PANTAI Nambangan, Surabaya, 12 Maret lalu, menjelang berbuka puasa. Sekitar 300 pasang mata, di antaranya para santri dan kiai Nahdlatul Ulama (NU), tengah menatap ke arah mentari terbenam. Tiba-tiba, tepat pukul 17.54, beberapa menit setelah azan magrib, terdengar teriakan dari beberapa orang yang mengatakan telah melihat hilal. Meski tempat dan waktu sama, ternyata hanya 10 dari 300 orang tadi yang mengaku melihat hilal, di antaranya Ustad Haji Misbach Syadad, 37 tahun, pemimpin Pesantren Ribath Darut Tauhid, Surabaya. Keadaan ini sempat menimbulkan debat sengit antara yang melihat dan yang tidak. Alhamdulillah, keadaan itu dapat diredakan setelah Misbach dan tiga temannya disumpah Hakim Pengadilan Agama Surabaya, Abdul Gani, S.H., yang ikut merukyat. Hasil dari Misbach dan kawan-kawannya inilah, ditambah dengan pengamatan dari tiga tempat lainnya, yang menjadi pegangan PB NU di Jakarta untuk membuat surat edaran yang menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Minggu, 13 Maret 1994. Surat edaran itu ditandatangani oleh Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid, Sekjen Ichwan Sam, Rais Syuriah K.H. Usman Abidin, dan Katib Syuriah K.H. Ma'ruf Amin. Keputusan ini tentu berbeda atau sehari lebih cepat dari 1 Syawal yang ditetapkan oleh Pemerintah -- jatuh pada 14 Maret 1994 -- dan diumumkan oleh Menteri Agama Tarmizi Taher melalui televisi, 12 Maret lalu. Artinya, keinginan Pemerintah agar mulai tahun ini umat Islam Indonesia merayakan Lebaran pada hari yang sama tidak kesampaian. Padahal, tiga hari sebelumnya, K.H. Ilyas Ruchiyat, Rais Am NU, bersama K.H. Hasan Basri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Azhar Basyir dari Muhammadiyah, dan Anwar Haryono dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), mengunjungi Presiden Soeharto. Di situ, antara lain, disampaikan bahwa MUI dan ketiga organisasi massa Islam itu telah sepakat dalam menentukan 1 Syawal. Itu disambut baik oleh Presiden. Bahkan Pak Harto berpesan agar mereka berusaha melaksanakan Idul Fitri bersama. Sidang Majelis Isbat -- untuk menetapkan 1 Syawal -- yang dipimpin oleh Menteri Agama di TVRI berlangsung mulai pukul 19.45 sampai 20.45 pada 12 Maret lalu. Yang menarik, pertemuan yang menetapkan 1 Syawal jatuh pada 14 Maret itu diikuti oleh tiga tokoh NU yang menandatangani surat edaran PB NU tadi: K.H. Usman Abidin, K.H. Ma'ruf Amin, dan Ichwan Sam. Sidang itu sendiri, kata Tarmizi Taher, sengaja ditunda untuk menampung aspirasi NU. Ternyata, sampai sidang berakhir, tak satu pun dari laporan yang masuk menyatakan melihat hilal. "Maka, kami istikmal," kata Tarmizi. Artinya, menggenapkan puasa 30 hari. Padahal laporan yang masuk ke rapat isbat Departemen Agama tak hanya berasal dari satu atau dua tempat, tapi dari 30 pengadilan agama di seluruh Tanah Air. Termasuk laporan dari tim rukyat nasional yang menggunakan teleskop buatan Puspiptek Serpong. Tapi PB NU punya jawaban. "Karena ada tiga tempat yang menyatakan melihat hilal, terpaksa NU membuat edaran," kata Ma'ruf Amin. Surat edaran ini, menurut Ma'ruf, hanya pemberitahuan. "Jadi, tak mengikat," katanya. Rais Am NU K.H. Ilyas Ruchiyat sendiri dan pesantrennya di Cipasung, Jawa Barat, melaksanakan salat Idul Fitri pada hari Senin. Tapi, kata kiai itu, "Warga NU yang berlebaran pada hari Minggu tak bisa dipersalahkan." Soalnya, menurut tokoh puncak NU ini, mereka melakukannya berdasarkan keyakinan. Karena itulah di negara tegangga pun 1 Syawal berbeda-beda. Malaysia dan Brunei membuat keputusan yang sama dengan tim Isbat. Di Thailand, 1 Syawal jatuh pada 13 Maret, serupa dengan edaran PB NU. Akibat perbedaan ini memang tak sehebat dua tahun lalu. Pada Idul Fitri 1992, Masjid Al Furqan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, misalnya, yang menyelenggarakan salat Idul Fitri sehari lebih dahulu dari pengumuman Pemerintah, sampai-sampai menyelenggarkan dua kali salat Ied pada hari yang sama. Soalnya, jemaah membeludak, tak tertampung pada salat Ied pertama di masjid itu. Tahun ini, perayaaan Idul Fitri pada hari Minggu itu di Jakarta hanya di beberapa masjid. Abdurrahman Wahid, di Jakarta, malah terpaksa tidak salat Ied. "Tak ada masjid di sekitar tempat tinggal saya yang siap menyelenggarakan salat Ied," katanya. Yang agak ramai hanya di Jawa Timur, yaitu di beberapa tempat di Surabaya serta beberapa kota lainnya, seperti Bangil dan Pasuruan. Boleh jadi hal ini, antara lain, disebabkan oleh mepetnya penyampaian surat edaran PB NU itu. Pengurus Masjid Ampel Surabaya, misalnya, mengumumkan Idul Fitri menjelang larut malam. Soalnya, kata Hafidz Madjid, pengurus Masjid Ampel, mereka harus menunggu pengumuman dari Menteri Agama. Ternyata, hasil tim rukyat Ampel di Nambangan berbeda dengan pengumuman Menteri Agama. Maka, K.H. Nawawi, imam Masjid Ampel, memanggil tim rukyat Ampel sekitar pukul 22.00. "Mereka berkeras yakin melihat hilal saat itu," kata Hafidz. Maka, Idul Fitri pun disepakati jatuh pada keesokan harinya. Perbedaan semacam ini, tampaknya, memang sulit dielakkan secara tuntas. Hal itu sudah lama terjadi. Snouck Hurgronje, orientalis asal Belanda, dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Belanda, pernah menulis, "Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung yang berdekatan." Bila kondisi yang dilaporkan Hurgronje itu dibandingkan dengan Idul Fitri sekarang ini, tentu banyak benar perubahan yang sudah terjadi.Julizar Kasiri dan Wahyu Muryadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini