Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Greenpeace Nilai Banjir Kalsel Akibat Ekosistem Sudah Kritis

Greenpeace menilai deforestasi dan penggunaan tata guna lahan berkontribusi nyata terhadap terjadinya banjir Kalsel.

29 Januari 2021 | 14.26 WIB

Foto udara kondisi Desa Alat pascabanjir bandang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu, 20 Januari 2021. Banjir bandang tersebut mengakibatkan sembilan orang dinyatakan meninggal dunia dan enam orang lainnya hilang. ANTARA/Muhammad Nova
Perbesar
Foto udara kondisi Desa Alat pascabanjir bandang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu, 20 Januari 2021. Banjir bandang tersebut mengakibatkan sembilan orang dinyatakan meninggal dunia dan enam orang lainnya hilang. ANTARA/Muhammad Nova

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menyebut bencana banjir Kalsel (Kalimantan Selatan) pada pertengahan Januari lalu terjadi karena kerusakan hutan di sekitar Kalimantan yang parah. Mereka menyanggah ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut bahwa banjir terjadi karena cuaca buruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Pernyataan Jokowi hanya menyalahkan curah hujan tentu tak bisa diterima. Karena fakta yang kami punya penyebab banjir tak tunggal," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas dalam diskusi daring, Jumat, 29 Januari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menggunakan pendekatan dua daerah aliran sungai (DAS), yakni DAS Barito dan DAS Maluka, yang ada di sekitar Kalimantan Selatan. Greenpeace menyebut wilayah hutan di sekitar wilayah itu sudah jauh berkurang setidaknya dibanding 1990.

Dari total luas DAS Barito seluas 6,2 juta hektar, tutupan hutannya pada 2019 hanya tinggal 3,5 juta saja atau 49 persen. Adapun DAS Maluka, dari total luas 88 ribu hektare hanya menyisakan 0,97 persen tutupan hutan atau seluas 854 hektare saja.

"Fakta di Kalimantan menunjukkan deforestasi dan penggunaan tata guna lahan berkontribusi nyata terhadap terjadinya banjir di Kalimantan Selatan," kata Arie.

Ia mengatakan hal ini tak terlepas dari komoditas-komoditas dari kayu-kayu alam, sawit, hingga tambang batubara. Dari data Greenpeace, di DAS Barito saja sudah ada 94 konsesi perusahaan kelapa sawit, 19 konsesi HTI, 34 konsesi HPH, dan 354 konsesi tambang.

"Totalnya di DAS Barito ini sudah mengambil 53 persen wilayahnya. Jadi tutupan hutannya sudah sedikit. Di bawah 50 persen, izin konsesinya sudah 53 persen," kata Arie.

Ia mengatakan deforestasi sejak 1973 hingga saat ini mengakibatkan perubahan iklim. "Akumulasi kerusakan hutan di Kalimantan meningkatkan suhu harian lokal dan suhu ekstrem di wilayah tersebut dan mengakibatkan perubahan iklim," kata dia.

Tim Reaksi Cepat Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menghitung kerugian akibat bencana banjir Kalsel sekitar Rp1,349 triliun. Kerugian itu meliputi sektor pendidikan, kesehatan dan sosial, pertanian, perikanan, infrastruktur, dan produktivitas ekonomi masyarakat.

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus