Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

HOS Tjokroaminoto, Priyayi yang Rela Bunuh Diri Kelas

Dalam pergerakannya, Tjokroaminoto menjadi guru berpengaruh bagi sederet tokoh Indonesia yang pernah tinggal bersamanya.

26 Oktober 2019 | 15.41 WIB

Suasana Diskusi Public bertajuk Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto : Islam, Politik dan Negara yang digelar Tempo bekerjasama  dengan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Sabtu 26 Oktober 2019. Tempo/Pribadi Wicaksono
Perbesar
Suasana Diskusi Public bertajuk Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto : Islam, Politik dan Negara yang digelar Tempo bekerjasama dengan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Sabtu 26 Oktober 2019. Tempo/Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejarawan Bonnie Triyana mengungkap bagaimana pendiri sekaligus ketua pertama organisasi Sarekat Islam, Hadji Oemar Said atau H.O.S Tjokroaminoto, menjadi sosok sentral atau god father yang melahirkan para founding father Republik Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kehidupan personal hingga totalitas pergerakan Tjokroaminoto di kancah organisasi sejak tahun 1912 telah menjadi peta awal penuntun Indonesia sebagai negara berdaulat di tahun 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau mengikuti garis hidupnya dari keluarga mapan, seharusnya Tjokroaminoto menjadi bupati atau minimal wedana (asisten bupati). Tapi dia melakukan bunuh diri kelas,” ujar Bonnie saat diskusi publik bertajuk Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto : Islam, Politik dan Negara di kampus Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Sabtu 26 Oktober 2019.

Dalam diskusi yang diinisiasi Tempo dan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta itu, Bonnie merunut Tjokroaminoto jelas bukan berasal dari rakyat jelata.

Ia berdarah biru yang diwariskan dari sang ayah, Raden Mas Tjokroamiseno, seorang wedana di masa itu dan kakeknya, Raden Mas Adipati Tjokronegoro juga pernah menjadi Bupati Ponorogo.

Darah biru Tjokro itu yang memberinya kesempatan khusus yang tak dimiliki warga biasa lainnya, yakni mengenyam pendidikan khusus pemerintahan untuk calon PNS yang dibuat Belanda yakni Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Kalau sekarang sekolah itu semacam Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Usai lulus sekolah itu, Tjokro pun sempat bekerja sebagai pegawai negeri di Ngawi, Jawa Timur, pada 1902. Sebenarnya jika pekerjaan itu diteruskan, akan membuat Tjokro bisa jadi kepala daerah, hidup berkecukupan, dan tak perlu berurusan dengan pemerintah kolonial Belanda.

Namun kurang dari satu dekade bekerja, Tjokro memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan melakukan satu fase yang disebut Bonnie bunuh diri kelas. Tjokro menanggalkan baju priyayinya demi menjadi proletar atau seorang marhaen.

Tjokro lantas memilih bekerja di sebuah pabrik gula di Jawa Timur, dan malam harinya ia manafaatkan untuk kursus teknisi atau montir.

Di masa-masa inilah, Tjokro mulai gencar mulai menulis pemikiran-pemikiran kritisnya secara berkala di media massa dan akhirnya membesarkan organisasi Sarekat Islam sebagai wadah pergerakannya melawan kolonial.  

Dalam diskusi yang menghadirkan sejarawan sekaligus Sekretaris Departemen Sejarah FIB UGM Abdul Wahid juga Cicit HOS Tjokroaminoto, N Robbi Sepang, serta dimoderatori Redaktur Tempo Sunudyantoro itu, Bonnie mencatat bagaimana cerdiknya Tjokroaminoto. Terutama caranya membesarkan Sarekat Islam sebagai organisasi yang amat berpengaruh sekaligus tak berani disentuh pemerintah Belanda.

“Tjokroamintoro berhasil menyatukan hampir semua orang Islam saat itu, baik dari kalangan abangan dan putihan, organisasi ini menjadi amat besar,” ujar Bonnie yang mengkoreksi keanggotaan Sarekat Islam saat itu diperkirakan 2,6 juta orang.

Berhimpunnya berbagai elemen yang ada dalam Sarekat Islam saat itu, ujar Bonnie, secara tak langsung menunjukkan Tjokro sosok yang ekletik. Dia bisa mengambil hal yang baik dari semua hal yang ada, kemudian menyatukannya.

Menonjolnya sifat ekletik dalam diri Tjokro, membuat Bonnie yang mempelajari tokoh itu dari berbagai sumber, tak yakin Tjokro adalah sosok puritan atau memperjuangkan kemurnian  berdasar agama bersama Sarekat Islam. Tjokro justru bisa menjadi tokoh sentral karena bisa berbaur dengan berbagai dimensi pemikiran baik yang bersifat kiri ataupun kanan.

Satu bukti Tjokro bukan sosok puritan, saat Sarekat Islam menggelar kongres pertama di Bandung pada 1916. Dari kongres itu berkembang cabang-cabang Sarekat Islam yang otonom dan menjadi momentum penting bagi organisasi itu mulai memiliki orientasi nasionalisme.

“Salah satu orang yang diminta berbicara dalam kongres Sarekat Islam pertama itu tak lain Henk Sneevliet, tokoh Belanda pendiri organisasi ISDV yang menjadi cikal bakal lahirnya PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Bonnie.

Sulit membayangkan, Sneevliet yang kencang dengan pemikiran kirinya bersedia bergabung dalam Sarekat Islam dan ikut berada dibarisan di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto.

Bonnie menduga sifat ekletik menonjol dari Tjokro di masanya itu karena tokoh kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882, itu pribadi sinkretis. Ia lahir sebagai generasi di mana tengah terjadi pembangunan berbagai macam kultur sehingga bisa melihat dunianya berwarna warni.

Dalam pergerakannya, Tjokro pun menjadi guru berpengaruh bagi sederet tokoh Indonesia yang pernah tinggal bersamanya. Mulai dari Soekarno yang mewakili golongan nasionalis, Musso-Alimin mewakili komunis, dan Kartosoewirjo pengusung ideologi Islam.

Namun, ujar Bonnie, masuknya berbagai elemen ke tubuh Sarekat Islam saat itu dalam perjalananya membuahkan terbentuknya kutub-kutub yang saling berlawanan karena terlalu otonom.

Salah satu kutub kuat yang terbentuk misalnya dari Sarekat Islam Semarang yang terpengaruh gagasan gagasan aliran kiri yang dipengaruhi ISDV yang di bawa Sneevliet. Kuatnya kelompok ini karena mengambil isu-isu populis saat itu seperti perjuangan buruh dan mengorganisir mogok.

Kelompok yang melahirkan tokoh seperti Semaun, Muso, dan Tan Malaka ini lalu menentang Tjokroaminto yang membawa Sarekat Islam mengambil jalan kooperatif lewat perjuangan parlementer dengan cara bergabung ke dalam Volksraad atau dewan rakyat pemerintah Hindia Belanda saat itu.

Tjokro menyadari organisasinya dalam bahaya sampai sakhirnya pada 1921 ia masuk penjara dan setelah keluar menulis buku berjudul Sosialisme Islam.

Bonnie menilai sikap Tjokro lewat buku yang ditulisnya merupakan sikap politiknya yang prihatin melihat organisasinya di ujung tanduk dengan munculnya kutub-kutub seperti Sarekat Islam merah, putih, dan lainnya yang saling bertentangan. Hingga akhirnya kutub-kutub itu benar-benar terpecah belah.

Redaktur Khusus Tempo Gendur Sudarsono yang membuka diskusi publik itu menuturkan sosok dan pemikiran Tjokroaminoto masih cukup relevan untuk digaungkan lagi kepada generasi milenial saat ini sebagai satu referensi sejarah.

“Tjokro sosok yang sangat unik karena ia adalah gurunya para tokoh nasional, kiprahnya layak untuk terus didiskusikan dan menjadi inspirasi,” ujarnya.

Amirullah

Amirullah

Redaktur desk nasional. Menjadi bagian Tempo sejak 2008. Pernah meliput isu-isu perkotaan, ekonomi, hingga politik. Pada 2016-2017 ditugaskan menjadi wartawan Istana Negara

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus