Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 17 September RA Kartini, mengembuskan napas terakhirnya di usia 25 tahun. Pahlawan Pergerakan Nasional yang berjasa dalam perjuangan emansipasi perempuan, ini meninggal pada 17 September 1904, empat hari pascamelahirkan putra tunggalnya, Raden Mas Soesalit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Padahal, ketika Kartini mengandung hingga melahirkan, ia tampak sehat walafiat. Kematian Kartini yang tiba-tiba ini menimbulkan perdebatan dan spekulasi serta kecurigaan negatif bagi sebagian pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Efatino Febriana dalam bukunya berjudul “Kartini Mati Dibunuh”, mencoba untuk menggali fakta-fakta yang beredar di sekitar kematian Kartini. Efatino, di akhir bukunya, menyimpulkan bahwa kematian Kartini sudah direncanakan.
Kesimpulan Efatino ini juga dikuatkan oleh Sitisoemandari dalam bukunya berjudul “Kartini, Sebuah Biografi”, yang menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda. Belanda ingin membungkam pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner Kartini yang berwawasan kebangsaan.
Tempo, pada 2017, juga pernah menelusuri soal kematian Kartini yang penuh kontroversi ini. Dari hasil penelusuran, Tim Tempo menemukan temuan yang hampir serupa, yaitu hipotesis bahwa Kartini mati diracun.
Djojohadiningrat mendekap Kartini pada 17 September 1904 di kamar utama Kadipaten berukuran 5 x 6 meter. Perempuan yang baru dinikahi 10 bulan tersebut perlahan menutup mata, untuk selamanya.
Menurut Djojoadiningrat, setengah jam sebelum meninggal, istrinya masih sehat walafiat. Kartini hanya mengeluh perutnya tegang. Lalu kemudian Van Ravesteijn, dokter sipil dari Pati, datang dan memberi obat kepada Kartini. Tetapi, alih-alih membaik, tiba-tiba ketegangan di perut Kartini justru semakin menjadi-jadi dan 30 menit kemudian Kartini meninggal.
Empat malam sebelumnya, di dipan yang sama, juga dengan pertolongan Ravesteijn, Kartini melahirkan anak tunggalnya, Raden Mas Soesalit. Sebenarnya ia telah merasakan kontraksi satu hari sebelumnya. Namun dokter sipil di Rembang langganan Kartini, Bouman, tidak ada di tempat. Sehingga Djojoadiningrat terpaksa memanggil Ravesteijn dari Pati, 35 kilometer dari Rembang, kendati sang dokter baru bisa datang esok paginya.
Dari pagi hingga sore hari, persalinan Kartini tidak kunjung berhasil sehingga Ravesteijn menggunakan alat bantu yang tidak jelas kegunaannya. Hingga sekitar pukul 21.30, Kartini berhasil melahirkan dengan selamat. Djojoadiningrat menggambarkan kondisi Kartini saat itu baik-baik saja. "Kecuali ketegangan perut, tidak ada apa-apa dengan Raden Ayu," ujarnya. Malam itu juga, tanpa ada rasa cemas, Ravesteijn kembali ke Pati.
Di hari keempat, Ravesteijn datang kembali untuk memeriksa kondisi Kartini. Menurut dia, Kartini baik-baik saja. Ravesteijn kemudian meminta Kartini meminum obat. Sekitar 30 menit setelah Ravesteijn pergi, Kartini mengeluh sakit perut, sehingga Bupati menyuruh orang memanggil dokter kembali. Sayangnya, ketika dokter tiba, kondisi Kartini sudah parah.
Kematian mendadak itu tak cuma mengejutkan, tapi dengan segera memicu rumor bahwa Kartini mati diracun. Bouman bahkan sempat melakukan penyelidikan perihal kematian misterius itu. Dari seorang kawannya yang kenal Ravesteijn, ia mendapat informasi bahwa Ravesteijn adalah dokter yang tidak dapat dipercaya. "Kudanya saja tidak akan dipercayakan kepada dokter itu," ujarnya seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini, Sebuah Biografi (1979).
Namun, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Kabupaten Rembang Edi Winarno menganggap kecurigaan itu tak berdasar. Menurutnya, tidak ada alasan bagi orang di sekitar Kartini untuk membunuhnya.
Salah satu kemenakan Kartini, Sutiyoso Condronegoro, mengakui santernya isu miring seputar kematian Kartini. Tapi keluarganya lebih suka menganggapnya sebagai hal lumrah akibat proses kelahiran yang berat, yang saat ini dikenal dengan istilah pre-eklampsia. "Desas-desus itu tidak bisa dibuktikan," ucapnya seperti dikutip Sitisoemandari.
Meskipun sampai saat ini, kebenaran dibalik kematian Kartini masih abu-abu. Tetapi setidaknya pemikirannya terus mewarnai hari-hari, khususnya perihal emansipasi perempuan. Kematian RA Kartini memang perlu kita selidiki dan ketahui, tetapi di atas itu, lebih penting bagi kita untuk terus menghidupkan gagasan-gagasan progresif dan revolusioner perempuan asal Rembang ini.
NAUFAL RIDHWAN ALY