SUASANA Lebaran telah berlalu. Gelombang pemudik pun kembali menyerbu kota-kota besar. Maka, terminal bus Pulogadung di Jakarta Timur sibuk bukan alang kepalang. Puluhan ribu manusia berjejal. Di antara mereka terselip Sumarni, 25 tahun, janda beranak tiga asal Pekalongan, Jawa Tengah. Ia tampak bergegas akan kembali ke kehidupannya yang rutin, sebagai pelayan toko kelontong di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur. Tapi kali ini Sumarni tak sendirian. Jumat pekan lalu, ia datang bersama empat perempuan muda. Tetangganya itu rupanya berniat pula mencicipi kegairahan hidup kota metropolitan seperti Sumarni. Jalan untuk mereka telah dirintis Sumarni. Majikannya memesan empat tenaga wanita untuk tokonya. "Mereka saya ajak, daripada menganggur dan menjadi beban di kampung," kata Sumarni, bangga. Mengajak teman atau kerabat mengadu untung di Jakarta sudah soal lumrah. Ribuan orang melakukannya. Maka, gelombang manusia yang masuk ke Jakarta seusai Lebaran senantiasa melampaui angka pemudiknya. "Kelebihannya bisa mencapai 10 persen," kata Kasirin, Kepala Badan Koordinasi Pengendalian Urbanisasi DKI. Bila angka 10 persen itu bisa dijadikan patokan, berarti hadiah Idul Fitri tahun 1994 ini bagi Kota Jakarta adalah 280 ribu kepala pendatang baru. Soalnya, pada Lebaran yang baru lalu, tercatat 2,8 juta pemudik dari Ibu Kota. Kasirin mengaku tak kuasa membendung arus kedatangan kaum yang haus lapangan pekerjaan itu. "La, Jakarta ini kan milik semua orang Indonesia. Masak, mereka dilarang datang," ujarnya. Yang bisa dilakukan Kasirin pada hari-hari menjelang Lebaran yang lalu cuma membuat imbauan. Seratus poster besar dipajang di pelbagai terminal, di dalam dan di luar wilayah DKI. "Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon, pada saat kembali ke Jakarta, tidak membawa pendatang baru," begitu bunyi salah satu poster. Tapi mana mungkin poster mampu menghalangi niat orang datang ke Jakarta? Arus urbanisasi ke Jakarta dan Botabek (Bogor, Tangerang, dan Bekasi) memang sulit dicegah. Kawasan ini memang menjanjikan lapangan kerja, apakah itu sektor formal ataupun informal. Maka, Jakarta adalah gula bagi semut pencari kerja dari daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Angka penduduk DKI sekarang 8 juta jiwa dengan pertumbuhan yang 2,5% per tahun versi sensus 1990. Tapi itu tampaknya belum menggambarkan kesumpekan kota yang sebenarnya. Terlalu banyak penduduk tak tetap, yang berkubang di sektor informal, luput dari catatan. Yang jelas, setiap habis Lebaran, penduduk Jakarta pun bertambah gendut saja. Pada Lebaran setahun yang lalu, pemudik yang meninggalkan DKI tercatat 2,7 juta orang. Yang kembali seusai Idul Fitri ternyata hampir 3 juta jiwa, naik 282 ribu kepala, atau lebih dari 10%. Tapi jumlah itu tak seberapa dibandingkan dengan Lebaran 1987. Ketika itu muncul tambahan penduduk sampai 35% dari 1,67 juta pemudik. Serbuan pendatang itu diperkirakan paling banyak dari daerah Jawa Tengah. Perkiraan itu dikaitkan dengan fakta bahwa tujuan pemudik terbesar memang provinsi itu. Survei oleh Dinas Kependudukan DKI pada Lebaran 1993 menunjukkan bahwa daerah tujuan 38% dari pemudik adalah Jawa Tengah. Jawa Barat yang dekat ke DKI menyumbang cuma 24%. Jawa Timur 15%. Tapi, ada yang menarik. Dari hasil pencatatan Badan Koordinasi Pengendalian Urbanisasi DKI, terlihat bahwa persentase angka pendatang baru ke Jakarta menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1987, angkanya 35%, sedangkan tahun berikutnya turun menjadi 20%, lalu 13% dan 10,3%. Boleh jadi, ini indikasi bahwa ladang rezeki telah semakin menyebar?PTH dan ARR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini