Dilansir dari Open Edition Journals, pada 1961 Romo Magnis datang ke Indonesia dan bergabung dengan Serikat Yesus (SJ). Awalnya, ia mengajar di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Setahun kemudian, ia pindah ke Jakarta dan mulai mengajar di STF Driyarkara. Sejak saat itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan dan pengembangan masyarakat di Indonesia.
Romo Magnis kemudian menjadi Guru Besar Filsafat di Driyarkara dan mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan di Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai Dekan dan Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Selain menjadi Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dan pernah menjabat sebagai Dekan dan Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ia telah menghasilkan banyak karya tulis baik dalam bahasa Indonesia maupun Jerman. Beberapa karyanya yang terkenal di antaranya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1991), Manusia Seutuhnya: Sebuah Refleksi Filsafat tentang Manusia (1977), Filsafat Pancasila: Dari Realitas Menuju Cita-cita (1987), Kebudayaan dan Politik: Etika Pembangunan di Indonesia (1992), dan Membangun Demokrasi: Etika Politik di Indonesia Masa Kini (2001)
Romo Magnis dikenal sebagai seorang pemikir kritis yang berani menyuarakan pendapatnya tentang berbagai isu sosial dan politik di Indonesia. Ia aktif dalam berbagai kegiatan dialog antarumat beragama dan mendorong terciptanya toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Berkat kontribusinya yang besar, Romo Magnis telah menerima berbagai penghargaan, antara lain Bintang Jasa Pratama dari Pemerintah Republik Indonesia (1992), Yap Thiam Hien Award (2005)
dan Gus Dur Award (2013).
Pada usia 87 tahun, Romo Magnis masih aktif menulis dan mengajar. Ia pun menjadi salah satu filsuf cabang etika yang dimiliki Indonesia.
ANANDA RIDHO SULISTYA | AMELIA RAHIMA SARI