"Kemerdekaan adalah laut. . . "
--Toto Sudarto Bachtiar.
TAPI kemerdekaan bukanlah laut. Ada seorang laki-laki yang ingin
bicara bebas sesuai dengan apa yang diketahuinya, tapi ia tak
berani. Ia takut ditangkap, ia takut dipecat, ia takut
kehilangan kerja dan berpisah dengan anak isterinya. Adakah ia
tidak merdeka, karena ia tak berada dalam laut bebas di mana ia
bisa berteriak "busyeettt"?
"Memang, kau tidak merdeka," kata seorang kenalannya. "Selama
kau takut pada intel, pada penguasa, kau tak merdeka."
Laki-laki itu mengeluh diam-diam: Benar juga. Tapi ia punya
nyali sungguh kecil, maka ia hanya makin mengeluh dan makin
merasa nestapa: ah, selama-lamanya aku tidak akan bisa merdeka.
Kecuali kalau tak ada lagi intel, bisiknya, kecuali kalau tak
ada lagi penyebab kecut hati. Tapi kapan? Bilakah keadaan
seperti itu tercipta? Dan bagaimana menciptakannya? Bukankah
untuk menciptakannya diperlukan -- ya Tuhan -- keberanian?
Keberanian. Kata ini dengan cepat melontarkan gambar hidup
tentang seorang pahlawan. "Aku berani, maka aku ada," kata hero
itu. Suaranya gemuruh bagaikan Bima. Ia berdiri tegak di tengah
puing-puing pertempuran, berkacak pinggan sementara maut
mendesis-desis. Dan seperti lazimnya seorang hero, ia lebih
agunq ketimbang orang kebanyakan. Sayangnya, bagi tokoh cerita
ini yang adalah seorang lelaki kecil biasa saja), sang hero
akhirnya nampak begitu asing dan jauh. Konklusjnya: "Jika dia
berani maka dia ada, maka aku yang tidak berani berarti tidak
bisa ada."
Keberanian memang bukan milik umum. Tapi adakah itu berarti
orang-orang rudin bernyali kecil harus bunuh diri? Atau tak
berbuat apa-apa--cuma tinggal dalam kamar menggigit jempol dan
bermimpi tentang Utopia?
Barangkali tidak. Keberanian sebagai modal barangkali bisa
diganti dengan sesuatu yang lebih bersahaja. Misalnya: tidak
adanya rasa bersalah. Banyak inteligensia Indonesia telah
mengalami bahwa ketakutan merupakan sesuatu yang sulit
disingkirkan Tapi banyak yang dengan hatl yang takut itu cukup
memiliki rasa tidak-bersalah. Dari situ mereka bisa menciptakan
ruangan mental yang lumayan luas, untuk bertahan diri dari
kematian semangat.
Di dalam negeri totaliter, di dalam suatu lingkungan di mana
pikiran-pikiran bisa diusut oleh seorang Inkwisitor, kaum
inteligensia tak cuma dilarang ngomong bebas.
Kaum inteligensia serentak dengan itu juga dilemparkan ke dalam
suatu perasa bersalah --mengakui dosa, melakukan otokritik,
seakan-akan telah berbuat khianat terhadap masyarakat.
Untuk itu diperlukan desakan ideologis yang bisa mengguncangkan
keyakina Tapi di suatu negara di mana yang ada hanyalah
pengekangan ngomong beban tanpa disertai desakan ideologis
semacam itu, rasa takut bisa hadir tanpa memuat benih yang baik.
Benih yang baik itu adalah benih yang menyebabkan seseorang
senantiasa siap berusaha untuk kemerdekaan.
Sebab pada akhirnya ikhtiar untuk kemerdekaan itu adalahsemacam
protract war. Pada akhirnya kemerdekaan "hanya"lah
moment-moment dalam pergulata itu, yanc penuh pasang-surut. Di
kala surut dan suasana hati menciut tidak bera perang telah
selesai. Mungkin pihak yang kena gempur sedang bertiarap,
menunggu.
Bukankah kita bisa percaya bahwa kemerdekaan toh selalu akan
jadi kebutuhan, dan ketidak-merdekaan akan selalu menghadang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini