Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari Ini 42 Tahun Lalu: Dokumen Petisi 50 dan Tokoh yang Mengkritik Soeharto

Selain Ali Sadikin, Jenderal AH Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir ikut meneken Petisi 50.

5 Mei 2022 | 22.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Tepat 5 Mei 1980 lalu, terdapat dokumen yang memprotes penggunaan Pancasila oleh Soeharto untuk melawan kontra politiknya, Petisi 50.

Petisi ini disebut dengan “Ungkapan Keprihatinan”  dan disahkan di Jakarta.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disebut Petisi 50 bukan tanpa sebab, dalam petisi ini ditandatangani oleh 50 tokoh terkemuka di Indonesia, salah satunya Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta.

Selain Ali Sadikin, Jenderal AH Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir juga turut ikut menandatangani petisi ini. 
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengutip dari Managing Indonesia: The Modern Political Economy yang ditulis John Bresnan, petisi ini ditandatangani lantaran Soeharto yang menganggap kritik pada dirinya sama dengan mengkritik Pancasila. Juga Presiden dianggap sebagai pengejawantahan Pancasila. 

Isi Kritik-kritik Petisi 50 

Keprihatinan oleh para tokoh nasional memuncak saat Presiden Soeharto berpidato pada rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan peringatan hari ulang tahun Kopassandha tanggal 16 April 1980 di Cijantung.  

Inti dari Petisi 50 adalah sebagai berikut: 

“... Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang: 

  1. Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin "melestarikan Pancasila" di satu pihak dengan mereka yang ingin "mengganti Pancasila" di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;
  2. Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa;
  3. Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945;
  4. Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;
  5. Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila;
  6. Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi, dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang.

Berikutnya: Dengan diterbitkannya Petisi 50 ini...
 

Dengan diterbitkannya Petisi 50 ini, yang bertanda tangan meminta tanggapan dari DPR dan MPR sebagai wakil rakyat untuk menanggapi pidato-pidato tersebut.

Melansir dari
P2K UNKRIS, diwakili oleh Dr. Azis Saleh, 19 anggota dewan mengajukan dua pertanyaan tertanggal 14 Juli 1980, yaitu “apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu memuat masalah-masalah penting yang patut memperoleh perhatian dari semua pihak, khususnya dari DPR dan pemerintah”, dan “apakah rakyat Indonesia patut memperoleh penjelasan yang menyeluruh dan terinci tentang masalah-masalah yang diangkatkan”.  

Setelah menjawab langsung melalui Ketua DPR, Daryanto, saat pidato HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto mencabut hak-hak perjalanan, melarang pers mengutip pernyataan para anggota Petisi 50.

Juga mereka tidak dapat mengajukan pinjaman bank dan kontrak lainnya. Soeharto menyebut tidak suka dengan cara Petisi 50 ini, “Aku tak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot,” ungkap Soeharto dalam
 Soeharto, My Thoughts, Words and Deeds: An Autobiography.  

TATA FERLIANA
Baca : Masyarakat Indonesia Masih Gampang Melupakan Kesalahan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.


Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus