Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8 Maret 2024, Komite International Women’s Day (IWD) Jogja kembali memperingati Hari Perempuan Internasional dengan tema seruan “Mari Kak Rebut Kembali”. Seruan ini merupakan plesetan dari lirik lagu Mari Bung Rebut Kembali. Sebab, seruan ini dijadikan tema untuk merebut kembali kemerdekaan dari segala penindasan terhadap perempuan dan minoritas gender.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada aksi yang dilakukan di Bunderan UGM tersebut, Komite IWD Jogja 2024 membawa lima tuntutan umum. Pertama, bangun ruang aman dan inklusif di segala sektor dan tingkatan. Kedua, wujudkan lingkungan kerja tanpa diskriminasi dan kekerasan serta jaminan upah layak dan hak pekerja. Ketiga, solidaritas setiap kelompok yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan. Keempat, buka seluasnya dan fasilitasi akses informasi atas hak kesehatan seksual dan reproduksi serta ragam gender di berbagai sektor. Kelima, hentikan perampasan ruang hidup dan perusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari tuntutan utama tersebut, peserta aksi juga membawa tuntutan khusus dari pengalaman pribadi yang tetap memiliki tujuan sama. Salah satu peserta bernama Dita turut meramaikan aksi IWD Jogja 2024 untuk menyuarakan hak-hak pekerja rumah tangga (PRT) yang selama ini disandera dan tidak diberikan oleh majikan.
“Selama ini pemerintah, terutama ibu Ketua DPR, Puan Maharani sudah tahu bahwa PRT sudah mengajukan RUU Perlindungan PRT selama hampir 20 tahun, tetapi sampai sekarang tidak disahkan. Jadi, kami mempertanyakan pemerintah untuk memberikan hak-hak para PRT”, ungkap Dita selaku PRT kepada Tempo.co, pada 8 Maret 2024.
Melalui aksi ini, Dita berharap agar pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Dengan pengesahan batang hukum tersebut, PRT mendapatkan hak sebagai pekerja, perlindungan hukum, dan upah layak. “Sekali lagi, kami pekerja, kami bukan pembantu,” katanya.
Tuntutan tentang edukasi menstruasi sehat untuk semua perempuan dari salah satu peserta International Women’s Day Jogja 2024 di Bundaran UGM, pada Jumat 8 Maret 2024. TEMPO/Rachel Farahdiba R
Selain Dita, terdapat peserta lain yang juga membawa tuntutan khusus dan turunan dari tuntutan utama aksi IWD Jogja 2024. Ia adalah Ani yang membawa tuntutan berupa dorongan agar pemerintah melakukan edukasi menstruasi sehat. Sebab, tuntutan ini membuat perempuan mengalami penindasan dari lingkungan sosial.
“Tuntutan itu hadir karena selama ini menstruasi dianggap tabu, dianggap darah kotor, dan perempuan selalu dikucilkan karena menjalani menstruasi setiap bulan,” ujar Ani kepada Tempo.co.
Ani juga menilai bahwa pemerintah Indonesia masih mengesampingkan pentingnya edukasi menstruasi sehat. Ditambah pula, sistem patriarki yang masih kental di dunia membuat menstruasi dianggap tidak penting. Namun, pada 2022, Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) baru mendorong WHO untuk memasukkan menstruasi dalam hak kesehatan. Dengan dorongan tersebut, Dewan HAM PBB melihat menstruasi bukan lagi menjadi permasalahan kebersihan melainkan kesehatan. Perempuan pun harus mendapatkan hak menstruasi sehat seluas-luasnya.
“Semua perempuan harus merebut kembali ketubuhannya dengan memuliakan tubuhnya sendiri dan tidak malu untuk mendapatkan hak menstruasi sehat,” ujar Ani.
Pada aksi International Women’s Day Jogja 2024, komite IWD Jogja melihat banyak persoalan perempuan yang sampai sekarang tak kunjung tuntas, mulai dari aspek terkecil sampai terbesar, seperti menstruasi dan perampasan ruang hidup. Dengan demikian, aksi ini digelar untuk menyuarakan dan menegakkan hak perempuan di berbagai bidang.