SORE itu, 6 Januari lalu, ada pesta kecil di rumah Jl. Jenggala
11 Kebayoran Baru. Suasana prihatin lebih terasa dalam pesta
yang dihadiri keluarga dekat si empunya rumah. Tiba-tiba telepon
berdering. Ada ucapan selamat ulang tahun pada Risna, anah
keempat keluarga itu, yang menginjak usia 7 tahun. Yang menelpon
adalah Ismail Suny, ayah Risna, yang sejak 3 Januari lalu
ditahan Laksusda Jaya.
Penahanan Dekan FH-UI dan Rektor Universitas Muhamadiyah di
Jakarta itu mengundang komentar yang tak sebentar. Suny, 48. di
zaman mahasiswa pernah jadi Ketua Gerakan Mahasiswa Djakarta
(GMD). di tahun 1966 jadi anggota DPR-GR. Dia juga jadi dosen di
Seskoal dan Seskau. Namanya mulai dibicarakan orang ketika di
zaman Bung Karno dia beroleh gelar doktor dari FH-UI dengan
desertasinya yang mendukung transisi eksekutif dari UUD
Sementara ke UUD '45.
Apa sebabnya gurubesar yang mengajar Hukum Tata Negara dan
perbandingan sistim pemerintahan di UI itu sampai ditahan
Laksus? Itu bermula dari diskusi di IKIP Rawamangun 27 Desember
lalu. Diminta bicara dengan pertimbangan menguasai masalah
Hukum, Prof. Dr. H. Ismail Suny SH, MCL, dalam kata-kata
moderator diskusi Arief Rachman, telah membuat hadirin
"betul-betul terkejut."
Dalam nada yang disebut emosionil, Suny yang didampingi Mr.
Sunaryo dalam acara tanyajawab, antara lain berkata, "Saya
bicara di sini sebagai ahli hukum, jadi saya pertaruhkan gelar
saya. Di sini ada pejabat yang mempunyai simpanan uang Rp 140
milyar di bank."
Tapi belum habis orang dibuat benlug Ismail Suny membuat
'kejutan' lain: "Ada dua jenderal yang berindikasi PKI yang
diangkat oleh pemerintah," katanya. Pembantu Rektor III IKIP,
Arief Rachman, kontan jadi melongo dibuatnya. Kepada Widi
Yarmanto dari TEMPO, Arief--yang baru saja berhenti mengasuh
acara bahasa Inggeris di TV-RI berkata: "Ini ucapan seorang
hukum, seorang intelek, tentu bukan main-main."
Tapi yang tak main-main ternyata adalah Laksus Kopkamtib. Tiga
hari setelah panel, 30 Desember jam 9 pagi, Sunny dipanggil
lalu diperiksa oleh Kodiln 0505 Jakarta Timur. Pemeriksaan
berlangsung hingga jam 6 sore dan Sun dibolehkan pulang.
Kemudian pada tiga Januari Ismail Suny harus menghadap lagi.
Kali ini dia tak pulang sendiri, tapi dikawal 5 petugas Laksusda
dengan jip. Sampai di rumah dia diberi waktu 45 menit untuk
pamitan dengan keluarga dan membawa perlengkapan. Menurut
seorang yang mengetahui, Prof. Suny cuma menenteng koper kecil
berisi dua stel pakaian. Lepas jam 8 malam, sesaat sebelum
dibawa, Suny berpesan pada isterinya. "Saya ditahan, tabahkanlah
hatimu dan jaga anak-anak dengan baik."
Ismail Suny, asal Labuhan Haji, Aceh dan ayah dari lima anak
itu, setuju untuk bisa membuktikan tuduhannya dalam tiga hari.
Waktu 3 x 24 jam itu lewat sudah dan Suny dianggap tak bisa
memberi bukti. Maka ditahanlan dia karena dianggap telah
memfitnah.
Arief Rachman berpendapat waktu yang 3 x 24 jam itu tak cukup.
Demikian pula para mahasiswa. Dalam pernyataan bersama ke-12 DM
dan SM se-Jakarta bahkan menyatakan bersedia menjadi sandera,
agar Prof. Suny punya waktu longgar untuk mengumpulkan bukti.
Bagi para mahasiswa yang menjadi soal adakah penahanan itu tidak
bertentangan dengan kebebasan mimbar. Mereka mengingatkan ucapan
Kas Kopkamtib Sudomo beberapa waktu lalu bahwa di kampus
"maki-maki" juga boleh.
Prof. Dr. Dody Tisnaamidjaja, seusaipelantikan kembali Prof.
Mahar Mardjono sebagai Rektor Ul pekan lalu, mencoba menjelaskan
apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kebebasan mimbar itu.
Tisnaamidjaja berpendapat bahwa mimbar akademis itu bukan mimbar
politik. "Mimbar akademis," kata Doddy "bukanlah Hyde Park"
(sebuah taman di London yang membolehkan orang bebas
maki-maki siapa pun Red.).
Berbeda dengan pendapat Menteri P & K Sjarif Thajeb dan Prof.
Slamet Iman Santoso, Tisnaamidjaja beranggapan "sebetulnya sih
tak perlu ada undang-undang yang mengatur kebebasan mimbar." Dia
beranggapan penahanan Prof. Suny itu tak akan menggoncangkan
kebebasan mimbar kalau itu benarfitnah. Tapi "kalau ucapannya
itu ternyata benar, tentu menggoncangkan," katanya. Mahar
Mardjono yang pagi itu tampak berseri-seri, kepada TEMPO juga
menyatakan kebebasan mimbar itu tak perlu diatur dalam UU. "Kita
orang-orang universitas sudah harus tahu bagaimana menggunakan
kebebasan itu," katanya.
Tapi menurut sekjen DM-UI Jo Rumeser, yang harus membuktikan
salah benarnya ucapan Suny adalah pengadilan. "Orang-orang yang
terkena itu harus menuntut dalam perkara perdata, bukan
pemerintah," kata Jo. Namun siapa yang sebenarnya merasa terkena
tuduhan Suny?
Dalam diskusi di kampus IKIP itu, Suny tak dengan jelas menunjuk
hidung. Dia hanya melemparkan isyu ada pejabat punya simpanan
beratus milyar dan ada 2 jenderal yang berindikasi PKI. Titik.
Seperti kata Arief Rachman, "mestinya pemerintah melindungi dan
membantu mencari bukti atas ucapan itu." Barangkali cara
pemerintah memberi "perlindungan" dan "membantu mencari bukti"
itu adalah dengan menyekap sang profesor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini