Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

ICMI sampai Megawati

George kahin, ahli masalah Indonesia, mengaku tak punya bola kristal. tapi ia yakin sipil dapat memimpin. wawancara khusus TEMPO.

26 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEORGE McTurnan Kahin, 76 tahun, dikenal sebagai biang studi masalah Indonesia di AS. Bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia, terbitan Cornell University Press, 1952, bukan hanya suatu analisa tajam tentang perjuangan kemerdekaan di Indonesia, tapi juga mengandung emosi saksi mata yang bersentuhan langsung dengan peristiwa fisik saat itu. Buku itu menjadi pegangan wajib setiap pelajar politik Indonesia di luar negeri. Tapi pendiri program Indonesia Project itu pernah dicekal selama 15 tahun oleh pemerintah Indonesia. Dan ia sampai sekarang tak tahu persis apa penyebab di belakang pencekalan itu. Mungkin, katanya, gara-gara tulisan mahasiswanya, Ben Anderson misalnya, yang meneropong keadaan politik di Indonesia sejak 1965. Tahun 1991, Kahin dibolehkan mengunjungi Indonesia lagi, khusus untuk menerima penghargaan Bintang Jasa Pratama. Sejak saat itu, ia sering bolak-balik untuk mengadakan riset. Hasilnya, buku baru tentang keterlibatan Amerika dalam pemberontakan PRRI. Belum lama ini Kahin berada di Indonesia dengan istrinya, Dr. Audrey Richey Kahin, yang juga pakar masalah Indonesia, untuk berlibur di Yogyakarta dan Bukittinggi. Berikut ini petikan wawancaranya dengan Leila S. Chudori dari TEMPO. Perkembangan politik apa saja yang paling menarik di sini? Berdirinya ICMI suatu perkembangan yang luar biasa. Ini pertama kalinya pemerintah Indonesia mengorganisasi Islam sebagai kekuatan politik. Hal yang menarik, ICMI bukan organisasi monolitis. Keanggotaannya datang dari berbagai kelompok. Anehnya, beberapa pemimpin Islam terkemuka tak bergabung di organisasi itu. Hal ini baik atau buruk? Mungkin ada baiknya bagi masyarakat Islam. Tapi, di pihak lain, saya tak yakin keterlibatan Pemerintah dalam kegiatan semacam ini sesuatu yang sehat. Sebaiknya perkembangan itu muncul secara spontan agar tak menimbulkan keresahan. Jika Pemerintah sudah turut campur mengatur soal agama, kekhawatiran masyarakat (terhadap Pemerintah) akan bertambah. Pemerintah sudah melampaui batas pemisah antara lembaga agama dan negara. Anda melihat Islam sebagai kekuatan politik terbesar di Indonesia? Secara alamiah, itu akan terjadi. Bukan hanya karena besarnya jumlah pemeluk Islam. Tahun 1950-an, sewaktu ada Masyumi dan Natsir, Islam dalam politik cukup kuat. Jadi, jika kini Islam berkembang sebagai kekuatan politik yang lebih besar, itu wajar. Sebagai orang yang ikut menyaksikan revolusi Indonesia, apakah Anda melihat posisi ABRI berbeda sejak saat itu? Oh, jauh berbeda (tertawa). Militer memegang peran penting dalam revolusi, tapi pihak sipil yang berkuasa. Angkatan Darat menghormati otonomi sipil. Keduanya saling melengkapi. Revolusi itu tak mungkin berhasil tanpa kerja sama keduanya. Peran itu lalu dijadikan dasar keterlibatan ABRI dalam masalah nonmiliter? Konsep itu baru muncul kemudian. Saya kira dimulai pada awal November 1958, ketika Presiden Soekarno membolehkan tentara menangani pengambilalihan tanah-tanah milik Belanda. Maka, mulai berkembanglah partisipasi militer dalam kegiatan ekonomi dan administrasi hingga tahun 1960-an. Secara de facto, memang militer masuk ke daerah sipil, dengan tujuan menendang Belanda. Menurut Anda, apakah militer sebaiknya mundur dari posisi itu? Kalau Indonesia bercita-cita menjadi negara yang demokratis, tentu saja harus ada pemisahan antara militer dan sipil. Tentang suksesi, bisakah Presiden Indonesia berikutnya seorang sipil? Itu sulit. Saya tak memiliki bola kristal ramalan. Tapi saya yakin pihak sipil bisa memimpin. Tapi mampukah mereka menghadapi militer, saya kurang bisa menjawab. Dengan adanya ICMI, dan pendukung Megawati Soekarno, Anda melihat kembalinya politik aliran? Kesimpulan itu terlalu sederhana dan menyesatkan. Tapi bahwa Megawati akhirnya menjadi pemimpin PDI, itu merupakan suatu perkembangan politik yang sehat. Seandainya PPP nanti juga berhasil menunjuk pimpinan mereka tanpa campur tangan Pemerintah, itu suatu indikasi Indonesia perlahan-lahan menuju demokratisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus