Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembantaian ratusan ribu terduga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) usai peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30s menjadi bagian sejarah kelam Indonesia. Upaya meluruskan sejarah dan rekonsiliasi terus dilakukan. Ada juga yang meminta maaf atas tragedI tersebut, salah satunya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 1995 silam, Gus Dur tak menampik jika ada warga NU terlibat pembantaian terduga simpatisan PKI. Hal ini Gus Dur sampaikan di beberapa kesempatan terutama dalam pertemuan-pertemuan dengan berbagai LSM (Lembaga Swadya Masyarakat) atau dengan sahabat-sahabat. Salah satunya dalam pertemuan, sambil makan malam, di restoran koperasi Indonesia di Paris.
“Kami semua terheran-heran bercampur kagum mendengar pernyataan Gus Dur bahwa di antara orang-orang yang terbunuh itu banyak yang tidak bersalah apa-apa, dan bahwa tidak sedikit yang telah menjadi korban tindakan-tindakan orang-orang NU sendiri,” tulis wartawan senior sekaligus aktivis Perancis kelahiran Indonesia, Ayik Umar Syaid, seperti dikutip dari situs pribadinya, umarsaid.gitlab.io, Ahad, 3 Oktober 2021.
Empat tahun setelah ucapannya di Paris, tepatnya pada 1999 ketika ia menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4, Gus Dur kembali menyatakan permintaan maafnya di depan stasiun Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Masih di tahun yang sama, ketika menyampaikan pidatonya di Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Gus Dur mengundang seluruh eksil yang tidak bisa pulang ke Indonesia pascaperistiwa G30S. Ia memerintahkan para menteri untuk memulihkan hak-hak mantan tahanan politik di pengasingan.
Langkah yang lebih berani Gus Dur ambil ketika ingin menghapus Tap MPRS No. XXV/1966 yang berisi pelarangan PKI beserta onderbouw-nya dan pengharaman ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia. Bagi Gus Dur, Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Berdasarkan laporan Tempo 4 Oktober 2015 lalu, Gus Dur juga pernah melontarkan permintaan maafnya pada 1999 saat bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, penulis besar yang pernah menjadi tahanan politik G30S. Peristiwa tersebut kembali diceritakan asisten pribadi Gus Dur, Sastro Al Ngatawi, dalam sebuah diskusi buku di Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Pram berujar, "kita ini sudah dekat kok tapi kok orang di luar masih ribut."
"Ya sudah," kata Gusdur, "Saya minta maaf dan kamu juga minta maaf."
Pram menjawab, "Kalau saya dengan Gus Dur enggak ada masalah. Tapi yang di luar itu perlu dijelaskan."
Lalu Pram melanjutkan, "Apa komentar tadi tentang permintaan maaf itu sebagai Gus Dur secara pribadi atau PBNU atau bagaimana?"
Gus Dur menjawab, "Ya sudah, kalau enggak mau repot anggap saja itu sebagai komentar dari PBNU."
Sementara itu, seperti dikutip dari Merdeka, Sastro menjelaskan perkataan Gus Dur kepada Pram semata-mata demi NKRI. NU, kata dia, harus menjaga keutuhan RI dengan segala macam cara. "Konteks omongan Gus Dur saat itu, demi NKRI berapapun harganya, apapun taruhannya, NU harus tetap menjaga. Tapi kalau sampai maaf Gus Dur itu dianggap untuk membuat tuntutan ganti rugi dari APBN dan yang lainnya atau yang lebih dari sewajarnya dan merusak NKRI maka saya kira itu melebihi maksud dari Gus Dur," katanya.
GERIN RIO PRANATA
Baca juga: