Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ini tahun 1978. atau sebelum 1928 ?

Kelompok-kelompok pemuda, al: pemuda banten, pemuda cirebon, amd & amm menemui dpr untuk menyatakan mendukung pemerintah. "jong ambon" mempertanyakan persatuan pemuda dengan adanya organisasi pemuda kedaerahan.(nas)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIMPINAN DPR-MPR punya kesibukan baru. Jadi resepsionis. ramunya, sejak Desember kemarin, antara lain Pemuda Banten, Pemuda Madura, Pemuda Cirebom Juga Angkatan Muda Diponegoro (Jawa Tengah), Angkatan M Mataram (Yogya). Mereka mendukung pemerintah. Mungkin untuk mengimbangi kritik yang akhir-akhir ini terdengar misalnya dari mahasiswa. Tiba-tiba minggu lalu muncul "Jong Anlon Hampir sulit dipercaya. Hamabad lalu, dalam masa perjuangan kemerdekaan Jong Ambon adalah organisasi pemuda yang - demi persatuan Indonesia - bergabung dalam Indonesia Muda bersama Jong Java, Jong Celebes, Jong Bataks Bond dan sebagainya. Nampaknya "Jong Ambon" versi 1978 ini dimaksudkan untuk mengejek kelompok pemuda kedaerahan sebelumnya Buktinya: Lain dari kelompok pemuda daerah sebelumnya, 11 pemuda Ambon (berdomisili di Jakarta) yang Jum'at siang pekan kemarin menemui Adam Malik itu tak mendukung garis pemerintah. Mereka menolak kepercayaan dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Mereka bahkan bertanya: "Haruskan kegiatan ekstra Parlementer dihadapi dengan kekerasan?" Tapi tak semua menangkap ejekan yang tersirat dalam nama itu. Ketua DPR Adam Malik berkeberatan pada nama Jong Ambon. "Mengapa tidak Pemuda Indonesia Ambon?" katanya. Jawab para pemuda itu, kali ini dengan serius: Karena "saat sekarang ini diperlukan keseimbangan sub kultur," seperti kata Ketua Jong Amhon, Thamrin Ely, bekas Wartawan majalah Mimbar yang dulu dikenal sebagai majalah yang dekat dengan kalangan inteligensia Islam. Kata Thamrin pula: "Persatuan pemuda di tahun 1928 lebih baik dari pada sekarang." Sebagai bukti, ia menyebut misalnya Angkatan Muda Siliwangi, Angkatan Muda Diponegoro, Angkatan Muda Brawijaya." Rasa cemas bahwa Indonesia sedang kembali ke masa sebelum Sumpah Pemuda 1928 memang bisa timbul melihat semua itu. Tapi Kelompok Pemuda Cirebon yang beranggota 25 orang mencoba meyakinkan. "Ini merupakan spontanitas," kata Irfan, salah seorang pengurusnya. "Nama Cirebon hanya identitas saja. Tapi isi pernyataannya kan bersifat nasional," tambah Irfan, yang rombongannya datang ke DPR dengan memakai kaos oblong bertuliskan: "langsung milih Pak Harto, Irfan adalah bendaharawan Kantor Urusan Agama Kotamadya Cirebon. Memang tak semua baju kedaerahan itu rupanya punya kaitan langsung dengan daerah - baik rakyatnya maupun bahasanya. Ketika Anwar Nurris - anggota fraksi Persatuan yang berdarah Madura kelahiran Situbondo didatangi pemuda dengan pakaian Madura (hitam-hitam dan kaos loreng), ia terhenyak. Dengan segera ia mengajak delegasi "Pemuda Madura" yang datang ke DPR awal Januari yang lalu untuk omong bahasa Madura. "Sampian dikaemma (Anda dari mana)?" tanya Anwar Nurris. Si Pemuda bingung seraya menyerahkan sebuah map. "Bile se'detteng (kapan datang)?" tanya Anwar lagi. Pemuda yang tidak tampak garang itu cuma geleng kepala. Lalu anggota DPR itu mencoba bertanya dalam bahasa Indonesia: "Sampeyan asal mana?" Si pemuda kontan menjawab: "Sumenep". Apa pun namanya, tampaknya memang ada "kebangkitan pemuda" di beberapa daerah. Di Manado misalnya, bulan lalu berlangsung "forum konsultasi" generasi muda Indonesia Timur dan Kalimantan dihadiri 45 orang dari 9 daerah. Ketua pelaksana Lona Lengkong, ketua KNPI Manado yang juga kemenakan Gubernur Worang. Suara mereka mendukung garis pemerintah, tapi mereka tak sampai membentuk misalnya Angkatan Muda Pattimura atau Angkatan Muda Mulawarman. seperti halnya Angkatan Muda Brawijaya (Amubra), Angkatan Muda Diponegoro (AMD) dan Angkatan Muda Siliwangi (AMS). Bagaimana dengan "AM-AM" ini? Amubra yang dikenal sejak 1969, semula merupakan seksi pemuda dari Ikatan Karyawan Brawijaya (Ikabra), organisasi karyawan Kodam VIII Brawijaya. Moh. Said, pensiunan kolonel berusia 54 tahun, adalah ketuanya. Ia juga sebagai ketua Ikabra. Menurut Said, Amubra yang menyatakan beranggota 1 juta itu, meski menggunakan nama Brawijaya, tidak ada kecenderungan kedaerahan. "Itu hanya menunjukkan teritorial saja. Tiap daerah kan punya kebanggaan masing-masing," katanya. Di Jawa Tengah, ada Angkatan Muda Diponegoro. Adapun AMD, menurut Sumpono, ketuanya, "kebetulan saja menggunakan nama rumpun Diponegoro dari Kodam VII" Sumpono, lahir di Klaten 45 tahun lalu, adalah wakil ketua DPRD Kodya Yogya ia berputera 4 orang. AMD didirikan tahun 1971 oleh 17 pemuda, kini menyatakan punya 2.000 kader. "Setelah perjuangan Angkatan 66 selesai, banyak organisasi pemuda kernbali ke induk masing-masing. Lalu timbul gagasan mendirikan AMD yang betul-betul independen," kata Sumpono. Di Jawa Barat, terkenal "AMS". Berdirinya AMS pun hampir sama dengan AMD. Angkatan Muda Siliwangi yang berdiri 10 Nopember 1966 itu. "Merupakan pelanjut perjuangan orba" kata ketuanya Tatto S. Pradjamanggala (39). Tatto mengakui bahwa "Kebanggaan daerah" merupakan salah satu yang mendasari AMS. "Itulah sebabnya sebelum berdiri AMS mengadakan pendekatan dengan Kodam VI Siliwangi." katanya. Tatto kini lebih sering tinggal di Jakarta. Ia anggota DPR dari Golkar. Tapi sebagai organisasi sejenis yang tertua. AMS punya problim yang lebih jauh. AMS sekarang pecah. 13 Desember kemarin, sekjen AMS Gani Kusumasubrata, mengundurkan diri. Ia tidak menyetujui hasil pertemuan Pandaan, Jawa Timur, 7 dan 8 Desember lalu. Pertemuan antara AMS AMD, AMM dan Amubra itu antara lain mencalonkan Jenderal Soeharto dan Sri Sultan sebagai presiden dan wakil. Dan belum sebulan kemudian 2 anggota Dewan Pembina dipecat: Tjetjedajat Padmadinata (41) dan lie Muhidin Wiranatakusuman (38). Menurut Tjetje, yang pernah ditahan karena dituduh dalam peristiwa 15 Januari, sejak 1974 fungsi AMS telah menyimpang, "menjadi alat Golkar." Bahkan dengan nada keras, katanya, "AMS tak lebih dari pesuruh tukang pukul, herder." Tentu saja Tatto membantah. "Sebagai tukang pukul, itu tidak benar. Tapi bahwa AMS sedia mati untuk Golkar itu tidak salah," katanya. Menurut Tatto, pemecatan itu lantaran Tjetje "mengekspos perselisihan intern AMS ke luar. Ia ngomong sana-sini, lalu menulis di koran." Lebih dari itu. menurut Tatto, "Tjetje sering melontarkan kritik pada pemerintah tanpa konsultasi dulu dengan AMS." Tjetje, yang tulisannya -- dengan nada berapi-api dan tajam sering muncul di harian kompas - memang nampah tidak sudi jadi sekedar "pesuruh". Tak diketahui adakah keluarnya tokoh ini akan mempengaruhi wajah AMS di masa depan. Masa depan tentunya masa setelah Sidang Umum MPR, bulan Maret pada waktu mana mungkin sebagian dari ramai-ramai pemuda ini akan reda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus