Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejak 2018, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia. Penghargaan ini dinobatkan oleh Charities Aid Foundation atau CAF berdasarkan World Giving Index (WGI). Dalam indeks tersebut, Indonesia meraih nilai total sebanyak 68 persen. Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata kedermawanan global sebesar 62 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persentase tersebut setidaknya didapatkan melalui tiga dimensi, yaitu persentase pemberian bantuan terhadap orang asing, tingkat beramal atau donasi, dan persentase kegiatan kerelawanan. Secara keseluruhan, ketiga dimensi ini di Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi daripada rata-rata global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari daftar 10 negara paling dermawan di dunia, hanya empat negara yang termasuk sebagai negara dengan penghasilan tinggi, yaitu Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Sementara enam negara lain merupakan negara dengan penghasilan menengah dan rendah, yaitu Indonesia, Kenya, Myanmar, Sierra Leone, Zambia, dan Ukraina.
Kenapa Indonesia Ditetapkan sebagai Negara Paling Dermawan?
Dikutip dari situs filantropi.or.id, Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menyampaikan bahwa setidaknya terdapat empat alasan Indonesia mampu bertahan sebagai negara paling dermawan selama lima tahun berturut-turut.
Pertama, Hamid menyebut bahwa tingkat kedermawanan di Indonesia berhubungan erat dengan pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal terkait kegiatan memberi dan membantu sesama. Bahkan CAF turut menuliskan bahwa sumbangan berbasis agama, seperti zakat, infak, dan sedekah menjadi pendorong utama kegiatan kedermawanan di Indonesia.
Kedua, walaupun sempat diwarnai oleh kelakar sejumlah pejabat pada masa awal pandemi, Hamid menyebut bahwa Indonesia tergolong memiliki kebijakan penanganan COVID-19 yang cukup baik.
Hal ini juga disoroti oleh CAF dalam laporannya yang menggarisbawahi bahwa negara dengan kebijakan pandemi yang kurang akurat memiliki hubungan dengan posisi yang lebih rendah di WGI dan begitu pula sebaliknya.
Ketiga, Hamid melihat bahwa pelaku filantropi di Indonesia berhasil mendorong transformasi kegiatan kedermawanan dari kegiatan konvensional menjadi digital. Ia turut menyampaikan bahwa pada sejumlah organisasi filantropi, terdapat peningkatan donasi pada platform digital daripada konvensional.
Keempat, peningkatan peran dan keterlibatan pemuda dalam kegiatan filantropi juga diperkirakan menjadi salah satu faktor pendorong tingkat kedermawanan di Indonesia. Setidaknya, Hamid menyebut bahwa keterlibatan ini dapat memopulerkan aksi-aksi kedermawanan melalui media sosial sehingga menjangkau lebih banyak audiens.
Dalam laporan tahunannya, CAF juga menegaskan bahwa generasi muda di Indonesia memiliki minat dan dukungan signifikan terhadap kegiatan-kegiatan kedermawanan. Keterlibatan tersebut juga dinilai membantu proses berdonasi menjadi lebih cepat, aman, dan mudah.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN