Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

6 Tokoh Kebangkitan Nasional: Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, hingga Cipto Mangunkusumo

Hari Kebangkitan Nasional tak lepas dari 6 pahlawan nasional ini. Selain Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo, siapa lagi?

20 Mei 2024 | 19.22 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari Kebangkitan Nasional tak bisa dilepaskan dari beberapa sosok yang berperan penting dalam peristiwa itu. Dari jajaran para tokoh tersebut, ada enam nama yang tak terlupakan dalam sejarah pergerakan bangsa ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap tokoh memiliki peran yang unik dalam membangkitkan semangat kebangsaan dan memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia. Dari kegiatan jurnalis hingga mendirikan organisasi, dari usaha dalam bidang pendidikan hingga gerakan politik, mereka memberikan kontribusi besar dalam mencapai cita-cita kemerdekaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr Wahidin Sudirohusoso

Wahidin Sudirohusodo lahir di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta pada 7 Januari 1852. Ia dan kakaknya bersekolah di Sekolah Desa yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Pada 1864, Wahidin masuk ke Sekolah Rakyat Rendah Eropa (ELS) di Yogyakarta dan melanjutkan ke Tweede Europese Lagere School.

Pada 1869, Wahidin melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) dan lulus dalam waktu 22 bulan. Ia pun menjadi asisten guru selama beberapa tahun. Atas keprihatinannya dengan keterbatasan anggaran dana pendidikan, pada 1906, ia berkeliling Jawa untuk menghimpun dana beasiswa, mendirikan Studie Fonds atau Yayasan Beasiswa.

Pada 1901, Wahidin menjadi direktur majalah Retnodhoemilah, yang diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan priyayi. Ide menghimpun beasiswa ini menarik perhatian Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA, yang kemudian mendirikan organisasi Budi Utomo pada 1908.

Dr Soetomo

Dikutip dari buku tentang Dr. Soetomo terbitan Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Raden Soetomo lahir dengan nama Soebroto di Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur, pada 30 Juli 1888.

Masa kecilnya banyak dihabiskan bersama kakek-neneknya karena ayahnya bertugas sebagai guru di Rembang. Setelah neneknya meninggal, Soetomo kembali tinggal bersama orang tuanya dan bersekolah dengan nama Soetomo.

Usai menyelesaikan pendidikan di ELS, ia memilih untuk melanjutkan ke STOVIA di Batavia, meski kakeknya menginginkan ia menjadi pegawai pangreh praja. Soetomo diterima di STOVIA pada 10 Januari 1903 dan lulus pada 12 April 1911.

Pada akhir 1907, dr. Wahidin Soedirohoesoedono menginspirasi Soetomo dan rekan-rekannya di STOVIA untuk mendirikan organisasi yang mendorong kemajuan pendidikan dan kebudayaan bagi pemuda bumiputra. Pada 20 Mei 1908, Soetomo bersama rekan-rekannya membentuk Boedi Oetomo, dengan Soetomo sebagai ketuanya. Organisasi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan nasional, dan kelahirannya kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat lahir pada 2 Mei 1889. Dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, putra keluarga bangsawan Pakualaman ini mendapat pendidikan di ELS dan STOVIA sebelum terjun ke dunia jurnalistik.

Tulisannya yang kritis terhadap penjajah membuatnya diasingkan ke Belanda bersama Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, menjadi Tiga Serangkai. Meski berasal dari keluarga priyayi, Ki Hajar Dewantara bersahaja dan dekat dengan rakyat.

Cintanya pada pendidikan dan budaya Jawa mendorong berdirinya Perguruan Taman Siswa pada 1922. Ki Hajar Dewantara juga berperan dalam penghapusan Undang-Undang Sekolah Liar yang membatasi pendidikan di Indonesia. Pengabdiannya diakui dengan gelar doktor honoris causa dari UGM dan pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional.

Douwes Dekker atau Setiabudi

Ernest Douwes Dekker lahir di Pasuruan pada 7 Oktober 1879 dan meninggal pada 28 Agustus 1950. Menempuh pendidikan di HBS Batavia, Ernest kemudian bekerja di perkebunan kopi Sumber Duren, Gunung Semeru, di mana ia menyaksikan eksploitasi kolonial terhadap pribumi.

Pada Februari 1900, ia bertolak ke Afrika Selatan dan menjadi sukarelawan membantu orang-orang Boer melawan Inggris. Setelah ditahan oleh pemerintah Inggris pada 1902, Ernest kembali ke Hindia Belanda dan memasuki dunia politik serta jurnalisme.

Ernest lalu menjadi reporter di De Locomotief dan kemudian bergabung dengan Soerabaiasch Handelsblad serta Bataviaasch Nieuwsblad. Ia mendirikan majalah Tijdschrift yang kemudian berganti nama menjadi De Express, di mana ia sering menulis pro-kaum Indo dan pribumi serta kontra terhadap kolonialis.

Pada 6 September 1912, ia bersama Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Indonesia. Setelah partai ini dibubarkan pada 1921, Ernest mendirikan Kesatrian Institut di Bandung dan menjadi ketuanya.

Dr Cipto Mangunkusumo

Dikenal sebagai "Dokter Rakyat," Cipto lahir pada 4 Maret 1886 di Jepara. Ia dikenal karena prestasinya dalam bidang kedokteran dan perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia.

Sebagai lulusan STOVIA, Cipto berhasil membasmi penyakit pes di Malang, yang membuatnya mendapatkan penghargaan dari Belanda. Namun, ia menolak penghargaan tersebut karena prinsipnya. Aktif dalam Indische Partij, Cipto memberikan pemikiran penting bagi generasi muda.

Semangat patriotiknya tercermin dalam semboyannya, "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung." Meskipun telah tiada, perjuangan dan kontribusinya terus diabadikan dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

HOS Tjokroaminoto

Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto merupakan tokoh besar dari Ponorogo, lahir pada 16 Agustus 1882. Ia adalah cucu dari RM Adipati Tjokronegoro yang pernah menjadi bupati Ponorogo. Sebagai pendiri Sarekat Islam, ia memiliki hubungan keluarga dengan RM Mangoensoemo, wakil bupati Ponorogo, serta silsilah dengan Kiai Ageng Hasan Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari.

Saat ini, namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol di Ponorogo, menunjukkan penghargaan atas kontribusinya. Sebagai Guru Bangsa, peran Tjokroaminoto sangat dikenang, terutama saat memimpin sejumlah tokoh besar seperti Soekarno, Semaoen, dan Tan Malaka. Rumah kosnya di Surabaya menjadi tempat berkumpul para murid yang kelak memimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus