LEMBAGA Pemasyarakatan (LP) Cipinang, hari itu, Sabtu pekan lalu, seakan membuka pintu lebar-lebar. Kepala LP, Soeharto, turun sendiri mengantar para tamu mengelilingi pemondokan nara- pidana. Bahkan Soebandrio, bekas orang kedua Indonesia, dan Oemar Dhani, bekas Kasau (Kepala Staf Angkatan Udara) -- keduanya terlibat G-30-S -- atau bekas gembong Fretilin Xanana Gusmao, diperkenalkan dan bebas diwawancarai para tamu. Di sinilah kehebatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang tampaknya tak dapat ditandingi lembaga serupa yang ada di sini. Hari itu, pengurus lembaga tadi -- terdiri atas Marzuki Darusman, Bambang Suharto, Charles Himawan, dan Clementino Dos Reis Amaral -- dengan bebas melongok para narapidana yang tersangkut perkara politik. Apalagi, dalam rombongan itu, ikut pula mendompleng para pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta belasan wartawan. Menurut Luhut Pangaribuan, Direktur LBH Jakarta, pihaknya dapat bertemu dengan Xanana karena bersama Komnas HAM. Maka, inilah pertama kalinya Komnas mengadakan program bersama YLBHI. Kerja sama ini menarik. Soalnya, LBH dikenal oposan, sementara Komnas, karena dibentuk Pemerintah, sejak awal sudah dicurigai kemandiriannya. Tapi prestasi Komnas beberapa waktu terakhir ini patut dicatat. Adalah lembaga ini yang berhasil memaksa developer membayar ganti rugi kepada petani penggarap di Rancamaya, Bogor. Dan sejumlah orang yang ditahan berbulan-bulan tanpa diadili -- dituduh terlibat GPK Aceh -- di LP Lhokseumawe, Aceh, dapat mereka lepaskan. Maka, LBH pun tak menyia-nyiakan kesempatan pada hari itu. Mereka bisa mendapat surat kuasa dari Xanana. Xanana malah mengungkapkan, ia tak lagi percaya kepada pengacara lamanya, Sudjono. Ia pun minta LBH melakukan upaya hukum meninjau proses perkaranya di pengadilan di Dili, yang dinilainya tak adil. Selain Xanana, napi lainnya juga mengeluarkan keluhan dan unek-unek. Hanya Soebandrio dan Oemar Dhani tampaknya yang tak mengeluh. "Yang sudah, biarlah berlalu. Saya sekarang menulis hanya untuk pengetahuan anak-cucu saya sendiri, kok. Bukan untuk diterbitkan," kata Soebandrio, pasrah. Sehari-hari keduanya mengaku hanya membaca, menonton televisi, dan yoga. Di kamar Oemar Dhani ada TV warna ukuran 21 inci, sedangkan di meja Soebandrio terbentang Quran dan terjemahannya yang tampak sudah lusuh. A. Latif, bekas kolonel dan Komandan Brigade Infanteri (Brigif) di Jakarta, minta agar Komnas memperhatikan nasib para napi politik berusia lanjut, yang dinilainya tak layak lagi dipenjara. Contohnya Ruslan Wijayasastra, bekas tokoh PKI, yang kini lumpuh dan uzur. Demikian juga Soetarto, rekannya, yang agak terganggu ingatannya. Termasuk Latif, di situ ada sembilan napi yang terlibat G-30-S -- sebagian di antaranya sedang menanti eksekusi hukuman mati. Nur Hidayat, tokoh peristiwa Lampung, minta agar Komnas mengevaluasi kembali hukuman terhadap para napi kasus Lampung. "Kami tak pernah melakukan demo seperti di Nipah dan Haur Koneng. Tapi kenapa hukuman kami jauh lebih berat?" tanya Nur. Berbagai keluhan dari para tahanan politik ini, menurut Marzuki, pasti masuk agenda Komnas. Hanya saja, ia ingin semua pengaduan dibuat tertulis agar lebih mudah dipelajari. Para napi sendiri kelihatan berharap pada Komnas bila dilihat dari semangat mereka menyampaikan unek-unek itu.Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini